TangerangNews.com

Pandemi Menghilangkan Roh Pendidikan Perguruan Tinggi

Redaksi | Selasa, 19 Januari 2021 | 14:33 | Dibaca : 5631


Khikmawanto, Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Yuppentek Tangerang dan Pendiri Garasi Baca “Revolusi Senja”. (@TangerangNews / Khikmawanto)


Oleh: Khikmawanto, Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Yuppentek Tangerang dan Pendiri Garasi Baca “Revolusi Senja”

TANGERANGNEWS.com-Era panedemi tentunya membawa kita kepada era baru dimana segala aktifitas kita di fasilitasi oleh internet. Tak jarang aktifitas dari hal yang sebelumnya dilakukan melalui manual (on thespot) kini bisa di penuhi dengan internet. Mulai dari ibu-ibu yang memesan bahan masakan sampai kebutuhan pendidikan dihampir setiap perguruan tinggi menyediakan layanan internet.

Banyak kelas-kelas online di buka dengan fasilitas internet yang mengatasnamakan kuliah daring jarak jauh. Tak sedikit juga perguruan tinggi latah dengan menerapkan hal yang sama namun parahnya tidak di barengi dengan penguatan pengetahuan dan visi membangun pendidikan yang baik.

Tidak bermaksud menyalahkan dunia dengan arus perkembangan teknologi yang begitu cepat, namun juga perlu di pahami bahwa pendidikan dan segala aktifitas pemenuhan kebutuhan juga harus di imbangi dengan pengetahuan yang mumpuni. 

Walaupun eranya perkuliahan daring karena pandemi di tambah kemajuan teknologi, jangan sampai menurunkan kualitas pendidikan. 

Narsisme intelektual

Media social kadang memancing penggunanya untuk berdebat seolah –olah semua nitizen sama kemampuan pengetahuanya. Kita seolah hidup di dunia dimana Nitizen sama cerdasnya dan sama pahamnya dengan para ahli dalam maslah tertentu (Pakar). Maka tidak heran ada sebutan nitizen maha tau segalanya. Walaupun dari latar belakang pendidikan alar kadarnya. 

Senada dengan yang disampaikan kritikus filem di New York Times A.O . Scott bahwa di internet semua orang adalah kritikus.maka dari itu setiap orang berhak berpendapat dan menilai dan parahnya seringkali selalu menisbahkan diri sebagai pakar atau ahli. 

Kemampuan untuk berdebat jarak jauh dan kesetaraan yang semakin murah baik dari pakar maupun orang awam membuat jarak perbedaan antara orang cerdas dan awam semakin besar. Tom Nichols didalam buku Matinya Kepakaran (the death of expertise) mengatakan bahwa argunentasi harus berdasarkan prinsip dan data agar kesehatan intelektual tetap terjaga. 

Seringkali asumsi yang menjadi dasar orang berani berdebat di internet dan tentunya kebanyakan tidak berdasarkan prinsip apalagi data dan ini sangat mengancam Demokrasi. 

Parahnya lagi kebijakan sering kali mendasarkan pada kebanyakan argumentasi ketimbang data sebuah kebijakan harus di ambil. Siapa yang berisik menyuarakan itu yang di angap sebagai kebenatan dan harus di lakukan. 

Lebih parah lagi institusi pendidikan seolah mengkonfirmasi ini bahwa pengetahuan dan kecerdasaan yang di miliki oleh semua orang adalah sama. Sehingga mahasiswa tidak perlu susah payah untuk menempau diri agar menjadi ahli dan mapan dalam intelektual. Kuliah adalah pengalaman istimewa, bangku perguruan tinggi adalah indikasi potensi dan lulus dari perguruan tinggi adalah prestasi.

Paradox perguruan tinggi semakin memperlebar jarak pengetahun yang di miliki oleh akademisi dengan orang awam. Semua orang bisa masuk perguruan tinggi dengan berbagai misi. Akibatnya aktifitas di perguruan tinggi tidak lagi berhubungan dengan pendidikan namun pada aktifitas lain yang tidak ada hubunganya dengan pendidikan.

Tidak banyak perguruan tinggi yang memberikan bekal kepakaran (ahli) kepada lulusanya, sehingga terkesan perguruan tinggi menjadi agen plesiran orang-orang yang berduit dan di akhir program plesiran mendapatkan bukti kwitansi pembyaran mengikuti program (Ijaza). 

