Oleh: Giolia Arsy Robbiyah, mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Tambang pasir legal maupun ilegal dibeberapa kecamatan di Kabupaten Lebak tak dapat memperbaiki ekonomi sekitar, bahkan lebih banyak mudaratnya.
Galian tanpa memperhatikan AMDAL ini, tak hanya dapat memicu terjadinya longsor, namun akses jalan yang digunakan truk pengangkut pasir hasil galian tersebut banyak yang rusak dan membuat wilayah yang dilaluinya terlihat sangat kumuh.
Akibat dari hilir mudiknya truk over tonase yang tidak jarang pasir yang diangkutnya masih dalam keadaan basah dan terjatuhnya serpihan-serpihan pasir tersebut, apalagi disaat musim kemarau masyarakat merasakan banyaknya debu yang terbawa oleh angin.
Perusahaan dan pekerja tambang pasirnya pun tidak sedikit yang berasal dari luar daerah Lebak itu sendiri, sehingga tidak begitu membantu perekonomian masyarakat sekitar.
Penindakan tegas yang dilakukan oleh berbagai aparat maupun pemerintah sampai hari ini juga tidak membuahkan hasil yang signifikan. Dari usaha menutup perusahaan, memperketat perizinan galian, tidak memperpanjang izin atau hanya sekedar memberi peringatan, namun pada kenyataannya tetap masih banyak perusahaan tambang pasir yang tetap berjalan dan merugikan.
Banyaknya perusahaan nakal yang mengeksploitasi lingkungan tanpa memiliki izin pun memanfaatkan keleluasaannya dalam meraup keuntungannya di wilayah yang mereka miliki, dengan dibantu oknum sekitar usaha ini dapat terus berjalan.
Penderitaan ini sekan tak ada yang bisa menuntaskannya. Banyaknya media yang memberitakan bahwa tambang pasir di Lebak sulit di tindak, dan juga menyengsarakan warga, hal ini tak ada yang berubah dari tahun ketahunnya.
Selain banyaknya kerugian pribadi dan infrastruktur yang terjadi maupun tingginya potensi-potensi bencana alam yang akan terjadi akibat kerakusan penguasa sendiri, para petani juga dirugikan dengan banyaknya ladang sawah mereka yang gagal panen.
Seperti yang di alami oleh warga Desa Parung Sari dan Pajagan di Kecamatan Sajira pada Juli 2018 lalu hingga saat ini, gagal panen yang mereka alami akibat dari air yang tercampur batu dan berwarna keruh melekat di tanaman petani sehingga membuat tanaman jadi mati dan tidak tumbuh dengan baik.
Dikutip dari titiknol.co.id air sungai Ciranjieun yang dulu menjadi penopang untuk mengairi areal pesawahan dan untuk memenuhi kebutuhan mandi, cuci, kakus (MCK), sudah tidak bisa. Sebab, sungai yang membelah wilayah Citeras itu, saat ini telah mengalami pendangkalan dan kualitas airnya pun tak jernih seperti dulu.
Bekas-bekas galian pasir di Kabupaten Lebak juga banyak yang ditinggalkan begitu saja tanpa adanya reboisasi, reklamasi, maupun usaha-usaha lainnya. Disinilah lemahnya perizinan dan pengawan yang ada.
Padahal dapat diketahui dalam UU 1945 pasal 33 ayat 3 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya hanya untuk kemakmuran rakyat. Dengan kekayaan yang berlimpah serta pemanfaatan tersebut mengapa Lebak menjadi salah satu daerah termiskin di Banten, lalu dimana letak kemakmuran dan keadilan itu?
Banyaknya polusi, sungai yang tercemar dan dapat menyebabkan erosinya sekitaran rumah warga. Dalam hal ini dapat mengkhawatirkan kesehatan maupun keselamatan masyarakat sekitar.
Pemerintah seharusnya lebih tegas, namun bila nasi sudah menjadi bubur yang dapat dilakukan hanyalah perbaikan, usaha-usaha yang semestinya dilakukan untuk mengembalikan fungsi alam itu sendiri seharusnya juga dilakukan oleh masyarakat dengan usaha sederhana maupun usaha yang besar.
#GOOGLE_ADS#
Masyarakat seharusnya juga diedukasi akan pentingnya lingkungan mereka, banyaknya lahan bekas galian yang ditinggalkan pemiliknya begitu saja, semestinya diusahakan untuk memperbaiki bersama demi kemaslahatan masyarakat sekitar juga, agar kembalinya manfaat dan kebaikan yang semestinya mereka peroleh.
Pemerintah juga semestinya lebih tegas dan juga memberikan fasilitas alat maupun pengetahuan agar yang sudah terjadi tidak terulang kembali. Karena kekayaan alam juga akan menjadi milik anak cucu mereka suatu waktu nanti.
Keluh dan aspirasi masyarakat seakan diabaikan dengan tertutupnya mata dan telinga para penguasa. Berkali-kali adanya perubahan periode maupun kepemimpinan pemerintah setempat tak begitu membuahkan hasil dalam keberpihakan terhadap rakyat, apakah mereka lupa bahwa kedudukannya berkat rakyat-rakyat itu sendiri?(RAZ/RGI)