TangerangNews.com

Pemilukada Serentak 2018

Mohamad Romli | Senin, 15 Juni 2020 | 19:13 | Dibaca : 511


Zulpikar, Komisioner Bawaslu Kabupaten Tangerang. (@TangerangNews / Istimewa)


Oleh : Zulpikar, Komisioner Bawaslu Kabupaten Tangerang

Dasar Hukum Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota 2018

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Tahun 2018 merupakan  pemilukada serentak gelombang ketiga yang memilih kepala daerah di 17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota melalui sistem pemilihan secara langsung, satu orang satu suara. Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan pelaksanaan pilkada tahun 2018 digelar pada Juni 2018. Pelaksanaan Pemungutan suara tepatnya pada 27 Juni 2018.

Tahapan Pilkada 2018 diawali dengan tahapan persiapan sejak September 2017. Sebelumnya, pada 2017 sudah berlangsung pemilihan di 101 daerah dan pada 2015 berlangsung di 269 daerah. Tiga provinsi dengan jumlah penduduk ”gemuk”, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, juga memilih kepala daerah pada pilkada gelombang ketiga ini. 

Pemilihan Kepala Daerah serentak diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perpu 1/2014) yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 dan telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 (UU 8/2015) kemudian diubah kedua kalinya dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU 10/2016).

Calon Tunggal Pada Pemilukada 2018 Kian Bertambah

Perhelatan pemilihan kepala daerah Tahun 2018 diwarnai dengan munculnya satu pasangan calon di beberapa daerah, bahkan jumlahnya meningkat dari Pemilukada serentak sebelumnya yakni Tahun 2015 dan 2017. 

Meskipun hanya melawan kotak kosong, proses pemilihan Pilkada dengan calon tunggal tetap berlangsung sesuai dengan amanat Undang-undang  Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilukada. Namun Pasangan valon tunggal harus memperoleh minimal 50% dari suara sah plus satu suara. Jika calon tunggal kalah dari kotak kosong, pemerintah akan mengangkat penjabat daerah sementara. 

Menurut penulis, penyebab utama bermunculannya calon tunggal adalah naiknya bobot persyaratan calon kepala daerah yang diatur oleh Undang-undang Pemilukada sehingga menambah berat syarat yang harus dipenuhi partai politik untuk mengajukan calon kepala daerah. 

Dampak dari adanya syarat  harus tercukupinya jumlah kursi di DPRD yang membuat partai politik tak bisa secara independen mengusung calonnya. Partai harus bekerja sama dengan partai-partai lain untuk bisa mengajukan calon. 

Berdasarkan Undang-undang No. 10/2016 tentang Pemilukada, partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRD di daerah yang bersangkutan, yang sebelumya hanya 15 persen dari perolehan kursi DPRD atau 15 persen perolehan suara pada pemilu DPRD.

Dalam beberapa kasus, situasi ini membuat calon, terutama calon petahana melakukan penguasaan jumlah kursi dari partai-partai yang ada. Ini biasanya dimungkinkan, ketika calon tersebut bisa membeli atau memonopoli kursi-kursi yang ada dan juga punya popularitas dan elektabilitas yang tinggi, yang jauh melebihi popularitas dan elektabilitas figur-figur lain yang ingin mencalonkan diri pada Pemilukada. Ditambah lagi dengan kecendrungan kondisis partai politik lebih pragmatis melihat tokoh atau figur yang memiliki peluang besar untuk menang.

Faktor lain yaitu, beratnya persyaratan bagi seseorang untuk maju melalui jalur independen. Seseorang yang berniat maju melalui jalur independen harus mengumpulkan dukungan antara 6,5-10 persen dari jumlah pemilih atau DPT Pemilukada terakhir. Yang sebelumnya tiga sampai enam persen dari jumlah penduduk. 

Berdasarkan UU Pilkada 10/2016, minimal dukungan calon independen berkisar antara 6,5-10 persen. Dengan rincian, 10 persen untuk jumlah DPT 2 juta, 8,5 persen untuk jumlah DPT 2 juta-6 juta, 7,5 persen untuk jumlah DPT 6 juta-12 juta, dan 6,5 persen untuk jumlah DPT di atas 12 juta.

Maspril Aries Wartawan Republika pada Republika.co.id 27 Juni 2018 dalam artikel berjudul “Pilkada dengan calon tunggal bukanlah kontestasi politik yang bagus” menulis,  berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum pada pilkada 2018 ada 16 pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah akan melawan kolom kosong atau kerap disebut “kotak kosong” yang berkonstasi di 16 daerah kabupaten dan kota. 

Jumlah pasangan calon tunggal kali ini mengalami peningkatan dibanding dua gelombang pilkada serentak sebelumnya. Pilkada serentak 2015 hanya ada tiga daerah dengan calon tunggal, yaitu pilkada Kabupaten Tasikmalaya, pilkada Kabupaten Blitar, dan pilkada Kabupaten Timur Tengah Utara.

Kemudian pada pilkada serentak gelombang kedua 2017 jumlah itu meningkat menjadi sembilan daerah dengan calon pasangan tunggal. Pada Pilkada gelombang ketiga 2018 kembali meningkat. Fenomena pasangan calon tunggal tidak bisa dihindari karena diatur dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.

Kemudian Pasal 11A, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.11 Tahun 2016 yang mengatur calon tunggal dalam Pilkada, bahwa surat suara pada pemilihan satu pasangan calon memuat dua kolom yang terdiri atas satu kolom yang memuat foto dan nama pasangan calon dan kolom kosong yang tidak bergambar atau lebih populer dengan istilah “kotak kosong.” PKPU No.8 Tahun 2017 juga mengatur tentang sosialisasi “kolom kosong.”

#GOOGLE_ADS#

Kemenangan 99,13% Suara

Dalam wikipedia.org “Daftar Pemilihan Umum Kepala Daerah di Indonesia 2018“ : Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih dilakukan oleh masing-masing KPUD Provinsi, sedangkan penetapan Bupati dan Wakil Bupati terpilih dilakukan oleh KPUD Kabupaten dan penetapan Wali Kota dan Wakil Wali Kota terpilih dilakukan oleh KPUD Kota. 

Dari seluruh pasangan calon terpilih, hanya 3 pasangan calon dari jalur independen yang terpilih, yaitu 2 pasangan calon bupati dan wakil bupati serta 1 pasangan calon wali kota dan wakil wali kota. Pasangan calon dengan raihan persentase suara tertinggi pada masing-masing tingkatan adalah Lukas Enembe-Klemen Tinal (Provinsi Papua) dengan kemenangan 67,54% suara, John Richard Banua-Marthin Yogobi (Kabupaten Jayawijaya) dengan kemenangan 99,13% suara, dan Arief R. Wismansyah-Sachrudin (Kota Tangerang) dengan kemenangan 85,62% suara. 

Pasangan calon dengan raihan persentase suara terendah pada masing-masing tingkatan adalah Isran Noor-Hadi Mulyadi (Provinsi Kalimantan Timur) dengan raihan 31,33% suara, Sakariyas-Sunardi (Kabupaten Katingan) dengan raihan 28,22% suara, dan Alpian Maskoni-Muhammad Fadli (Kota Pagar Alam) dengan raihan 27,80% suara. (RMI/RAC)