RUDY GANI
Pengamat Komunikasi Politik, Tinggal di Tangsel
Islam memberi ruang untuk politik. Namun, politisasi terhadap Islam adalah sisi lain yang ditentang umat Islam. Setidaknya, inilah inti dari pesan kontroversial Almarhum Cak Nur pada dasawarsa 1970-an dengan ”Islam yes, Partai Islam no”.
Bagi Cak Nur, ketika agama dinodai dengan praktik politik yang serba profan dan dangkal, di situlah agama menjadi buas dan memicu konflik diantaranya umatnya. Politisasi terhadap Islam menegasikan ’ketauhidan’ karena mudahnya umat terpecah belah akibat polarisasi politik. Antara pendukung partai A bertarung dengan partai B yang tidak jarang menimbulkan bentrokan fisik. Di sinilah kemudian Islam sebagai ajaran suci dan sakral, menjadi Islam yang dangkal dan profan. Maka, Cak Nur dengan argumentasi bahwa politik adalah urusan dunia menegaskan pentingnya pemisahan (sekulerisasi) Islam politik dan Islamisasi politik. Walaupun untuk alasan ini, Cak Nur mendapat tentangan serius dari tokoh-tokoh Islam.
Dalam pemikiran Islam politik kontemporer. Terjadi pergeseran terhadap orientasi politik umat Islam. Jika pada masa klasik orientasi politik Islam bertujuan membentuk negara Islam (Daulah Islamiyah). Maka dewasa ini, pradigma tersebut kian ditinggalkan dan menjadi wacana minoritas. Dalam konteks Indonesia misalnya. Praktik politik yang gagah memperjuangkan pembentukan negara Islam mendapat tentangan berbagai kalangan. Pembentukan negara Islam tidak relevan mengingat Pancasila yang sudah final. Pada rapat BPUPKI I setelah proklamasi Indonesia dilaksanakan, wacana pembentukan negara Islam tumbuh dan menguat. Namun, dalam rapat itu juga wacana pembentukan ’negara Islam’ ditolak. Artinya, wacana negara Islam sesungguhnya tidak menemukan tempat di negara Indonesia. Berbagai alasan dapat ditumpahkan di sini. Tapi yang jelas, aliran politik Islam yang memperjuangkan pembentukan negara Islam mandul dan ditolak dengan keras.
Pergeseran orientasi politik Islam adalah hukum alam menggambarkan begitu dinamisnya Islam sebagai ajaran. Islam memiliki doktrin rahmatan lil alamin sebagai bentuk keskralan akan perubahan tersebut. Dalam politik, Islam menyepakati apapun sistem dan ideologi yang ditawarkan negara dengan berbagai prinsip yang ditolerir Islam. Asalkan prinsip itu sesuai dengan Islam, apapun bentuk negaranya, Islam mendukung. Di sinilah kemudian fleksibilitas Islam sebagai ajaran yang universal mendapatkan pembenarannya.
Islam sebagai nilai terbukti hidup di bawah sistem demokratis sekaligus otoritarian. Sejarah panjang hubungan antara Islam dan negara adalah relasi yang berdinamika. Di era Orde Lama ketika Soekarno berkuasa, Islam politik mendominasi dengan tampilnya kader partai Masyumi dalam pemerintahan. Bahkan, M. Natsir yang ketika itu mewakili politik Islam menjabat Perdana Menteri. Di masa Orde Baru-pun hal yang sama tidak jauh berbeda. Nilai-nilai Islam turut mendominasi perjalanan rezim Soeharto dengan kritis konstruktif. Walaupun Orde Baru melakukan peleburan sekaligus pelarangan terhadap partai Islam, hal ini tidak mengurangi peran politik Islam secara substansif. Terbukti, pada tahun 1990 ICMI berdiri. Beberapa pengamat mengatakan jika pendirian ICMI menjadi simbol kehadiran Islam dalam pentas politik secara terbuka. Pada masa ini muncullah slogan ’ijo royo-royo’ sebagai tanda dominasi Islam dalam berbagai ruang birokrasi pemerintahan ketika itu.
