TANGERANGNEWS.com- Mendekati waktu Lebaran, layanan penukaran uang di pinggir jalan seringkali muncul.
Meskipun membantu banyak orang, masalah penukaran uang ini cukup kompleks dan perdebatan serta kontroversi.
Sebagian menganggap praktik ini termasuk riba, yang seperti diketahui bahkan lebih dosa dibandingkan zina.
Menurut Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) Alhafiz Kurniawan, jika yang dilihat adalah uang itu sendiri, maka penukaran dengan kelebihan tertentu dianggap haram.
Namun, jika yang dilihat adalah jasa penukar uang, praktik ini termasuk ijarah (sewa), dan hal ini tidak termasuk riba seperti dilansir dari NU Online, Kamis, 4 April 2024.
Merujuk pada keterangan dalam kitab Fathul Mujibil Qarib, cetakan pertama, halaman 123, ijarah masih termasuk dalam jual beli.
والإجارة في الحقيقة بيع إلا أنها قابلة للتأقيت وأن المبيع فيها ليست عينا من الأعيان بل منفعة من المنافع إما منفعة عين وإما منفعة عمل
Artinya: Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas).
Pendapat lain dari pengajar di Madrasah Diniyah Salafiyah Al-Ma'arif Pondok Pesantren Syaichona Moh Cholil Demangan Barat Bangkalan Zainal Arifin menyebutkan bahwa permasalahan penukaran uang terletak pada kesamaan antara uang kertas dengan emas dan perak.
Menurutnya, beberapa ulama memang memiliki pandangan berbeda tentang hal ini, misalnya madzhab Syafii, Hanafi dan pendapat dalam madzhab Hanbali yang memperbolehkan penukaran uang dengan syarat dilakukan secara kontan, bukan dengan utang.
Sementara dalam madzhab Maliki dan sebagian riwayat dalam madzhab Hanbali melarang praktik penukaran uang ini.
Sebagai solusi, jika menggunakan layanan penukaran uang, hendaknya diakadkan sebagai ijarah, sehingga kelebihan uang yang diberikan dianggap sebagai upah atas jasa yang diberikan.