TangerangNews.com

Mahalnya Transaksi Pesta Demokrasi

Tim TangerangNews.com | Minggu, 26 September 2021 | 17:12 | Dibaca : 498


Euis Bella Bediana, Pengamat Sosial Kemasyarakatan. (@TangerangNews / Euis Bella Bediana)


Oleh: Euis Bella Bediana, Pengamat Sosial Kemasyarakatan

TANGERANGNEWS.com-Siapapun yang jujur, pasti akan mengakui bahwa negeri tercinta kita ini sedang mengalami keterpurukan. Dalam segala bidang. Di tengah kesulitan ekonomi dan belum pulihnya negeri dari situasi pandemi COVID-19 ini, pemerintah mencanangkan Pemilu 2024 harus tetap berjalan. Anggaran yang diusulkan pun tak main-main, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp 86 Triliun. Bilangan yang sangat fantastis di tengah kemerosotan ekonomi negara seperti ini. 

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) menilai anggaran Pemilu 2024 yang diusulkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI senilai Rp 86 triliun terlalu tinggi. Mendagri pun mengusulkan agar anggaran Pemilu 2024 dipangkas. Hal ini mengingatkan Indonesia masih berusaha memulihkan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

(Liputan6.com) 

"Sangat Penting bagi kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi prinsip musyawarah mufakat untuk meninjau kembali sistem pemilu yang boros dan cenderung menyebabkan kerentanan sosial seperti ini. Pemilu langsung sudah seperti industri dalam demokrasi kita," ujar wakil ketua DPD RI Sultan B Najamudin di Jakarta pada Ahad (19/9), dalam siaran persnya.

#GOOGLE_ADS#

Menurutnya biaya pemilu yang terlampau jumbo akan sangat rawan menyebabkan penyalahgunaan anggaran. Belum lagi jika ditambahkan dengan modal pemilu milik partai politik dan capres. Pemilu Langsung hanya jadi ajang adu kuat modal politik, yang sumbernya berasal dari cukong dan oligarki.

"Dalam suasana bangsa yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemik covid-19, sebaiknya anggaran difokuskan pada pembenahan sistem dan manajemen kesehatan dan pendidikan, serta upaya pemulihan ekonomi nasional. Pesta Demokrasi tidak pantas dirayakan di tengah meningkatnya angka kemiskinan rakyat," tegas Sultan. (Republika.co.id) 

Demokrasi yang dikangkangi oleh kepentingan oligarki, maka demokrasi tersebut sudah menjadi industri demokrasi. Yaitu sistem politik yang dipenuhi oleh transaksi kepentingan, mengejar kekuasaan dan mewujudkan perwakilan oligarki. 'Core business' dari industri demokrasi adalah 'money politics' dan korupsi sesuai dengan kepentingan para 'plutocrat' (pemilik modal besar) meraih target kursi kekuasaan. 

Anggaran pesta demokrasi yang berbiaya mahal, berbanding terbalik dengan nihilnya hasil keberhasilan menuntaskan problem rakyat. Ini adalah fakta telanjang yang kasat mata, rakyat hanyalah pelengkap penderita layaknya keset kaki untuk memperpanjang usia demokrasi. Siapa yang berani menghentikan demokrasi akan dianggap melakukan “dosa besar” melawan kehendak rakyat. Padahal yang kita semua ketahui itu adalah hoaks terbesar yang diciptakan, rakyat tidak pernah diuntungkan dengan adanya demokrasi. 

Demokrasi tegak di atas asas sekulerisme dan kebebasan, hingga tak ada aturan yang jelas mana yang benar mana yang salah. Semua hal diukur dari kemanfaatan yang sudut pandangnya tentu akan beragam. Karenanya tak ada Tuhan dalam sistem demokrasi. Sehingga semua aktivitas manusia, termasuk aktivitas politik kekuasaan, berikut seluruh aturan dan kebijakan yang dihasilkan, sangat sarat dengan pertarungan kepentingan. Dan di alam kapitalisme, yang menentukan siapa pemenang adalah kekuatan uang.

#GOOGLE_ADS#

Maka, jangan harap demokrasi akan membawa kebaikan. Karena dengan sendirinya, nilai-nilai transedental dan aturan halal-haram akan tersingkirkan. Bahkan yang kerap terjadi adalah percampuradukan antara kebenaran dan kebatilan, serta praktik menghalalkan segala cara. Sesungguhnya sistem ini tentu sangat berbahaya. Dilihat dari sudut pandang islam, karena secara akidah dan amalan jelas bertentangan dengan Islam. Islam menuntut garis yang jelas dalam keduanya. Tak menerima sinkretisme dan tak toleran pada kebatilan.

Terlebih dalam Islam, kekuasaan dan kepemimpinan adalah amanah Allah yang sangat besar. Tujuannya sangat mulia, yakni sebagai lembaga penerap syariat yang diturunkan-Nya, demi kemaslahatan seluruh umat manusia. Dengan itulah, manusia akan menapaki jalan kebahagiaan dan keberkahan.

Oleh karena itu, cara menghentikan laju politik oligarki yang dibangun parpol berkuasa hanyalah dengan mencabut sistem politik Demokrasi dan menggantinya dengan sistem Islam. Sistem Islamlah yang terjamin mampu menghasilkan para politisi amanah, bertanggung jawab; memiliki integritas, kapasitas, kapabilitas; Serta mewujudkan calon pemimpin yang beriman dan bertakwa.

Mereka mencalonkan diri dan dicalonkan karena panggilan keimanan. Berbekal tujuan akhirat dan berdiri untuk kemaslahatan umat. Kepemimpinannya juga demi menerapkan aturan Allah Subhānahu Wa Ta'ala, bukan yang lain. Dengan demikian, hanya Islam yang dibutuhkan umat, bukan sistem fasad semisal Demokrasi. Wallahua'lambishshawwab