Begitupula di era reformasi. Islam substansi memberi peranan besar dalam pentas politik pasca Orde Baru tumbang. Islam hadir dengan konsep politik yang justru tidak menginginkan pembentukan negara Islam, walaupun kesempatan itu besar. Dalam konteks itulah kemudian Islam membuktikan sebagai entitas masyarakat yang mengawal sekaligus mempertahankan Pancasila sebagai falsafah negara. Perjalanan sejarah umat Islam di Indonesia menandakan jika formalitas Islam selalu kalah dan tidak mendapat dalam ruang politik Indonesia. Namun, fakta sejarah sebagaimana pendapat berbagai sejarawan dapat diperdebatkan karena multitafsir dan intepretasi.
Pembaruan Politik Islam
Gagasan pembaruan dalam politik bagi umat Islam bukan baru pertama kali diwacanakan. Jauh sebelumnya, wacana ini tumbuh subur terutama di negara Islam yang dijajah. Orientasi politik Islam yang di dominasi pembentukan khilafah dan daulah Islamiyah memunculkan friksi penafsiran politik menurut Islam. Polarisasi politik Islam yang menjurus ke arah yang sempit dan formalistik, hanya memiskinkan capaiaan politik umat Islam. Perdebatan ketika Cak Nur dan kelompoknya mengusung pembaruan Islam, dicurigai sebagai proyek Westernisasi untuk mendangkalkan Islam politik. Padahal, wacana ini dapat dilihat dari esensi Islam sebagai rahmatan lil alamiin. Dalam konteks ini, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia. Islam tidak berdiri di atas pemberangusan keyakinan dan kepercayaan politik manusia. Yang ada justru Islam menjamin kebebasan beragama sekaligus menjamin ketentraman politik bagi masyarakat. Piagam Madinah adalah contohnya. Ketika itu, Nabi Muhammad menjamin umat Yahudi, Nasrani dan kaum Majusi untuk hidup tenteram. Bukan karena Madinah adalah negara Islam. Melainkan agama Islam dipraktikan sebagai nilai dan substansi. Namun, berbagai pengamat dan ahli sejarah Islam belum menemukan kesepakatan dalam menafsirkan peran Muhammad dalam Piagam Madinah.
Menyudahi Islam Formalis
Meninggalkan Islam formalis dan menjadikannya sebagai koleksi wacana Islam klasik menjadi suatu keharusan. Menyegarkan Islam politik merupakan suatu keutamaan bagi umat yang sedang menghadapi berbagai tantangan eksternal yang kian kompleks. Permasalahan kemiskinan, tumbuh suburnya pengangguran (terdidik dan tidak terdidik), kerusakan lingkungan dan penegakan hukum yang masih terbengkalai, adalah agenda politik umat Islam. Tanpa adanya perhatian yang serius dikalangan politikus Islam dan masyarakat, Islam hanya menjadi pemain sejarah yang miskin prestasi. Menyudahi perdebatan melelahkan antara Islam substansi dan Islam formalis adalah pilihan tepat.
Tugas umat Islam kian berat. Berbagai tantangan serius menanti di depan mata. Adalah bijaksana jika partai Islam yang masih ’taklid’ dan konservatif, merubah haluan guna menjawab tantangan zaman. Kecilnya perolehan suara partai-partai Islam menjadi titik balik untuk perubahan tersebut. Agar partai Islam dilirik umat Islam, partai harus berubah. Agar partai Islam berubah diperlukan pemahaman orientasi politik umat Islam. Adapun orientasi politik Islam ialah, bagaimana mensejahterakan umat dan mengeluarkan mereka dari kebodohan dan kepatuhan buta terhadap agama dan keyakinannya. Bisakah?
Tags