Sabtu, 30 November 2024

Pilkada Tangsel dan Netralitas

( / )

BIROKRASI
Rudy Gani
Pengamat Komunikasi Politik
Tinggal di Tangsel dan Alumni UMJ
         
          Birokrasi adalah abdi masyarakat. Itulah prinsip sekaligus idealisme birokrasi yang selama ini ada—namun ’miskin’ pelaksanaan. Terlebih menjelang Pilkada di beberapa daerah seperti sekarang. Praktis, paradigma birokrasi ’dilayani rakyat’, dan bukan sebaliknya, menjadi bahan gunjingan yang seru di kalangan masyarakat awam. Kondisi ini tentu saja mencerminkan bahwa aparatus negara yang seharusnya melayani, justru, ’kadung’ menjalankan amanah. Beberapa kasus besar di pentas nasional, seperti Gayus dan korupsi Century adalah bukti, jika hari ini aparatus negara masih mementingkan diri, kelompok dan keluarga, ketimbang publik dan masyarakat. Aparatus model seperti ini menghasilkan rakyat yang ’seolah-olah’ dipaksa yatim bernegara. Sebegitu parahkah?
 
          Tidak hanya itu, aparatus negara yang lalai menjalankan amanah, menghasilkan ketimpangan besar bagi kesejahteraan rakyatnya. Padahal, mengutip pendapat Bung Hatta, pemerintah adalah panitia kesejahteraan rakyat (Haryono,2010). Seharusnya, panitia kesejahteraan rakyat mengutamakan kepentingan rakyat banyak. Tidak berpihak pada satu golongan dan kelas. Mengutamakan kesadaran publik ketimbang logika individu dan sektarian. Wajah birokrasi seperti inilah yang kelak menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Namun, harapan itu kandas ditengah kemilau kuasa yang diperbudak nafsu dan angkara seperti sekarang. Begitupula yang dapat kita analisa di Tangsel.

          Fenomena birokrasi yang dianggap kurang netral juga terjadi di Tangsel. Pada pilkada nanti—atau justru saat ini, birokrasi, kita harapkan netral dalam kontestasi tersebut. Adanya keberpihakan terhadap salah satu calon dalam pilkada, justru telah mengurangi wibawa pemerintah yang mengklaim ’sukses’ sebagai pemerintah transisi. Tarik menarik kepentingan dalam pilkada tidak perlu berimbas pada kinerja dan pelayanan masyarakat. Fungsi eksekutif dan legislatif yang telah diamanatkan harus dipatuhi. Konsekwensi inilah yang seharusnya disadari birokrasi Tangsel.
 
Bukan menutup mata dan berpihak pada salah satu calon. Jika hal itu terjadi, reputasi yang dimiliki akan runtuh seketika. Membuktikan loyalitas tidak mesti menjadi ’bebek’ salah satu kandidat. Mendapatkan jabatan ’kembali’ bukan berarti harus tunduk dan patuh pada kandidat tertentu. Selama bekerja dengan profesional, tidak ada alasan untuk menyingkirkan.
 
Kekuatan rakyat mampu mengalahkan kuasa yang tamak dan rakus. Dari sudut inilah aparatus birokrasi harus menempatkan pendiriannya. Seperti yang diberikan Tangsel Pos (28/4-10) dari Cilegon.
 
Diduga PNS ramai-ramai ikut berkampanye mendukung kandidat tertentu. Tidak hanya staff Pemda, pejabat eselon II,III dan IV—pun ikut mangkir (Tangsel Pos,28/4/10). Praktik ini tentu tidak dimonopoli Cilegon saja. Apabila tidak diawasi, gaya pemihakan ini, bisa saja (sudah) dipraktikkan aparat Tangsel.
 
Parahnya, penyelewengan kinerja masih bisa ditolerir. Namun, ketika APBD yang seharusnya diperuntukkan kepada rakyat digunakan untuk kandidat tertentu, maka, rakyat telah dikhianati oleh pemerintahnya. Belum lagi penggunaan fasilitas yang dipakai oleh kandidiat tertentu—tentu menambah panjang daftar persoalan ketidaknetralan birokrasi dalam Pilkada. Baik penyelewengan yang terlihat atau samar-samar. Praktik kecurangan birokrasi dan ketidaknetralan mereka selalu membayangi perjalanan pemerintahan di manapun dan kapanpun. Termasuk di Tangsel.
 
          Oleh karena itu, birokrasi Tangsel harus disadarkan untuk kembali netral. Mengejar jabatan ’lagi’ bukan berarti menunjukkan pemihakan kepada kandidat tertentu. Negara kita sudah maju dan berubah menuju negara yang modern. Jabatan dikejar bukan dengan mengemis pada kandidat tertentu. Justru sebaliknya. Jabatan didapat melalui prestasi dan kinerja yang bagus. Kondisi ini didukung oleh sistem kenegaraan kita yang menuju perbaikan. Kini, pemimpin dilahirkan oleh rakyat.
 
Bukan lagi lahir dari kharisma dan titipan kelompok atau keluarga tertentu. Pemimpin adalah mereka yang dekat dan merakyat. Memiliki visi dan misi membangun kesejahteraan Tangsel bersama. Maka dari itu, agar Pilkada menjadi indah dan berwibawa, netralitas birokrasi menjadi salah satu kunci keberhasilannya.
 
Tanpa adanya netralitas birokrasi, Pilkada yang kita harapkan menghasilkan pemimpin pilihan rakyat, justru, terbajak karena prilaku tamak dan rakus kuasa yang diidap birokrasi kita. Semoga praktik yang selama ini kurang netral, baik dalam pengaturan kebijakan, penggunaan anggaran dan fasilitas publik-- dihentikan. Agar Tangsel tidak menjadi kota tanpa peradaban, netralitas kaum birokrat dalam Pilkada menjadi pendorong dan harapan untuk Tangsel yang berkemajuan. Bisakah? Mari kita usahakan.(*)
                  
         

Tags