Oleh : Yuliana, S.Pd.
Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Kota Tangerang
Kasus kejahatan seksual terhadap perempuan akhir-akhir ini marak menjadi sorotan. Dimulai dari kasus Yuyun (14) di Bengkulu yang diperkosa oleh sekelompok pemuda di desanya dalam keadaan mabuk. Kasus Yuyun seakan menjadi pembuka kejadian-kejadian lain yang serupa di berbagai daerah. Di Manado gadis berusia 19 tahun diperkosa 19 pria. Ada lagi di Lampung bocah 10 tahun ditemukan tewas diduga korban perkosaan, pada saat ditemukan korban sudah dalam kondisi membusuk. Di Garut siswi SMA kelas X menjadi korban pemerkosaan oleh 4 pemuda kenalannya. Tak kalah mengerikan, di Tangerang gadis berusia 19 tahun di perkosa bergilir dan dibunuh dengan cangkul ditanamkan ke dalam tubuhnya.
Banyak pihak mengatakan bahwa saat ini Indonesia darurat kejahatan seksual. Selama 12 tahun (2001-2012) pencatatan kasus oleh Komnas Perempuan, ditemukan setidaknya 35 perempuan di Indonesia menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Parahnya, kejahatan saat ini tidak dilakukan sendirian tapi di lakukan secara beramai-ramai atau “gang rape” ditambah lagi pelaku yang sebagian besar pemuda belasan tahun.
Kekerasan seksual disertai kekerasan fisik yang menimpa para perempuan saat ini bukanlah tanpa sebab. Pornografi yang merajalela di negeri ini adalah salah satu sebabnya, apalagi penyebarannya melalui dunia maya sulit di bendung. Mensos Khofifah Indar Parawansa pada tahun lalu mengatakan, Indonesia sudah masuk kategori darurat pornografi. Nilai belanja pornografi di Indonesia telah tembus angka Rp 50 triliun! Miras dan narkoba adalah pemicu lain dari beragam kejahatan yang terjadi terhadap kaum hawa, beberapa kasus kejahatan di atas dimulai dari menenggak barang haram tersebut. Disisi lain perilaku masyarakat yang bebas juga memicu kejahatan, seperti banyaknya masyarakat saat ini yang mempertontonkan auratnya di depan umum ditambah lagi pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang serba bebas dan menghalalkan pacaran.
Parahnya hukuman untuk pemerkosa masih dibilang terlalu ringan, bahkan tidak memberi efek jera dan jauh dari kesan melindungi masyarakat. Dalam Pasal 285 KUHP, hukuman bagi pelaku pemerkosaan paling lama dua belas tahun, hal ini bisa lebih ringan jika pelaku termasuk kategori anak walaupun sudah baligh.
Kasus-kasus diatas boleh jadi hanya segelintir kasus yang terungkap oleh media massa, sudah sering kita mendengar dan melihat kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan sebelum kisah Yuyun terkuak. Maka harus ada solusi untuk menghilangkan kasus kejahatan ini hingga tidak pernah lagi terjadi.
Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna sebenarnya mempunyai solusi untuk masalah ini. Bahkan Islam sudah jauh-jauh hari menutup semua celah terjadinya kejahatan. Islam menanamkan kedalam setiap individu muslim untuk taat kepadaNya, dengan takwa seseorang akan takut berbuat kejahatan, ia akan berfikir beribu kali untuk memulai kejahatannya, takwa inilah pengendali efektif karena selalu ingat terhadap azab Allah.
Selain individu, Islam juga akan mengkondisikan masyarakat agar tidak terbawa arus pergaulan bebas, perempuan diminta menutup auratnya secara sempurna demi menjaga kehormatannya yang mulia, tidak berdandan berlebihan, tidak berdua-duaan, juga tidak bercampur-baur antara laki-laki dan perempuan. Narkoba dan miras adalah musuh Islam, maka apapun jenisnya tidak akan dibebaskan berkeliaran di tengah masyarakat sekalipun memberikan keuntungan.
Semua aturan Islam itu akan sangat efektif jika negara yang melakukannya, karena selain pencegahan, Islam pun memberi sanksi kepada para pelaku kejahatan seksual yang dapat memberikan efek jera hingga ia tidak mau lagi melakukannya. Pelaku pemerkosaan dapat terancam sanksi cambuk seratus kali bila terkategori belum menikah (ghayru muhshan) dan dijatuhi sanksi rajam hingga mati bila pelaku zina dan perkosaan telah menikah (muhshan).
Hukuman ini bisa bertambah jika mereka melakukan sederet kasus kejahatan lainnya, seperti meracuni dengan miras dan narkoba, mengedarkan dan menonton konten ponografi, menculik dan menyekap korban, dari kejahatan tersebut mereka dapat dikenakan ta’zir.
Sedangkan untuk kasus pembunuhan akan dikenakan qisash (balas bunuh) atau diyat sebesar 100 ekor unta (yang 40 ekor nya dalam keadaan bunting) jika keluarga korban menuntut diyat dan bukan qishâsh, atau berupa uang senilai 1.000 dinar atau 4,25 kg emas murni (sekitar 4.250 g x Rp 539 ribu = Rp2,291 miliar).
Jelas sudah, Islam mampu menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, bukan hanya terhadap perempuan tapi juga laki-laki. Dengan minimnya bahkan hilangnya kasus kejahatan yang terjadi, maka ketentraman akan terwujud di tengah-tengah masyarakat. InsyaAllah.