TangerangNews.com

Mengerikan! Begini Bentuk Azab dan Hukuman Orang yang Tidak Puasa Ramadan

Rangga Agung Zuliansyah | Selasa, 28 Maret 2023 | 18:55 | Dibaca : 1175


Nurzaman vG, Aktivis Masjid dan Pemerhati Sosial Kemasyarakatan (@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)


Oleh: Nurzaman vG, Aktivis Masjid dan Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

 

TANGERANGNEWS.com-Melewati pekan pertama puasa Ramadan, sering kali kita jumpai muslim yang tidak berpuasa. Parahnya, mereka bebas melakukan tanpa merasa malu dan takut berdosa. Fenemona ini, merupakan fakta dalam ekosistem sekuler di setiap Ramadan, seolah lumrah dan biasa. Terlebih penguasa abai dalam persoalan ini, dengan dalih ranah privasi yang dijamin kebebasannya.

Sekalipun ada, sifatnya hanya sebatas himbauan pemanis, bukan penegasan atau pun pelarangan, itupun hanya ada pada Kota dan Provinsi tertentu saja di Indonesia. Bahkan kontras dari hal tersebut, pada awal Ramadan tahun ini, umat Islam di Bali terpaksa melaksanakan Salat Tarawih di rumah karena bertepatan dengan Hari Raya Nyepi umat Hindu. Seperti diberitakan hampir semua media.

Fenemona muslim tidak puasa Ramadan sungguh ironis di negeri mayoritas muslim terbesar ini. Pasalnya, puasa Ramadan merupakan salah satu rukun dalam Islam. Kewajibannya merupakan perkara asasi seorang muslim. Perkara yang membedakan dirinya dengan non muslim. Lebih jauh, puasa Ramadan merupakan perkara yang dapat menentukan nasib seseorang ketika nanti pulang ke akhirat kelak.

Jika kita telisik, fenemona muslim yang tidak berpuasa Ramadan, tidak lepas dari tiga hal.

Pertama, lemahnya pemahaman individu muslim terhadap agamanya sendiri. Hal ini terkait erat dengan latar belakang serta lingkungan keluarga tempat ia dibesarkan. Diakui atau tidak, lebih dari 80 persen muslim di Indonesia menjadi muslim karena faktor keturunan. Oleh karena itu, butuh peran keluarga untuk memahamkan dan menanamkan keimanan yang kokoh sejak dini agar begitu baligh, mereka sudah siap dengan beban hukum yang diperintahkan Islam.

Sementara pada usia yang sudah baligh, seseorang pemikirannya harus dirangsang agar  mencapai keimanan yang benar. Proses menuju iman yang benar ini harus di tempuh dari proses berpikir. Bukan dari sekedar ikutan, keturunan dan juga perasaan. Berpikir yang dimaksud adalah berpikir tentang alam semesta, manusia dan kehidupan. Berpikir tentang eksistensi diri, dari mana berasal, untuk apa hidup ini, dan akan kemana nanti setelah meninggal dunia. Dengan proses berpikir demikian, iman yang akan terbentuk adalah iman yang kokoh, kuat, dan tergoyahkan, demi melaksanakan ketaatan dan menghindari kemaksiatan.

Kedua, tidak adanya kontrol sosial. Tradisi saling menasihati dan mencegah kemungkaran nyaris hilang di tengah masyarakat. Hal ini di sebabkan oleh dua sudut pandang berbeda yang mewujud dalam suatu masyarakat. Satunya berpandangan bahwa meninggalkan puasa Ramadan merupakan kemaksiatan, dan yang satunya lagi berpandangan bahwa puasa Ramadan adalah pilihan seseorang, yang tidak boleh dicampuri. Inilah dua pemikiran yang berkembang dalam konteks Ramadan di ekosistem masyarakat sekuler.

