TangerangNews.com

Pemilu ke-4 Masa Order Baru Tahun 1987

Redaksi | Jumat, 6 Maret 2020 | 17:20 | Dibaca : 1349


Zulpikar, Komisioner Bawaslu Kabupaten Tangerang. (Istimewa / Istimewa)


 

Oleh : Zulpikar, Komisioner Bawaslu Kabupaten Tangerang

 

Sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya yang pernah digelar sejak Indonesia merdeka, Pemilu 1987 bukanlah ajang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, melainkan memilih anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kotamadya, untuk periode 1987–1992. 

 

Pemilu Legislatif 23 April 1987 tercatat sebagai Pemilu keempat dalam rezim pemerintahan Orde Baru. Pemilu dilaksanakan dengan asas Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (Luber).

 

Dasar Hukum, Partisipasi Pemilih dan Hasil  Pemilu Tahun 1987

 

Pemilihan Umum Tahun 1987 menggunakan dasar hukum : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1985 tentang peruban atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980. 

 

Dari 93.737.633 pemilih, suara sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi tidak berubah, tetap mengacu pada pemilu sebelumnya. Hasil pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan pemilu tahun 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. 

 #GOOGLE_ADS#

Penyebab merosotnya suara PPP antara lain dikarenakan tidak diperbolehkannya PPP memakai asas Islam dan dirubahnya lambang dari Kakbah menjadi bintang bersegi lima. Penyebab lainnya adalah terjadi penggembosan oleh tokoh-tokoh unsur NU terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI yang tahun 1986 sepertinya mulai dekat dengan kekuasaan yang diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soeparjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu tahun 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu tahun 1987.

 

Sebelum Pemilu 1987, rezim Orde Baru telah menggelar tiga kali pemilihan umum, yakni tahun 1971, 1977, dan 1982. Seluruhnya dimenangkan secara mutlak oleh Golkar sekaligus melanggengkan Soeharto di kursi kepresidenan. Hasil akhir pemilu yang digelar pada 23 April 1987 ini menempatkan Golkar sebagai pemenang untuk ke-4 kalinya secara beruntun sejak 1971. Bahkan, perolehan suara mesin politik Orde Baru ini mencapai 74.75 persen dan memperoleh 299 kursi di DPR dari total 400 kursi yang tersedia. 

 

 

Capaian Golkar di Pemilu 1987 adalah yang tertinggi jika dibandingkan dengan tiga edisi sebelumnya, yaitu 65.55 persen pada 1971, 64.44 persen pada 1977, dan 67.22 persen suara pada 1982. Perolehan tinggi ini menunjukkan betapa kuatnya cengkeraman Orde Baru dalam mempengaruhi hasil pemilu.

 

"Keberhasilan-keberhasilan ini sebagian besar terkait dengan pengaturan pemerintah atas UU Pemilu dan UU Kepartaian, serta peraturan-peraturan pelaksanaannya yang menguntungkannya, organisasi, taktik yang diterapkan Golkar, dan manipulasi pemerintah terhadap partai-partai yang tidak memerintah,” tulis R. William Liddle dalam Pemilu-pemilu Orde Baru (1992).

 

Strategi Penguasa di Pemilu Tahun 1987

 

Fadrik Aziz Firdausi dalam tirto.id pada 13 April 2019 dalam Sejarah Pemilu 1987, “Golkar Perkasa, PPP Anjlok, PDI Lumayan" : Orde Baru mengerahkan segala cara agar dapat mengamankan suara Golkar, sekaligus kembali mengantarkan Soeharto ke puncak kekuasaan. Dalam UU Pemilu yang baru, Lembaga Pemilihan Umum dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri. Sejumlah menteri lainnya dan Panglima ABRI juga duduk di dewan pertimbangan lembaga yang seharusnya netral. Kontrol lain dari pemerintah adalah berlakunya Undang-Undang No. 3/1985 yang mewajibkan partai politik dan Golongan Karya berasas tunggal: Pancasila.

 

Yang paling terdampak oleh Undang-Undang ini adalah PPP yang harus menanggalkan asas Islamnya dan mengubah lambangnya dari Kakbah menjadi bintang. Selain itu, rezim Orde Baru juga menerapkan aturan yang berpengaruh terhadap PPP dan PDI, namun menguntungkan Golkar, misalnya: larangan pembentukan cabang partai di bawah tingkat provinsi, pengurangan masa kampanye (dari sebelumnya 45 hari menjadi 25 hari), hingga pelarangan kritik terhadap kebijakan pemerintah. 

 

Segala pembatasan itu tak ada pengaruhnya bagi Golkar yang eksponennya menempati posisi penting dalam birokrasi dan militer. Rezim Soeharto memanfaatkan birokratnya untuk memobilisasi dukungan terhadap Golkar. Caranya dengan menekan para kepala desa untuk mengumpulkan suara bagi Golkar. “Terutama di pedesaan Jawa, di mana pejabat-pejabat desa cenderung mengontrol sebagian besar sumber-sumber nilai dan secara tradisional dipatuhi untuk urusan-urusan di atas desa, strategi ini sangat berhasil,” tulis Liddle. 

 

 

Dalam Majalah Tempo edisi 9 Mei 1987 disebutkan, selain karena kewajiban asas tunggal Pancasila dan penggantian logo, PPP juga kehilangan suara lantaran hengkangnya NU. Dalam pemilu-pemilu sebelumnya, NU adalah basis massa yang penting bagi PPP. Liddle menilai, jejaring Orde Baru dan Golkar berada di balik fenomena ini. “Sekolah-sekolah dan guru-gurunya menjadi sasaran sumbangan pemerintah, bukan permusuhan. Beberapa anggotanya berpengaruh di dalam Golkar, akan diberi posisi pimpinan untuk menjadi perekat persekutuan de facto itu,” tulisnya. 

 

Selain itu, PPP juga semakin diwaspadai oleh pemerintah Orde Baru setelah terjadinya kerusuhan dalam kampanye Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, menjelang Pemilu 1982. Kampanye Golkar yang digelar secara akbar ini diserbu serombongan orang berbaju hijau yang kemudian diidentikkan dengan PPP. Menurut laporan Majalah Tempo edisi 27 Maret 1982, massa tak diundang bahkan membakar tanda gambar Golkar dan berusaha menyerang panggung kampanye. “Tapi, sampai di depan panggung, tinggal 20 meter lagi, mereka berlarian mundur karena pasukan Brimob menembakkan senjata otomatis ke udara,” tulis Tempo.

 

Presiden Soeharto amat serius menanggapi insiden itu yang ia sampaikan dalam pidato kenegaraan di Sidang DPR tanggal 16 Agustus 1982. Dari sinilah kemudian Orde Baru menggiring seluruh kekuatan politik di Indonesia untuk menganut satu ideologi, yakni Pancasila, dan ternyata berdampak pada perolehan suara PPP di Pemilu 1987. Sementara itu, partai peserta pemilu lainnya, yakni PDI yang mewakili kaum nasionalis dan non-Islam, seolah mendapatkan keuntungan dari anjloknya suara PPP di Pemilu 1987, meskipun partai berlambang kepala banteng ini tetap saja berada di urutan ketiga atau terakhir. 

 

Hasil Pemilu 1987 menunjukkan, PDI meraup 10 persen suara dan 40 kursi di DPR. Raihan ini mengalami peningkatan dari hasil pemilu sebelumnya. Di Pemilu 1982, PDI hanya memperoleh 6.66 persen suara dan 24 kursi di parlemen.