TangerangNews.com

Tantangan Profesi Polisi Zaman Now

Mohamad Romli | Rabu, 18 Juli 2018 | 18:00 | Dibaca : 3245


Mohamad Romli. (@TangerangNews / Istimewa)


TANGERANGNEWS.com-Anak saya yang baru menapaki usia lima tahun terpesona tayangan di sebuah televisi swasta. Di usia yang belum dapat menggunakan nalar sebagai kelengkapan berfikir itu, ia justru telah hapal slogan yang kerap diucapkan personel kepolisian: “Siap! 86!” Sejak menggandrungi acara yang berisi berbagai aksi heroik dan humanis personel kepolisian itu, ia pun mulai mengimitasi: minta dibelikan seragam dan pelengkapan polisi, kemudian tampil bangga saat mengenakannya. Lebih dari itu, ia juga mulai bercita-cita ingin menjadi polisi.

Sepenggal kisah di atas tampaknya bisa ditengarai sebagai bukti betapa kuatnya daya persuasi  media massa terhadap pemirsanya. Melalui media, citra polisi yang awalnya penuh dengan stereotype buruk di masyarakat, sedikit banyak, mulai diimbangi dengan citra positif yang selama ini seakan tertimbun oleh stigma yang terlanjur meruyak di wajah kepolisian.

Mulai berkembang dan menyebarnya citra positif Polri tersebut tentu sejalan dengan upaya Polri berbenah secara internal. Upaya tersebut, di antaranya, tercermin dalam konsep yang digariskan Jendral Tito Karnavian—sebagai pemimpin tertinggi dalam institusi yang dikenal dengan semboyan Tribrata itu—dengan akronim Promoter: Profesional, Modern, dan Terpercaya.

Menilik tiga kata tersebut, jelas Polri berupaya agar institusinya tidak lagi dipandang sebelah mata dengan label dan citra negatif. Seiring perubahan zaman, Polri juga berusaha melakukan metamorfosis—karena adaptasi dan peningkatan kualitas adalah sebuah keniscayaan bagi lembaga apa pun jika ingin survive dalam peradaban. Terlebih lagi, Polri adalah institusi yang paling dekat bersentuhan dengan masyarakat yang semakin terbuka karena proses teknologisasi dan globalisasi.

 

Membangun Virtue, Menepis Isu

Berbagai program inovatif yang dikemas Polri terbukti bukan isapan jempol belaka. Hal ini bisa dilihat dalam peningkatan indeks kepuasan masyarakat selama tiga tahun terakhir. Menurut survei yang digelar Alvara Research Center pada Mei 2018 (Kompas.com, 18/07/2018), Polri berada pada peringkat ketiga teratas lembaga yang memperoleh kepuasan publik tertinggi, yakni 78,8 persen (Juni 2016: 63,2 persen; Oktober 2017: 70,2 persen).

Jika upaya-upaya ke arah peningkatan kualitas dan citra positif Polri ini terus dipertahankan, bahkan dikembangkan dan ditingkatkan, besar harapan bahwa Polri akan berhasil meneguhkan kembali ruh Tribrata awal sebagaimana disusun oleh Prof. Joko Soetono, SH., guru besar PTIK (1954), yakni:  Rastra Sewakottama (abdi utama nusa dan bangsa), Nagara Janottama (warga negara tauladan negara), dan  Jana Anusasana Dharma (wajib menjaga ketertiban pribadi rakyat).

Sebagai nilai-nilai keutamaan (virtue), Tribrata dan Catur Prasetya menjadi pedoman bagi setiap anggota Polri dalam bersikap dan bertindak. Namun, kenapa masih ada oknum-oknum yang justru menodai sakralitas Tribrata dan Catur Prasetya? Sebut saja, kasus korupsi simulator SIM tahun 2013 silam yang melibatkan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI saat itu, Irjen (Pol) Djoko Susilo (Kompas.com,  Selasa, 03/09/2013).

Peristiwa tersebut seolah mengungkap fenomena gunung es berbagai kasus yang meruntuhkan citra institusi penegak hukum di Republik ini. Dalam alam pikir masyarakat pun terlanjur melekat stigma bahwa aparat penegak hukum mudah disuap. Istilah “damai di tempat” bagi pelanggar peraturan lalu lintas menjadi kosa kata umum. Juga berbagai anekdot tentang perilaku negatif polisi yang banyak beredar di masyarakat.