Ketiga, tidak ada peran negara dalam mendorong masyarakat untuk bertakwa. Tidak diterapkannya sangsi oleh negara terhadap muslim yang tidak berpuasa membuat orang yang tidak puasa bebas berkeliaran tanpa takut untuk dihukum. Hal ini, dikarenakan mindset negara adalah sekularisme atau sebuah paham yang memisahkan agama dan kehidupan. Sehingga wajar, jika ini dipandang sebagai ranah pribadi yang tidak boleh dicampuri oleh siapa pun, kelompok mana pun termasuk penguasa. Padahal dalam literatur Islam persoalan muslim yang tidak berpuasa Ramadan tidak boleh luput dari perhatian negara dan pelakunya terancam azab yang pedih di akhirat dan hukuman di dunia.

Dari Abu Umamah Al Bahili r.a, bahwa Ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, 

Aku mendengar teriakan yang sangat keras. Aku bertanya, “Suara apakah ini? Mereka menjawab, “ Ini  adalah teriakan penghuni neraka.” Kemudian aku melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba aku melihat orang-orang digantung pada urat-urat di atas tumit mereka (secara terjungkir), yang sobek-sobek pada sudut mulut mereka, dan darah pun mengalir dari sudut-sudut mulut mereka. “ Aku berkata, Siapakah orang-orang ini?” Kedua laki-laki itu menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum waktunya [meninggalkan puasa Ramadan]. (HR An-Nasa`i, dalam As-Sunan Al-Kubra, No. 3286)

Syeh Mahmud Abdul Latif Uwaidah berkata, ”Siapa saja muslim yang meninggalkan puasa Ramadan, dan bahkan yang sekadar melalaikannya [misalnya berbuka sebelum waktunya], sungguh dia berhak mendapatkan azab yang pedih di akhirat dan lebih-lebih lagi dia juga mendapatkan sanksi dari negara Khilafah di dunia.” (Mahmud ‘Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam Ash Shiyam, hlm. 54).

Selain itu, terdapat hadis-hadis lain yang menunjukkan betapa tercelanya perbuatan meninggalkan puasa Ramadan tanpa uzur yang dibenarkan syariat.

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,

"Barang siapa yang berbuka [meninggalkan puasa] satu hari dari bulan Ramadan tanpa ada suatu rukhsah yang ditetapkan Allah, maka dia tidak dapat mengqadanya dengan puasa setahun penuh walaupun dia melakukan puasa setahun penuh.”(HR. Ahmad, dalam Al-Musnad, 2/386, No. 9002)

Adapun sangsi atau hukuman di dunia diserahkan kepada keputusan penguasa yang bersumber dan diambil dari dalil-dalil syarak. Menurut Syekh Abdurrahman Al-Maliki, seorang muslim yang tidak berpuasa pada bulan Ramadan tanpa uzur syar’i, maka dia dijatuhi sanksi penjara selama 2 (dua) bulan untuk setiap hari tidak berpuasa. Jika dia tidak berpuasa secara terbuka di hadapan umum seraya menodai kesucian bulan Ramadan, maka sanksinya ditambah dengan penjara hingga maksimal 6 (enam) bulan (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 200).

Dengan demikian, persoalan puasa Ramadan merupakan persoalan yang diperhatikan serius dalam Islam. Dan dapat di simpulkan bahwa penguasa saat ini tidak memiliki visi akhirat dalam menerapkan aturan, sehingga bentuk kecenderungan perasaan (muyul) yang muncul pada masyarakat kosong dari nilai-nilai spiritual dan tidak sesuai dengan fitrah kemanusiaan.

Jika menilik sejarah Islam, pola kepengurusan dan negara dengan visi akhirat hanya ada  dalam pemerintahan Islam. Yakni pada masa Rasulullah Saw. dan para Khulafa ur Rasyidin, diteruskan Pemerintahan Umayyah, Abbasiyah dan terakhir Pemerintahan Usmaniyah di Turki yang berakhir Tahun 1924. Fenemona muslim yang tidak berpuasa Ramadan tentunya akan hilang, manakala negara ini memiliki visi akhirat dalam mengatur rakyatnya. Penguasa dalam Islam mendorong rakyatnya untuk bertakwa dan tidak terjerumus ke hal maksiat dan siksa.