TangerangNews.com

Ramai #PercumaLaporPolisi, Dimana Keadilan Sistem Demokrasi? 

Rangga Agung Zuliansyah | Minggu, 17 Oktober 2021 | 16:19 | Dibaca : 1406


Euis Bella Bediana, Pengamat Sosial Kemasyarakatan. (@TangerangNews / Euis Bella Bediana)


Oleh: Euis Bella Bediana, Aktivis Dakwah

TANGERANGNEWS.com-Baru-baru ini media sosial twitter diramaikan dengan #PercumaLaporPolisi, ramainya tagar tersebut karena bentuk protes warganet tentang penyelidikan kasus bapak perkosa tiga anaknya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Tagar yang mengandung ajakan tidak melapor polisi dinilai tidak patut. Sabtu, 9 Oktober 2021 dalam keterangan tertulis Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan "Ajakan untuk tidak melapor ke polisi, betapa pun dilatari kekecewaan mendalam dan itu manusiawi, tidak sepatutnya diteruskan" (Medcom.id) 

Polri merespons viralnya #PercumaLaporPolisi di media sosial (medsos) Twitter. Perbincangan itu buntut dari dihentikannya kasus dugaan pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel). Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Rusdi Hartono, mempertanyakan data dari munculnya tagar tersebut. Menurutnya, pelaporan dari masyarakat selalu ditindaklanjuti oleh kepolisian.

#GOOGLE_ADS#

"Banyak diabaikan ya datanya dari mana dulu. Yang jelas apabila setiap laporan masyarakat yang menginginkan pelayanan kepolisian di bidang penegakan hukum, pasti akan ditindaklanjuti," Pernyataan dari Brigjen Rusdi di kantornya, Jakarta Selatan Jumat, 8 Oktober 2021 (Okezone.com) 

Ramainya ajakan untuk tidak melapor ke polisi atas dugaan pemerkosaan ini juga senada dengan hasil survey kepercayaan masyarakat terhadap penegakkan hukum di negeri ini. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sangat tidak puas dengan penegakan hukum di negara ini.

Peneliti LSI Dewi Arum mengatakan, dalam survei tersebut yang menilai tidak puas terhadap penegakan hukum di Indonesia, cakupannya merata di semua lapisan masyarakat. "Temuan ini menggambarkan rendahnya wibawa hukum di mata publik," kata Dewi Arum di Kantor LSI, Rawamangun, Jakarta Timur, Minggu 7 April 2013 (Sindonews.com). 

Kekecewaan masyarakat terhadap penegakkan hukum dalam menciptakan rasa aman di tengah masyarakat, adalah buah dari penerapan sistem sekuler. Sistem sekuler memastikan hukum dibuat dan ditegakkan oleh manusia yang rentan dengan kepentingan dan mudah dimanipulasi. Alhasil hukum tidak menjadi alat untuk mencari kebenaran dan keadilan untuk melegitimasi kebenaran atau keadilan bagi kekuasan.

#GOOGLE_ADS#

Jelas hal ini berbeda, karena jika hukum tidak lagi dipercaya masyarakat akan mencari jalan sendiri untuk mencari jalan keadilan, masyarakat akhirnya bertindak untuk main hakim sendiri akibat penegakkan hukum yang amblas hingga keadilan yang tinggal landas. Sistem Demokrasi sekuler yang menghasilkan ketidakadilan sistematis

Berbeda dengan islam, kunci utama keberhasilan penegakkan hukum yang adil adalah hukum yang diterapkan merupkan hukum yang tidak berpihak pada manusia manapun dan memiliki ketentuan dan kadar yang baku yaitu hukum dari Sang Pencipta Manusia yang Maha Adil, syariat islam. Hukum ini adalah hukum terbaik, selalu cocok dan sesuai untuk diterapkan di segala zaman dan masa, juga tidak berubah mengikuti kepentingan manusia tertentu, yakni contohnya hukum buatan manusia adalah sistem Demokrasi.

Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 8 "Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan". 

Dalam hukum Islam, terdapat cita-cita tertinggi manusia yakni keadilan. Keadilan merupakan sifat yang melekat pada islam dan tidak dapat terpisahkan. Menurut Imam Ibnu Taimiyah "Keadilan adalah apa saja yang ditunjukkan oleh Alkitab dan Sunah, baik dalam hukum-hukum hudud (istilah dalam hukum Islam) maupun hukum-hukum lainnya" (As Siyasah As Syariyah hlm. 15). Sebagai contoh keadilan pada masa Sayyidina Ali menjadi Khalifah, ada seorang Yahudi yang memiliki baju besi sang Khalifah. Karena sang Khalifah merasa bahwa itu bajunya, maka sang Khalifah mengajukan kasus tersebut ke pengadilan.

#GOOGLE_ADS#

Meski kasus itu melibatkan sang Khalifah, tetapi hakim tidak berpihak pada Khalifah. Justru sang hakim memenangkan orang Yahudi pemilik baju besi sang Khalifah itu, sebab Sayyidina Ali tidak dapat menghadirkan bukti dalam persidangan. Ini menunjukkan bagaimana sistem peradilan islam memutuskan sengketa, meski melibatkan orang kuat. 

Ketika keadilan islam diwujudkan dalam masyarakat, akan mengimplikasi mewujudkan cara pandang dan perlakuan yang sama terhadap individu-individu masyarakat, tak mengenal status sosial semua mendapatkan posisi yang sama di hadapan hukum. Hukum ditegakkan secara objektif atau bebas dari kepentingan, dengan keadilan keberlangsungan hidup masyarakat akan terjaga dengan baik.

Bahkan keadilan digunakan sebagai barometer untuk mengukur sejauh mana rezim berkuasa bisa memperoleh dukungan dan simpati dari rakyat, juga mampu menggapai ridho dari sang Khaliq. Sebab pada hakikatnya, pemimpin dalam islam menegakkan keadilan melalui penerapan hukum islam atas dasar ketakwaan kepada Allah. 

Pemimpin dalam islam sangat menyadari bahwa semua amal kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Karena itu, fungsi pemimpin adalah mengarahkan dan menjaga rakyat agar tetap berada di koridor keadilan, keseimbangan dan kesejahteraan dunia akhirat. Berbuat adil ialah pangkal segala keutamaan, terwujudnya keadilan akan menciptakan stabilitas nasional dan menyejahterakan kehidupan rakyat.

Secara lugas Allah pun memerintahkan agar keadilan dijadikan landasan utama untuk menetapkan hukum diantara manusia, sebab di sanalah letak keberhasilan seorang pemimpin untuk menyampaikan dan melaksanakan amanat yang diberikan. Demikianlah bahwa hanya sistem islam yang melahirkan regulasi dan penegakkan hukum yang adil. Wallahu'alambish-shawwab