Jumat, 20 September 2024

Takut dengar Polisi dan Meja Sidang

( / )

USAI DINYATAKAN BEBAS BERSYARAT TANGERANGNEWS-Tarkim Sirotol Mustakim ,11, seorang bocah dari 10 anak yang divonis bebas bersyarat pada Senin (27/07) di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang karena dinilai terbukti melanggar pasal 303 (bis) ayat 1 ke-3 KUHP dalam kasus bermain judi di area Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada 29 Mei 2009 lalu siang ini tampak riang. Meski putusan PN Tangerang telah menyatakan dirinya bersama sembilan temannya bersalah karena melakukan perjudian, dirinya mengaku tidak terlalu merisaukan status terpidana. Meski begitu, warga Kampung Rawa Jati, RT 01/11, Desa Rawa Rengas, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang itu masih ketakutan mendengar dua kata, yakni polisi dan penjara. “Yang penting, abang jangan ngomongin soal polisi dan penjara lagi, saya masih takut bang,” ujar Tarkim. Tarkim mengaku, begitu buka mata pada pagi ini.D irinya mensyukuri tidak akan lagi ada persidangan yang dirasakannya terlalu lama dan panjang. “Mulai hari ini saya ingin melupakan ruang sidang. Apalagi polisi dan penjara,” ujarnya, ketika bermain air di belakang danau yang ada dibelakang rumah dia bersama teman-temannya. Siswa kelas 2 SD Rawa Rengas 1 itu tampak begitu asyik bermain. Teriknya sang surya, seolah menjadi penambah semangat bagi mereka untuk terus bermain. Sedikitpun tak tampak beban di wajah mereka. Sambil berteriak-teriak kecil, para bocah ini saling menyipratkan air kearah rekan lainnya. Sesekali mereka keluar dari danau, sebelum kemudian terjun kembali ke dalam air kubangan yang dipenuhi lumpur. Mereka adalah Rokhim, Abdul Rokhman, Ghofar, Musa dan Tarkim. Dirinya mengaku, menyandang status sebagai narapidana memang sangat memalukan dirinya dan keluarga. Tetapi, yang paling dirinya sesalkan adalah bermain tebak coin bisa menyeretnya ke lembaga permasyarakatan (LP) Anak. “Saya hanya main tebak-tebakan Tidak ada maksud lain kok bisa begini?” katanya. Ditanya soal sekolah, Tarkim mengaku setelah dibebaskan oleh majelis hakim. Kehidupan dirinya kembali normal baik di sekolah maupun di lingkungan rumah. “Bahkan abang saya, Musa sudah didaftarkan untuk bersekolah kembali. Saat ini saya sudah tidak berani menyemir di bandara lagi. Kalo bisa saya sudah ngga mau nyemir lagi.Takut ah,” katanya. Dampak negatif atas penangkapan dan diserahkannya mereka sebagai terpidana dirasakan oleh para orang tua. Terlebih, para bocah berasal dari keluarga tidak mampu. Alhasil, kejadian itupun membuat ekonomi keluarga para bocah semakin morat-marit. “Saya ini cuma buruh cuci dengan gaji Rp150 ribu perbulan. Sementara bapaknya adalah pemulung yang tidak punya penghasilan tetap. Gara-gara harus ngurusin dua anak yang masuk penjara (Tarkim dan Musa), kerjaan saya jadi ikut berantakan. Saya nyaris dipecat oleh majikan karena sering bolos nyuci,” kata Nur alias Bule ,30, ibu kandung Tarkim. Menurut Nur, untuk biaya transportasi bolak-balik membesuk Tarkim dan Musa selama di Lapas dan mengikuti jalannya persidangan, dia sudah kehilangan lebih dari 10 ekor ayam miliknya. “Saya tidak punya uang untuk ongkos. Jadi setiap kali mau membesuk di lapas ataupun mengikuti jalannya persidangan di pengadilan, saya terpaksa menjual satu demi satu ekor ayam peliharaan yang ada. Dan, sekarang saya sudah tidak punya ayam peliharaan lagi,” kata Nur lagi. (Dedi)
Tags