TangerangNews.com

Calon Tunggal Dua Tangerang: Kartelisasi atau Kegagalan Partai Politik?

Rangga Agung Zuliansyah | Selasa, 27 Maret 2018 | 09:00 | Dibaca : 3630


Asep Saripudin (@tangerangnews2018 / Istimewa)



Gelaran pesta demokrasi akan kembali digelar melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2018 di 171 daerah yang ada di Indonesia. Dalam pelaksanaannya, Pilkada Serentak Tahun 2018 telah memasuki masa kampanye para pasangan calon kepala daerah. Masa kampanye ini sebagai media bagi para calon untuk memaksimalkan dukungan dan  memenangkan hati masyarakat untuk memilihnya. Masa kampanye juga menjadi bagian penting bagi masyarakat untuk mengetahui lebih detail mengenai calon kepala daerahnya. Sehingga, dalam menggunakan hak pilihnya, masyarakat dapat lebih yakin untuk menentukan siapa calon yang layak untuk memimpin daerahnya.

BACA JUGA :

Pelaksanaan pilkada serentak juga terjadi di Kabupaten dan Kota Tangerang. Berbeda dengan pilkada di periode sebelumnya –tahun 2013- yang diikuti oleh 4 pasangan calon untuk Kabupaten Tangerang dan 5 pasangan calon untuk Kota Tangerang, kali ini pilkada di dua daerah tersebut hanya diikuti oleh satu pasangan calon. Artinya, pelaksanaan Pilkada di Kabupaten/Kota Tangerang hanya diikuti oleh calon tunggal dan akan melawan kotak kosong. Calon yang maju dalam pilkada dari kedua daerah tersebut merupakan petahana/incumbent yang telah menjabat di periode sebelumnya. Hal yang paling mengejutkan adalah bahwa kedua calon dari dua daerah tersebut di dukung penuh oleh semua partai politik yang ada di daerahnya. Ahmed Zaki Iskandar-Mad Romli di dukung oleh 12 partai politik yang ada di Kabupaten Tangerang. 12 partai politik tersebut yaitu Golkar, PDI Perjuangan, PPP, Demokrat, PAN, Gerindra, Nasdem, PKB, Hanura, PKS, PBB, dan PKPI. Selaras dengan yang terjadi di Pilkada Kota Tangerang, pasangan Arief R Wismansyah-Sachrudin di dukung oleh 10 partai politik, diantaranya PDI Perjuangan, Hanura, PKB, PPP, Nasdem, Demokrat, Golkar, Gerindra, PAN, dan PKS. Dukungan penuh partai politik kepada kedua calon di dua daerah tersebut tidak menghadirkan sistem demokrasi yang sehat. Bergabungnya semua partai politik kepada satu pasangan calon menjadikan tidak ada oposisi dalam sistem pemerintahan ketika calon menang melawan kotak kosong. Pasalnya, oposisi mempunyai peranan penting sebagai kontrol politik terhadap peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam pemerintahan.

#GOOGLE_ADS#

Fenomena dukungan penuh semua partai politik yang ada di Kabupaten/Kota Tangerang boleh jadi karena adanya kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi atau mungkin juga telah terjadi kartelisasi partai politik di kedua daerah tersebut. Tulisan ini akan membahas mengenai kartelisasi dan kegagalan partai politik serta dampak calon tunggal dalam Pilkada Kabupaten/Kota Tangerang Tahun 2018.

Kartelisasi Partai Politik Penyebab Calon Tunggal di Tangerang?

Profesor Ilmu Politik University of Michigan, Dan Slater dalam East Asia Forum menyatakan bahwa kartelisasi partai terjadi ketika partai politik bersedia untuk berbagi kekuasaan eksekutif dengan semua pihak lain terlepas dari afiliasi politiknya. Kartelisasi partai politik juga dapat dianalogikan seperti “bagi-bagi kue kekuasaan” kepada partai politik pendukung. Partai politik tidak lagi menjadikan kepentingan ideologi sebagai langkah dalam menentukan dukungannya terhadap seorang calon yang akan diusungnya. Hal ini juga pernah dinyatakan oleh Kuskridho Ambardi, dalam disertasinya The Making of Indonesian Multy Party System; A Cartelized Party System and Its Origin, dari The Ohio State University tahun 2008 yang mengemukakan bahwa di era reformasi Indonesia, faktor-faktor kepentingan setiap partai berkaitan dengan sumber daya kekuasaan dan ekonomi yang menarik perhatian seluruh partai politik untuk terlibat dan saling berinteraksi untuk mendapatkan bagian dari proses bagi-bagi kekuasaan dan keuntungan ekonomi dalam setiap keputusan politik pemerintah maupun lembaga legislatif. Hal tersebut pada akhirnya melahirkan sikap-sikap dari partai politik sudah tidak lagi memperbincangkan sesuatu yang bersifat ideologis kepartaian. Artinya, ideologi partai tidak lagi menjadi penting dalam mengusung seorang calon. Hal ini juga bisa dilihat bagaimana PDI Perjuangan bisa berkoalisi dengan PKS di Kabupaten maupun Kota Tangerang. Padahal, jika dibenturkan kepada ideologi, kedua partai politik tersebut memiliki pandangan ideologi yang berbeda.