Tugas-tugas perkuliahan saat ini di anggap sebagai hantu menakutkan dan tak jarang mahasiswa menganggap sebagai beban. Kebijakan perguruan tinggi mengkonfirmasi mahasiswa bahwa pengajar jangan sampai memberikan tugas dan materi yang berat kepada peserta didik.

Sesuatu yang aneh menurut saya mengingat, bagimana kita mengetahui kemampuan memahami materi  perkuliahan kalua tidak di lakukan ujian. Bahkan, saat ujian soal pun dibuat ringan dan mudah menjawab.

Seharusnya perguruan tinggi berperan memberikan bekal intelektual kepada mahasiswanya secara mumpuni, kemampuan berfikir kritis, kemampuan menguji informasi baru dan mengadu gagasan secara objektif, logis dan tanpa prasangka emosional. Tanpa itu semua penyumbang terbesar kegaduhan bangsa ini bisa di bilang perguruan tinggi yang acuh dengan kualitas pendidikanya sehingga berkesan narsis secara intlektual namun nol dalam pengetahuan.

#GOOGLE_ADS#

Anarki digital

Banyak mahasiswa yang berkeyakinan bahwa mereka tahu lebih banyak daripada yang benar-benar diketahuinya. Ini maslah yang lebih parah ketimbang kebodohan, kekonyolan yang di lakukan mahasiswa. 

Kuantitas mengenyam pendidikan masyarakat masuk perguruan tinggi semakin meningkat namun tidak di barengi dengan kemampuan intelektual. “Banyak lulusan perguruan tinggi belum tentu berpendidikan”

Seharusnya posisi perguruan tinggi menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan. Disana juga seseorang menerima kegelisahan, ketidaknyamanan, dan tantangan kompleksitas yang mengantar seseorang mencapai pengetahuan yang lebih dalam. Bukan sebaliknya, pendidikan perguruan tinggi di era pandemic saat ini di pasarkan seolah sebagai paket liburan beberapa tahun. Dengan tawaran pengalaman yang mengasyikan dan tentunya sangat menghibur.

Dan ini menjadi masalah terbesar di masyarakat. Perguruan tinggi berubah makna menjadi agen pariwisata dengan mengutamakan perjalanan pendidikan yang mengasyikan. Di tambah lagi perguruan tinggi tidak cukup berani mengambil keputusan untuk memberikan kesan pendewasaan dan merubah pola fikir tentunya dengan atmosfir intelektual yang ditandai dengan selalu menguji kebenaran dalam forum-forum ilmiah. Hal ini rasanya sulit di lakukan karena perguruan tinggi takut dengan peminat yang sepi.

Diskon biaya pendidikan, fasilitas yang memadai sampai kepada garansi tawaran cepat lulus menjadi Bahasa marketing pergurun tinggi untuk menggait calon mahasiswa baru. 

Untuk itu tidak jarang kegaduhan baik dalam arena pendidikan maupun arena masyarakat yang di tandai dengan penggunaan media social (internet) tidak bisa dikendalikan, karena orang tidak lagi memandang perguruan tinggi sebagai arena mengembleng diri, pendewasaan diri, dan yang paling penting kualitas keilmuan.

Pendapat dari orang awam dengan orang yang kita akui sebagai pakar sama baiknya. Ini sama dengan keyakinan seseorang bisa menerbangkan pesawat terbang karena selama ini sudah berlatih menerbangkan mainan pesawat dari kertas. Padahal untuk menerbangkan sebuah pesawat sungguhan harus di lalui dengan pendidikan dan pelatihan. 

Kekacauan pemahaman seperti ini solusinya ada di perguruan tinggi. Dan perguruan tinggi juga seharusnya menyadari kontribusi terhadap rusak dan tidaknya masyarakat dan negara berasal dari lembaga pendidikan tinggi. 

Dalam Materialisme historisnya Marx mengatakan bahwa "Bukan kesadaran yang menentukan keadaan, namun keadaanlah yang menentukan kesadaran”.

Untuk itu peran strategis ini mau tidak mau harus di ambil oleh lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi. Agar masyarakat tetap menganggap lembaga pendidikan bisa di andalkan untuk mencetak manusia yang tangguh di setiap zaman. 

Era baru ini juga kita jadikan sebagai titik balik lembaga pendidikan untuk berbenah diri tidak lagi menawarkan pendidikan layaknya plesiran wisata atau garansi cepat lulus namun keunggulan intelektual dan berbagai program pengembangan diri menjadi bahan jualan kepada masyarakat. (RAZ/RAC)