TangerangNews.com

Raperda Bahasa & Sastra Daerah di Banten Dinilai Mendesak

Maya Sahurina | Rabu, 31 Oktober 2018 | 18:58 | Dibaca : 2000


Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Banten. (Istimewa / Istimewa)


 

TANGERANGNEWS.com-Sejumlah pihak mendorong DPRD Banten segera membahas Raperda tentang Pengutamaan Bahasa Indonesia dan Perlindungan Bahasa dan Sastra Daerah di Provinsi Banten.  Draft raperda tersebut sudah lama berada di Badan Peraturan Daerah (Bapperda) DPRD Banten dan belum dibawa ke pleno untuk dibahas lebih lanjut ke paripurna agar dibahas di tingkat panitia khusus.

Wahyu Arya, penyair Banten memandang raperda tersebut perlu dibahas ke tingkat lebih tinggi agar segera menjadi payung hukum tetap. Menurutnya, penggunaan Bahasa Indonesia di ruang publik semakin tersingkirkan oleh bahasa asing. Pegiat Kubah Budaya ini menilai, perlu payung hukum untuk pemartabatan penggunaan Bahasa Indonesia, terutama di ruang publik.

"Saat ini kita lihat di ruang publik lebih banyak pihak yang menggunakan bahasa asing daripada Bahasa Indonesia. Kita masuk ke pusat perbelanjaan saja, terasa seperti di negara asing karena banyaknya kata-kata asing yang digunakan," ujarnya, Rabu (31/10/2018).

Wahyu menegaskan bahwa salah satu hasil Kongres Bahasa Indonesia XI merekomendasikan Pemerintah daerah harus berkomitmen dalam pengutamaan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara di ruang publik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan melibatkan lembaga-lembaga pengawasan terhadap kinerja penyelenggaraan layanan publik. Pada sisi lain kongres juga merekomendasikan pemerintah harus mengelola bahasa dan sastra daerah dalam upaya pelestarian dan 

penyusunan data dasar melalui penguatan kerja sama Badan Bahasa dengan pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan media.

#GOOGLE_ADS#

Qizink La Aziva, pendiri Komunitas Bahasa Jawa Serang (BJS)  sepakat agar raperda tersebut segera mendapat perhatian anggota dewan. Menurutnya, payung hukum tersebut juga sebagai salah satu bentuk komitmen Pemprov Banten dalam upaya perlindungan dan pelestarian bahasa daerah. Ia menegaskan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan telah mengamanatkan peran pemerintah daerah melindungi bahasa dan sastra daerah sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia.

"Selain pengutamaan penggunaan Bahasa Indonesia, Pemprov Banten harus punya komitmen dalam upaya pelestarian dan perlindungan bahasa dan sastra daerah. Di Provinsi Banten ini ada beberapa bahasa daerah yang perlu mendapat perharian pemerintah, di antara bahasa Sunda dialek Banten, bahasa Jawa Serang, bahasa Betawi, ada juga bahasa Lampung di daerah Cikoneng, Kabupaten Serang," ujarnya.

Ade Awaludin, anggota Komisi V dan Bapperda DPRD Banten dari Fraksi Gerindra mengaku sudah mengusulkan judul raperda itu ke Bapperda dan sudah di jadwalkan akan dibahas tahun ini. "Namun saya juga mendapat informasi bahwa besok Kamis 1 November ada beberapa Usulan Raperda akan diluncurkan ke Tahun 2019, tentu saya kecewa karena seharusnya teman-teman komitmen dengan jadwal dan ada respek terhadap perkembangan penggunaan bahasa Indonesia di Banten," ujarnya.

Dikatakan, jika bicara prioritas maka soal kebahasaan yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah lebih prioritas karena ini menyangkut Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara. "Sudah banyak bahasa Indonesia baik sebagai petunjuk pelayanan publik mengalami sesat bahasa dan hal itu dibiarkan, contoh kata dikontrakan yang artinya dilawankan namun kita sudah lazim mengartikan itu  disewakan," ujarnya, atau soal kewajiban penggunaan bahasa Indonesia bagi tenaga asing sudah di cabut oleh Peraturan Kemenaker No. 16 Tahun 2015, dimana jelas hal tersebut merugikan kedaulatan kita sebagai bangsa, hal hal semacam ini harus segera dibuatkan regulasi daerahnya.

Ia menambahkan, soal kebahasaan daerah sebagai bahasa ibu itu juga harus memiliki kaidah-kaidah yang terukur sehingga tidak liar atau hanya mengikuti kemauan para penutur tertentu, karena bahasa daerah merupakan bagian dari sastra multikultural.

Ade melihat kemungkinan raperda tersebut dicoret dengan alasan soal postur anggaran penyusunan raperda tersebut tidak ada lagi kegiatan ticketing atau study banding. "Saya kira hal tersebut bukan alasan  yang tepat. Kalau dengan pembahasan yang serius dan mengundang para pakar dan pegiat bahasa dan sudah menemukan hasil itu cukup. Tidak ada alasan raperda itu ditunda," ujarnya.(RMI/HRU)