TANGERANG-Cerita Perda larangan peraturan di Kota Tangerang tak lepas dari nama seorang wanita bernama Lilis Lindawati. Sebab, gara-gara Lilis Lindawati-lah Perda Pelacuran Pemkot Tangerang menjadi sorotan. Bahkan harian Kompas yang gencar menurunkan berita tentang Lilis kala itu, Jumat (17/3/2006) didemo.
Cerita Lilis ini bermula ketika pada Senin 27 Februari sekitar pukul 20.00 WIB. Karyawati sebuah restoran di Cengkareng, Jakarta Barat itu ditangkap petugas Satpol PP Kota Tangerang karena "keluyuran" malam-malam sehingga disangka pelacur.
Esoknya dia diadili bersama 27 perempuan lainnya yang senasib dalam pengadilan tindak pidana ringan (tipiring).
Ketika itu, pengadilan tipiring digelar bersamaan dengan HUT ke-13 Kota Tangerang pada 28 Februari.
Padahal Lilis "keluyuran" pada pukul 20.00 WIB karena baru saja pulang kerja. Dia lalu naik angkutan kota Roda Niaga jurusan Kalideres, Tangerang.
Ketika sampai di Gerendeng, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang. Dirinya turun dari angkot dan mencari angkot lain menuju rumahnya di daerah Sepatan, Kabupaten Tangerang.
Biasanya, Lilis yang sedang hamil 2 bulan ini baru tiba di rumah pukul 23.00 WIB. Nah, saat sedang menunggu angkutan menuju rumahnya itulah dia ditangkap Satpol PP. Meski dia menyangkal sebagai pelacur, dia tetap saja dijatuhi hukuman delapan hari penjara dan denda Rp300 ribu.
Dalam sidang, Lilis gagal menghadirkan saksi yang bisa menyatakan dia bukan lah pelacur. Dia dihukum berdasakan pasal 4 Perda Pelacuran.
Perempuan 36 tahun itu baru dibebaskan pada hari ke-4 pada pukul 09.35 WIB setelah suaminya, seorang guru golongan III C, membayar denda. Dari isi Perda Pelacuran itu, yang dinilai paling krusial adalah pasal 4, pasal yang menjerat Lilis dkk. Inilah bunyi lengkap Perda Pelacuran tersebut:
Berikut adalah Perda No.8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kota Tangerang.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Tangerang.
3. Walikota adalah Walikota Tangerang.
4. Pelacuran adalah hubungan seksual di luar pernikahan yang dilakukan oleh pria atau wanita, baik di tempat berupa hotel, restoran, tempat hiburan atau lokasi pelacuran ataupun di tempat-tempat lain di daerah dengan tujuan mendapatkan imbalan jasa.
5. Tim adalah tim yang dibentuk dengan Keputusan Walikota yang keanggotaannya terdiri dari Dinas/Instansi dan pihak terkait.
6. Pelarangan adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan/tidak diperkenankan.
7. Pelacur adalah setiap orang baik pria ataupun wanita yang menjual diri kepada umum untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan.
8. Hubungan seksual adalah hubungan perkelaminan antara dua jenis kelamin yang berbeda atau dua jenis kelamin yang sama.
BAB II PELARANGAN
Pasal 2 (1) Setiap orang di Daerah baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama dilarang mendirikan dan/atau mengusahakan atau menyediakan tempat dan/atau orang untuk melakukan pelacuran. (2) Siapapun di Daerah dilarang baik secara sendiri ataupun bersama-sama untuk melakukan perbuatan pelacuran. (3) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini, berlaku juga bagi tempat-tempat hiburan, hotel, penginapan atau tempat-tempat lain di Daerah.
Pasal 3 Setiap orang dilarang membujuk atau memaksa orang lain baik dengan cara perkataan, isyarat, tanda atau cara lain sehingga tertarik untuk melakukan pelacuran.
Pasal 4 (1) Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, dilapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di Daerah. (2) Siapapun dilarang bermesraan, berpelukan dan/atau berciuman yang mengarah kepada hubungan seksual, baik di tempat umum atau di tempat-tempat yang kelihatan oleh umum.
BAB III PENINDAKAN DAN PENGENDALIAN Bagian Pertama Penindakan
Pasal 5 (1) Walikota berwenang menutup dan menyegel tempat-tempat yang digunakan atau yang patut diduga menurut penilaian dan keyakinannya digunakan sebagai tempat pelacuran. (2) Tempat-tempat yang ditutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, dilarang dibuka kembali sepanjang belum ada jaminan dari pemilik/pengelolanya bahwa tempat itu tidak akan digunakan lagi untuk menerima tamu dengan maksud melakukan perbuatan pelacuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini.
Pasal 6 Terhadap orang yang terjaring razia karena melanggar ketentuan Pasal 4 Peraturan Daerah ini, Walikota atau pejabat yang ditunjuk mengembalikan yang bersangkutan kepada keluarganya atau tempat tinggalnya melalui Kepala Kelurahan untuk dibina. Bagian Kedua Pengendalian
Pasal 7 Pengendalian terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Tim. Bagian Ketiga Partisipasi Masyarakat.
Pasal 8 (1) Setiap masyarakat atau siapapun berkewajiban untuk melaporkan kepada petugas atau pejabat yang berwenang apabila ia mengetahui langsung atau menduga kuat sedang berlangsungnya kegiatan pelacuran. (2) Petugas atau pejabat yang berwenang setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, wajib menindaklanjutinya serta memberikan perlindungan kepada si pelapor.
BAB IV KETENTUAN PIDANA
Pasal 9 (1) Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Daerah ini, diancam kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.15.000.000,- (Lima belas juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, adalah Pelanggaran.
BAB V P E N Y I D I K A N
Pasal 10 Penyidikan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (2) Peraturan Daerah ini, dilakukan oleh Penyidik Umum dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilingkungan Pemerintah Daerah yang pengangkatannya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11 (1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 Peraturan Daerah ini, mempunyai wewenang dan kewajiban melaksanakan penyidikan sebagai berikut : a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang terhadap adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penyitaan benda atau surat; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. menghentikan penyidikan setelah mendapatkan petunjuk dari Penyidik Umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindakan pidana dan selanjutnya melalui Penyidik Umum memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya; i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Pasal 12 Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan kemudian oleh Walikota.
BAB VI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Tangerang.
Ditetapkan di T a n g e r a n g pada tanggal 23 Nopember 2005
WALIKOTA TANGERANG,
Cap/ttd H. WAHIDIN HALIM