Minggu, 24 November 2024

Sidang Praperadilan UMKM di PN Tangerang Ricuh, Saksi Ahli Minta Dihargai 

Suasana ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Kamis 23 Desember 2021. (@TangerangNews / Achmad Irfan Fauzi )

TANGERANGNEWS.com-Sidang praperadilan atas dugaan pelanggaran tidak dikirimnya Surat Pemberitahuan Dimulai Penyidikan (SPDP) yang dilakukan oleh Polres Kota Tangerang atas kasus dugaan penetapan pelaku UMKM digelar Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Kamis 23 Desember 2021. Dalam sidang ini sempat bersitegang antara saksi ahli dengan Bidang Hukum Polda Banten. 

Sidang dengan agenda saksi dari pemohon dan termohon ini berlangsung di Ruang Sidang 7 PN Tangerang. Dalam sidang ini tim dari Bidkum Polda Banten membawa tujuh orang anggota sedangkan pihak pemohon dari LQ Indonesia Lawfirm beranggotakan tiga orang. 

Sementara itu sidang ini dipimpin oleh Emy Tjahni Widiastoeti selaku hakim tunggal. 

Sidang yang digelar sejak pagi ini berlangsung tegang. Pasalnya, tim Bidkum Polda Banten merasa pertanyaan yang dilayangkan tidak mendapat jawaban oleh saksi ahli, yakni Dr Dwi Seno Widjanarko, SH, MH. 

Dalam hal ini kuasa hukum dari pemohon Alvin Lim menganggap, dari keterangan saksi ahli dan saksi fakta membuktikan adanya pelanggaran HAM yang dilakukan Polresta Tangerang. 

#GOOGLE_ADS#

"Saat ditanyakan apakah akibat hukum apabila penetapan tersangka dilakukan dengan proses hukum yang melanggar hukum acara pidana, saksi ahli menjawab proses penegakan hukum, 'due process of law' yang melawan hukum acara pidana akan menyebabkan, penetapan Tersangka cacat hukum," ujarnya.

Menurutnya, penetapan tersangka, adalah kesatuan dari 'due process of law' dengan proses penyidikan. KUHAP dibuat untuk menegakkan HAM dan Hak Konstitusional warga negara yang diatur dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 mengenai kepastian hukum yang adil. 

"Sehingga dalam penegakan hukum ada hukum acara pidana yang wajib di lakukan oleh penyidik tanpa melanggar HAM," jelasnya.  

Dirinya juga menyayangkan dengan sikap Bidkum Polda Banten yang seakan melecehkan saksi ahli yang juga merupakan ahli pidana dari Universitas Bhayangkara. 

"Itu Dosen Universitas Bhayangkara Jaya yang berbicara. 'Bhayangkara' itu polisi toh, ketika dosen polisi sudah bilang salah, kenapa oknum anggota Polri masih ngotot? Apa mungkin para polisi ketika kuliah hukum mereka sedang lelah atau kecapekan karena nangkap begal payudara sehingga mereka berfantasi dan ciptakan ilmu hukum sendiri, jurus hukum pidana ‘semau gue?’," tuturnya. 

#GOOGLE_ADS#

Dalam sidang ini sempat terjadi pembicaraan sengit dan suasana memanas ketika pihak Bidkum Polda menyinggung ahli pidana Universitas Bhayangkara ketika ahli melihat kertas. 

Saat itu DR Dwi Seno, dengan kata keras dan tegas menghardik AKBP Bidkum untuk menghargai profesinya. 

Sementara itu Dr Dwi Seno Widjanarko, SH, MH selaku ahli pidana yang dihadirkan dalam peristiwa ini mengaku dalam peristiwa hukum ini negara hukum atau rekstat yang berbicara tentang hukum apabila dalam sebuah proses hukum tidak dilalui dengan proses yang benar maka itu menjadi sebuah pelanggaran hukum atau melanggar KUHAP. 

"Kalau kita berbicara negara hukum tentunya kita akan memiliki grunoren yaitu UUD 45 tentunya tentang berbicara tentang norma hukum dasar, yaitu pasal 28 tentang hukum yang benar, lalu middle-nya adalah akses kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfaatan," tegasnya. 

"Apply-nya itu berkenaan tentang KUHAP, apabila melakukan tindakan-tindakan di dalam rangka proses hukum tentunya barometernya adalah KUHAP, apabila SPDP tidak diberikan kepada si tersangka, dan bahkan kepada pihak kejaksaan bagaimana kejaksaan bisa menunjuk jaksa itu utk memotinor dan mengawasi hukum tersebut," tegasnya. 

Dengan demikian dia mengaku jika tidak ada SPDP yang diberikan atau disampaikan kepada pihak-pihak tersebut maka terjadilah cacat hukum. 

"Apabila senggang waktu tujuh hari itu tidak diberikan, delapan hari atau sembilan hari maka cacat hukum atau ilegal daripada ilegal hukum tersebut yang kita sebut pelanggaran di dalam negara hukum ini," ujarnya. 

"Saya bisa simpulkan apabila proses the proses ablow tidak dilaksanakan, jelas secara formil prapid ini adalah untuk menguji, daripada kebenaran formil apa benar sudah dilakukan sesuai dengan KUHAP, apabila tidak dilakukan dengan KUHAP tentu secara formil ini melanggar KUHAP, maka perkara ini cacat demi hukum," tambahnya. 

Untuk diketahui perkara ini bergulir saat TS dan M mengalami dugaan kekerasan oleh pihak kepolisian di Polresta Tangerang. Saat itu TS dan M dituding melakukan pelanggaran dalam usaha UMKM miliknya.  

Namun menurut Alvin Lim petugas malah melakukan pemerasan dengan adanya upaya tawaran damai kepada TS dan M. 

"Klien mengadu bahwa dia sudah tiga kali menjadi korban dugaan pemerasan. Kenapa saya bilang dugaan pemerasan? Ya jadi klien saya ini sudah pernah dilaporkan polisi sebelumnya, ya jadi bekingannya di belakangnya sama, oknumnya sama, di situ tapi dia menggunakan orang lain seolah konsumen," terangnya. 

Namun saat memberikan sejumlah uang dengan nominal ratusan juta rupiah sebanyak dua kali, lanjut Alvin, petugas malah menaikkan perkara TS dan M saat tidak diberikan untuk yang ketiga kalinya. 

"Nah, di dalam yang ketiga ini ketika mereka datang ke saya, saya bilang yang namanya masyarakat itu tolong jangan ikut yang seperti itu karena memberikan uang damai ke oknum itu gratifikasi, jangan saya bilang,” ujarnya.

“Lawan saja secara proses hukum, yaitu ajukan praperadilan, kita mengikuti proses hukum sesuai undang undang di mana diatur pasal 77 ayat a itu jelas jadi kita lawyer kita ikuti proses hukum, kita nggak main bar-bar, kita nggak main kekerasan," lanjut dia.

Tags Berita Kota Tangerang Kejaksaan Negeri Kota Tangerang Kota Tangerang Pengadilan Negeri Tangerang UMKM UMKM Banten UMKM Indonesia UMKM Tangerang