Menurut Chrysnanda Dwi Laksana (Kaprodi S3 Ditprog Pasca Sarjana STIK Lemdikpol, 2015-2016) dalam Majalah Basis (01-02/2016), stigma buruk terhadap polisi merupakan cerminan perilaku masyarakat itu sendiri. Sepeda motor yang merangsek melewati batas zebra cross; sikap serampangan melawan arus lalu lintas; politisi, advokat, dan hakim yang ditangkap karena kasus suap; parpol yang usreg terus untuk melemahkan KPK; kurangnya respek terhadap hukum adalah kebiasaan-kebiasaan buruk masyarakat yang juga tercermin dalam diri polisi.

Bahkan, menurut Chrysnanda, polisi sering dianggap ngrusuhi (mengganggu) atau mempersulit—seperti ungkapan: “Kalau kehilangan ayam lapor polisi, bisa-bisa malah kehilangan kerbau”. Tentu saja, hal itu tidak semuanya benar. Sayangnya, ketidakberimbangan informasi yang menyebar ke publik kerap menutupi fakta bahwa sering kali justru polisi yang dirusuhi dan dijadikan kambing hitam.

Pertanyaannya kemudian, mengapa label ngrusuhi itu terus melekat? Chrysnanda memberikan lima jawaban. Pertama, sistem feodalisme yang terus dikembangkan praktis menjadi akar birokrasi patron-client dengan pendekatan personal yang sarat KKN. Kedua, rasa nasionalisme yang buruk, sehingga polisi lebih bangga mengembangkan ego sektornya. Ketiga, berbagai kebanggaan semu yang dijadikan keyakinan, akibatnya orang susah melihat orang lain senang dan senang melihat orang lain susah. Keempat, orientasi yang secara defakto ditularkan di lingkungan polisi bukanlah peningkatan kualitas hidup rakyat, melainkan melulu demi kesenangan pribadi, golongan dan kelompoknya. Akibatnya, semangat kerjanya adalah memperkeruh suasana demi mencari keuntungan-keuntungan pribadi/kelompok yang menggerogoti rakyat. Kelima, “politik” yang ditumbuhkankembangkan di lingkungan polisi adalah politik penguasaan dan kekuasaan yang dijalankan dengan cara-cara kotor dan memalukan. Pemerasan, penyuapan dan berbagai pungutan liar menjadi pemandangan yang biasa ditemukan dalam birokrasi, bahkan dianggap telah membudaya dan dipertahankan oleh berbagai kelompok status quo.

 #GOOGLE_ADS#

Media Sosial Sebagai “Senjata” Polisi Zaman Now

Sebagaimana dinyatakan di atas, adaptasi dan peningkatan kualitas adalah sebuah keniscayaan. Hal tersebut bisa dicapai jika terlebih dahulu tubuh organisme yang bersangkutan telah dibersihkan dari berbagai penyakit yang menggerogotinya. Menilik lima pernyataan Chrysnanda di atas, tampaknya tubuh Polri seolah-olah mengidap kanker akut yang membutuhkan tindakan medis mendesak.

Salah satu “tindakan medis” yang telah diupayakan adalah dicetuskannya program Promoter. Melalui Promoter, Polri bertekad untuk mewujudkan institusi tersebut sebagai lembaga yang sadar akan pentingnya perubahan dan sadar terhadap tantangan kekinian—menggunakan ungkapan generasi milenial: “Polisi Zaman Now”.

Polisi Zaman Now merupakan institusi profesional dengan menerapkan konsep manajamen mutakhir, sebuah birokrasi modern yang mengedepankan pelayanan (service) dibandingkan hasrat dilayani (reward), meningkatkan dan memudahkan pelayanan publik dengan berbagai inovasi berbasis aplikasi daring (online), penegakan hukum tanpa pandang bulu, serta berlakunya merit system dalam mengembangkan sumber daya manusia (SDM).

Selain itu, hal yang teramat penting dalam konteks kekinian adalah perkembangan teknologi digital, terutama yang berhubungan dengan interaksi sosial masyarakat yang semakin mengglobal. Yang paling menonjol dalam konteks ini adalah maraknya media sosial (seperti Facebook, Twitter, dan Instagram). 

Terlepas dari berbagai ekses negatif yang inheren dalam media sosial yang cenderung memanipulasi perilaku penggunanya, berbagai media sosial tersebut jelas merupakan “senjata bermata dua” yang wajib ditundukkan dan dikuasai oleh para anggota Polri. Berbagai media ini bisa digunakan, di antaranya, sebagai sarana untuk mengimbangi beredarnya informasi negatif dengan publikasi kinerja positif yang telah ditempuh. Dengan demikian, berbagai upaya untuk menuju profesionalitas, kemodernan, dan keterpercayaan Polri bisa lebih memasyarakat dan berbagai stigma negatif yang melekat pada wajah kepolisian secara berangsur dapat dibersihkan.

)* Redaktur TangerangNews.com.