Jumat, 22 November 2024

Diskriminasi Kaum Minoritas & Kebebasan Beragama di Indonesia

Ilustrasi Diskriminasi(Rangga A Zuliansyah / TangerangNews.com)

Persoalan kaum Mayoritas dan Minoritas di Indonesia, sampai sekarang masih menjadi perdebatan serius diantara para penganut paham teologi semitik. Seharusnya persoalan kaum minoritas dan kaum mayoritas ini harus diakhiri, dengan membawa pada perdebatan yang lebih subtansial, karna keberadaan kaum mayoritas dan kaum minoritas adalah sebuah realitas sosial yang tidak tertolak.

Beberapa Negara di dunia khususnya di Indonesia, kebanyakan berpandangan bahwa kaum mayoritas harus diberikan hak yang "lebih" ketimbang kaum minoritas, sebab kaum mayoritas dalam banyak hal memberikan kontribusi lebih daripada kaum minoritas. Bahkan, dalam politik pun kaum mayoritas akan mendapatkan sorotan pertama tatkala terjadi pergolakan dalam sebuah Negara, akan tetapi dalam masalah ekonomi, kaum mayoritas tidak jarang dikalahkan oleh kaum minoritas.

Dalam perspektif politik representasi dan politik alokatif, keberadaan kaum mayoritas itu mendapatkan kesempatan lebih dahulu ketimbang kaum minoritas, sebab dalam perspektif ini, kaum mayoritas memang sudah sewajarnya mendapatkan "ruang politik" lebih besar ketimbang kaum minoritas. Persoalan antara mayoritas dan minoritas akan terus berjalan dalam setiap negara, sebab keadilan bukanlah berarti memberikan hak-hak yang sama pada setiap warga negara.

Karena pandangan politik alokatif dan politik representasi tampaknya telah terjadi diskriminatif terhadap kaum minoritas, maka yang harus diperhatikan adalah bagaimana agar hak-hak kaum minoritas dan kaum mayoritas dilindungi dalam hukum yang di tegakkan secara adil, dan tanpa pandang bulu.

Politik diskriminasi atas etnis minoritas di Indonesia semakin jelas terjadi, dalam banyak hal, seperti agama, ekonomi, politik dan kebudayaan. Maka dari itu memosisikan kaum minoritas dan mayoritas di Indonesia, itu sangat perlu dilakukan, sebab sampai saat ini perdebatan dan perselisihan masih terus berjalan dalam level yang bisa dikatakan tidak produktif.

Posisi kaum minoritas senantiasa berada di bawah bayang-bayang kaum mayoritas, bahkan terdapat kesan yang dalam, soal terjadinya hegemoni dan dominasi oleh kaum minoritas atas mayoritas. Ini sebenarnya membenarkan adanya pendapat yang cenderung mengafirmasi adanya persoalan kontraproduktif dalam hubungan mayoritas dan minoritas di Indonesia.

Kebebasan Beragama

Kokohnya landasan konstitusi dan perundang-undangan, tidak dengan sendirinya menunjukan bahwa perlindungan dan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia telah tertunai dengan baik. Setidaknya ada tiga hal yang mendasar, yang bisa di lihat sebagai halangan bagi ditegakkanya hukum dan tugas pemerintah, untuk memberikan jaminan bagi hak-hak kebebasan beragama, termasuk di dalamnya perlindungan bagi hak minoritas, ekspresi budaya dan keyakinan.

Undang-undang Dasar 1945, pasal 28 ayat dua G. Menyatakan: "Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut di hadapan hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", pasal ini menerangkan bahwa setiap individu mempunyai hak nya masing-masing, dengan syarat menjalani sebagaimana mestinya hak itu di pergunakan.

Sementara pasal 29 ayat dua, memberikan kebebasan pada warga negara untuk memilih dan menganut agama menurut kepercayaanya masing-masing. Namun betapa sulitnya mengaktualkan kebebasan beragama itu di Indonesia. Hal ini mengindikasikan adanya persoalan yang belum selesai dalam hal dasar yang paling asasi di Indonesia. Bahkan persoalan semakin semrawut, ketika terdapat sebuah lembaga negara yang seakan-akan berperan menjadi "pintu surga", sehingga berhak memberikan pembatasan yang ketat pada sebuah komunitas, apakah komunitas tersebut layak disebut sebagai agama, ataukah disebut sebagai komunitas "sesat".

Masa depan kebebasan umat untuk beragama di Indonesia perlu mendapatkan perhatian serius, apalagi dengan munculnya kelompok-kelompok yang merasa mendapatkan mandat dari Tuhan, untuk mengimankan kaum yang tidak beriman. Kelompok yang merasa mendapatkan mandat dari Tuhan,  untuk mengimankan orang lain kita lihat belakangan ini, tidak jarang melakukan kegiatan yang oleh banyak pihak dinilai sebagai perbuatan premanisme.

Kedengkian dan kekerasan dalam beragama di Indonesia ini harus segera di akhiri, dan itu sudah seharusnya menjadi agenda bersama kaum beriman. Tidak ada lagi kaum yang merasa tertekan karena beragama dan beriman kepada Tuhan. Jika hal ini masih terjadi, sebenarnya amanat Undang-undang Dasar 1945, seperti dalam pasal 28 ayat satu dan dua, serta pasal 29 ayat dua secara tidak langsung dikhianati oleh anak-anak bangsa.

Penulis : Eka Agus Setiawan-Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga Anggota Hubungan Antar Lembaga dan Umat Beragama (HAL-UB) di Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Perbandingan Agama

 

Tags Tangerang Cerdas