JAKARTA - Aksi penyergapan yang dilakukan Densus 88 Polri di Temanggung dan Bekasi dinilai berlebihan. Antara pasukan yang dikerahkan dan jumlah teroris tidak sebanding. Komnas HAM bahkan menyebutnya sebagai eksekusi mati daripada upaya penangkapan.
"Apa yang kita lihat di televisi secara live kemarin dilakukan Densus 88 di Temanggung seperti eksekusi mati. Dihujani tembakan dan dibom," kata Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming di Jakarta, Senin (10/8).
Saharuddin menilai, telah terjadi pelanggaran HAM dalam aksi penyergapan itu. Sebab, kata Saharuddin , tindakan tersebut melanggar prinsip dan asas praduga tak bersalah dalam penegakan hukum. Ini jelas berbeda apabila itu dilakukan militer yang memang bertugas untuk menghancurkan dan membunuh musuh.
Kata Saharuddin, akan lebih tepat jika Densus 88 hanya melumpuhkan orang yang diduga Noordin M Top?itu untuk ditangkap dan diproses hukum. Informasi mengenai jaringan Noordin pun bisa banyak dikorek darinya. "Bukan malah mengerahkan hampir satu pasukan dan memberondong dengan tembakan dan bom," katanya.
Apalagi, kata Saharuddin, Densus 88 mengerahkan peralatan canggih seperti robot dan bom. Mestinya, kata Saharuddin, mereka menanganinya dengan proporsional. Tidak berlebihan hingga membuat lelaki yang diduga Noordin dan belum jelas statusnya itu tewas. "Kenapa harus dibunuh? Apa tidak bisa ditangkap hidup-hidup. Itu kan keuntungannya justru lebih banyak," katanya.
Saharuddin mencurigai ada motif lain sehingga tindakan tersebut dilakukan. Salah satunya adalah motivasi politis dan kekuasaan. Apalagi, menjelang masa-masa penyusunan kabinet mendatang. Karena itu, dia menyarankan pemerintah melakukan evaluasi terkait upaya dan langkah penanganan terorisme selama ini, khususnya yang berpotensi justru memicu aksi balas dendam dan kekerasan lain yang tidak perlu akibat cara-cara penanganan yang salah.(ir/jp)
Tags