Dalam konteks calon tunggal di Kabupaten dan Kota Tangerang, dapat dikatakan telah terjadi kartelisasi partai politik. Semua partai politik yang ada di daerah tersebut memberikan dukungannya secara bulat kepada para petahana. Hal ini bukan tidak mungkin karena Bupati dan Walikota terpilih mempunyai wewenang dalam menentukan susunan pemerintahan di daerahnya. Dalam proses penentuan tersebut, Bupati dan Walikota terpilih dapat membagikan “kue kekuasaan” kepada orang-orang pilihan dari koalisi yang mengusungnya dalam pilkada yang berlangsung. Selain itu, sebagaimana yang disampaikan oleh Airlangga Pribadi dalam tulisannya yang berjudul Kartelisasi Politik Pilkada Langsung Tahun 2005, kartelisasi partai politik juga dapat digunakan oleh aktor yang memiliki kekuatan untuk menghalangi dan meminggirkan kekuatan-kekuatan politik baru untuk dapat memasuki ruang politik yang ada. Para petahana (Arif untuk Kota, Zaki untuk Kabupaten Tangerang) dapat saja menggunakan kemampuan ekonominya untuk membeli semua rekomendasi partai politik, sehingga calon lain yang tidak mempunyai kekuatan secara ekonomi yang memadai pada akhirnya tersingkirkan dari kursi pencalonan sebagai kepala daerah di Kabupaten dan Kota Tangerang.

Calon Tunggal Tangerang Karena Gagalnya Kaderisasi Partai Politik?
Miriam Budiarjo menyatakan bahwa salah satu fungsi partai politik adalah rekrutmen politik. Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas. Partai politik menghimpun kader-kader yang akan diseleksi untuk menempati posisi strategis dalam kursi pemerintahan.

Dalam pelaksanaan pilkada, tentunya hal ini akan berdampak baik pada proses demokratisasi di Indonesia. Karena dengan semakin banyaknya kader-kader yang mempunyai kapabilitas dapat memberikan berbagai pilihan kepada masyarakat untuk memilih calon pemimpin yang layak memimpin daerahnya. Namun, adanya fenomena calon tunggal dalam Pilkada di Kabupaten/Kota Tangerang dapat dikatakan sebagai suatu kegagalan partai politik dalam melakukan proses kaderisasi. Partai politik tidak mampu memunculkan kader partai yang mampu bersaing melawan para petahana. Sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini dalam Media Indonesia, 12 Januari 2017, bahwa partai politik lebih baik tidak maju daripada kalah dalam pilkada. Dengan kata lain, partai politik lebih baik ikut mendukung calon yang elektabilitasnya tinggi daripada harus bersusah payah melakukan perlawanan yang berujung kekalahan. Selain itu, bukan lagi suatu rahasia bahwa dalam mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah melalui partai politik membutuhkan pengeluaran biaya politik yang cukup mahal. Sehingga, para calon yang sebetulnya mempunyai kapasitas dalam kepemimpinan mengurungkan niatnya untuk mencalonkan diri karena terkendala ekonomi.

Fenomena calon tunggal yang terjadi dalam pelaksanaan Pilkada di Kabupaten dan Kota Tangerang mungkin akan berdampak baik pada para petahana karena kemungkinan memenangkan pilkada cukup terjamin. Namun, terlepas dari adanya kartelisasi ataupun kegagalan partai politik dalam kaderisasi,  fenomena calon tunggal akan berdampak kurang baik bagi masyarakat Tangerang. Hal ini dikarenakan masyarakat Tangerang tidak mempunyai pilihan lain selain memilih calon atau kotak kosong. Berbeda ketika ada dua atau lebih pasangan calon, masyarakat dapat membandingkan calon yang satu dengan yang lainnya. Sehingga, masyarakat Tangerang dapat dengan yakin memilih calon yang layak memimpin daerahnya. Pada akhirnya, partai politik hanya akan akan kembali pragmatisme sempit yang hanya mementingkan kemenangan partai, bukan untuk menciptakan iklim demokrasi yang sehat dan mendidik masyarakat.