Jumat, 22 November 2024

RUU Ciptaker Dinilai Tidak Ancam Pesantren dan Kiyai

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) Andi Syafrani.(Istimewa / Istimewa)

 

TANGERANGNEWS.com-Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) Andi Syafrani menegaskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) tidak ancam keberadaan pesantren dan pidanakan Kiai.

Hal itu disampaikan untuk merespon khawatiran sejumlah pihak atas informasi yang diedarkan secara masif di media sosial, terkait RUU Cipta Kerja dan dampaknya terhadap pesantren.

Menurutnya terdapat enam undang undang terkait pendidikan dan kebudayaan yang diatur dalam RUU Ciptaker.

Untuk pendidikan sendiri, RUU Ciptaker hanya mengatur perizinannya, yaitu pada paragraf 12. Adapun UU No 18/2019 tentang Pesantren tidak termasuk salah satu yang diatur dalam RUU tersebut.

“Dalam bahasa ushul fiqih, RUU Ciptaker sudah muqoyyad (terbatas) mengatur enam UU terkait kebudayaan dan pendidikan. UU tentang Pesantren tidak termasuk,” tegas Ketua Ikatan Alumni Pesantren Mambaul Hikam Jombang ini kepada media di Tangerang, Kamis (10/9/2020).

Pendapat ini juga sebelumnya disampaikan Andi dalam Forum Mudzakarah Kiai Menimbang Kemaslahatan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dalam Perspektif Pesantren, yang digelar FSPP Banten, di Serang (7/2/2020) lalu.

Dijelaskannya, terkait pendidikan juga, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) adalah atura. utama yang dimuat dalam RUU Ciptaker.

Dalam Pasal 62 UU Sisdiknas, diatur soal kewenangan perizinan lembaga Pendidikan, sedangkan Pasal 71 mengancam pidana bagi lembaga pendidikan yang tidak memiliki izin pendirian lembaga pendidikan formal ataupun nonformal.

RUU Ciptaker mengubah pasal 62 dan 71 Sisdiknas hanya terkait kewenangan perizinan pendirian lembaga pendidikan, dari kewenangan pemerintah daerah atau pemerintah pusat menjadi kewenangan pemerintah pusat saja.

Jadi, soal pidana bagi lembaga pendidikan yang tidak memiliki izin bukan pasal baru dalam RUU Ciptaker.

“Pasal itu sudah ada sejak tahun 2003. Sepanjang menjadi praktisi hukum, saya belum pernah dengar ada sekolah (pendiri) yang terkena pidana karena pasal 71 UU Sidiknas ini. Yang kena pidana bisanya yang memalsukan akreditasi, juga pemalsuan ijasah,” ungkap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syraif Hidayatullah Jakarta ini.

#GOOGLE_ADS#

Pasal 62 dan 71 UU Sisdiknas yang dimuat dalam RUU Ciptaker inilah yang dalam beberapa minggu terakhir memicu anggapan, bahwa lembaga informal yang dimaksud dalam UU tersebut termasuk lembaga pesantren.

Andi meluruskan, lembaga pesantren berbeda dengan lembaga pendidikan formal ataupun informal yang diatur dalam UU Sisdiknas. “Alhamdulillah, dengan adanya UU tentang Pesantren, eksistensi pesantren itu menjadi spesial,” katanya.

Yang dimaksudkan pendidikan informal dalam UU Sisdiknas adalah lembaga-lembaga pendidikan untuk ketrampilan, seperti lembaga-lembaga kursus.

Andi mempertanyakan pihak-pihak yang mempermasalahkan pasal 71 dalam UU Sisdiknas yang dianggap akan mengancam eksistensi lembaga pendidikan.

#GOOGLE_ADS#

“Tidak ada satu pun tokoh agama saat itu yang memprotes tentang keberadaan pasal 71 UU Sisdiknas. Jadi, saya tegaskan pasal ini tidak baru. Jadi kalau mengangkat ini menjadi masalah, itu sudah basi. Itu ada tendensi politik mempermasalahkan itu,” tegas Mustasyar PCNU cabang Australia-Selandia Baru (2007-2009) ini.

Adi menilai, alasan RUU Ciptaker mengatur perizinan lembaga pendidikan karena ingin menyederhanakan segala perizinan menjadi satu pintu, yakni melalui pemerintah pusat.

Tidak hanya izin usaha dan investasi, tapi juga pendirian lembaga pendidikan. Karena, hambatan utama usaha dan investasi di Indonesia itu cukup berlika-liku. Selain itu, berlapis-lapisnya perizinan dari tingkat daerah hingga tingkat pusat dari berbagai instansi itu cukup menyulitkan.

Meski bisa memahami motif penyederhanaan perizinan, lulusam magister di Victoria University Melbourne Australia ini mengkritisi upaya pemerintah pusat untuk melakukan sentralisasi perizinan dalam RUU Ciptaker.

Sekjen FSPP Provinsi Banten Fadlullah juga memberikan catatan terkait RUU Ciptajer terkait sentralisasi.

Gerakan reformasi menuntut desentralisasi. Namun semangat RUU Ciptaker justru ingin mengembalikan sentralisasi perizinan dalam dunia pendidikan. Catatan lainnya, perizinan menjadi ladang bagi praktik korupsi.

"Zaman Nabi tidak ada itu perlu surat izin. Di negara kita, surat izin menjadi asal-usul praktik korupsi dari level pusat, provinsi, hingga tingkat RT,” katanya.

Fadlullah mengapresiasi hadirnya UU No 18/2019 tentang Pesantren yang secara eksklusif mengatur pesantren dan tidak dimuat dalam RUU Omnibus Law Ciptaker.

Namun, dari empat ribu pondok pesantren di Provinsi Banten, hanya satu pesantren yang sudah menggunakan sistem muadalllah (kesetaraan dengan Pendidikan formal).

Menurutnya, yang harus diperhatikan dalam isu perizinan bukan hanya terkait eksistensi pondok pesantren saja, tetapi juga berbagai satuan pendidikan formal dalam lingkungan pesantren yang merujuk pada UU Sisdiknas serta bisnis pesantren.

"Perbincangan kita tentang izin, harusnya bukan hanya izin operasional pendirian pondok pesantren dan izin satuan pendidikan yang dikelola oleh pesantren. Tapi juga izin-izin kegiatan usaha yang dilakukan oleh pesantren, yang keuntungannya untuk kepentingan pembiayaan pesantren secara mandiri,” tegasnya.

Tags Berita Nasional RUU Cipta Kerja