Jumat, 22 November 2024

Marwah Santri & Kewajiban Berjilbab di Sekolah Umum

Tokoh agama (ulama) Banten, K.H. Imaduddin Utsman.(Istimewa / Istimewa)

Oleh Imaduddin Utsman

TANGERANGNEWS.com-Euforia formalisasi Islam yang melanda Indonesia sejak masa reformasi juga merambah ke lembaga pendidikan umum, baik negeri maupun swasta. Hal tersebut ditandai dengan maraknya peraturan kewajiban berjilbab bagi siswi sekolah umum tersebut.

Sebagian sekolah yang mewajibkan siswinya berjilbab mengacu pada payung hukum undang-undang tentang Sisdiknas yang memberikan kewenangan tiap sekolah untuk menentukan seragam sendiri. Sebagian lagi mengacu kepada peraturan daerah masing-masing yang mengatur hal tersebut karena desakan partai politik yang ingin meraih simpati publik.

Ada dua faktor yang menyebabkan sekolah umum membuat aturan wajib berjilbab. Pertama, faktor guru yang terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran yang ingin mengimplementasikan syariah di ruang publik. Yang kedua, mewajibkan jilbab sebagai bagian dari strategi pasar di dunia pendidikan. 

Dahulu kala, orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri karena anaknya ingin mendapatkan pendidikan yang bermutu, bagus, rangking tinggi. Saat ini, keinginan itu bertambah, tidak sekedar mengejar aspek intelektualitas, namun juga soal kesalehan.

Namun dalam tulisan ini penulis tidak akan menyoroti tentang  pro-kontra wajib berjilbab di sekolah umum dari sisi legal-formal,  upaya penerapan syari’ah atau dari sisi keragaman. Tapi penulis akan fokus terhadap dua hal: Pertama, apa dampak diwajibankanya siswi berjilbab terhadap akhlak mereka dalam kehidupan; Kedua, moralitas peradaban kaum santri yang terdampak dari diwajibannya jilbab di sekolah umum –hubungannya dengan kurangnya marwah religiusitas yang dijaga dari siswi sekolah umum–.

Siswi Berjilbab Sebatas Formalitas?

Masuk ke sebuah lembaga pendidikan adalah sebuah pilihan, kadang pilihan siswa yang bersangkutan, kadang pula pilihan orang tua. Pilihan itu berhubungan erat dengan standar apa yang ingin dicapai ketika siswa itu lulus dari lembaga pendidikan tersebut, Keadaan ekonomi dan pakem keluarga. 

Untuk yang disebutkan terakhir misalnya keluarga para kiai tentu pilihan pakemnya adalah pondok pesantren agar anaknya bisa melanjutkan perjuangan keluarganya dalam dakwah agama. Biasanya keluarga tertentu telah memiliki pakem pula mengenai model pondok pesantren yang menjadi pilihan dan tidak mudah terpengaruh oleh maraknya iklan dan pandangan orang lain. 

Untuk alasan ekonomi dan standar yang ingin dicapai, siswa atau orang tua akan menentukan pilihan lembaga tertentu dengan konsekuensi mentaati peraturan yang ada di sekolah tersebut, termasuk untuk soal kewajiban berjilbab.

Siswi yang belum siap berjilbab terpaksa harus mau mengenakan jilbab di sekolah, walaupun mungkin  melepaskannya setelah pulang sekolah. Bila ia tak mau mengenakan jilbab, tentulah pihak sekolah akan mengatakan bahwa mengenakan jilbab sudah menjadi peraturan sekolah. Bila tidak bersedia mengenakan jilbab, maka ia tidak boleh belajar di sekolah itu.

Peraturan sekolah demikian –mewajibkan berjilbab– akan berdampak pada keterpaksaan siswi mengenakannya, karena tidak ada pilihan. Mereka mengenakan jilbab bukan dari lubuk hati dan keinginan sendiri. Mungkin harapan regulator, berjilbab menjadi kebiasaan siswinya yang akan membawa dampak positif bagi kehidupan siswinya.

Harapan demikian mungkin saja terwujud, atau tidak sama sekali. Karena, jika mengenakan jilbab sebatas memenuhi peraturan sekolah, maka dapat kita saksikan perilaku siswi di luar sekolah yang tidak sesuai dengan pakaian yang mereka kenakan.

Seringkali kita menyaksikan mereka (siswi berjilbab) berboncengan diatas sepeda motor dengan lawan jenis dengan perilaku yang tidak mencerminkan akhlak islami.

#GOOGLE_ADS#

Bahkan, penulis kerap menyaksikan mereka telah membuka jilbabnya justru hanya beberapa langkah dari gerbang sekolah.

Di tempat-tempat tongkrongan, penulis kerap menyaksikan juga pelajar masih berseragam sekolah dan berjilbab tengah bercengkrama bersama, baik dengan teman laki-laki maupun perempuan. Lebih miris lagi, pelajar perempuan itu tengah menghisap rokok.

Lalu apa konsekuensi kewajiban berjilbab di sekolah umum terhadap santri pesantren?

Dari peristiwa yang penulis ceritakan di atas, tentu saja ada hubungan dengan pesantren, terutama para santri putri. Adanya siswi yang mengenakan jilbab dengan terpaksa dengan  akhlak yang tidak sesuai dengan busananya itu akan membiaskan antara mereka dan santri putri yang mngenakan jilbab dengan sukarela dengan akhlak yang relatif sudah terjaga. 

Pandangan masyarakat bisa saja menganggap sama antara santri yang menggenakan jilbab dengan siswi yang berasal dari sekolah umum. Sakralitas marwah keagamaanpun akan turun. Mereka yang menjaga diri dengan mereka yang tidak menjaga diri sepintas akan tampak sama. Tentu ini akan mengacaukan cara pandang publik terhadap santri putri. Apalagi seragam sekolah relatif sama antara siswi sekolah umum dengan santri pondok pesantren.

Kemudian bagaimana pandangan fiqih terhadap fenomena ini? Dilihat dari sudut pandang cara berpakaian Fiqih Islam mengatur bagaimana cara berpakaian seorang muslimah. Dalam madzhab Syafi’i, pendapat yang masyhur adalah bahwa aurat wanita muslimah yang  hurrah (merdeka) adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan. Sedangkan untuk wanita muslimah amat (budak)  adalah antara pusar dan dengkulnya. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa aurat muslimah yang budak adalah seluruh tubuh kecuali kepala, leher dan lengannya.

Lalu apa hubungannya dengan seragam sekolah? Begini! Ketika dalam syariat Islampun ada perbedaan antara muslimah hurrah dan muslimah amat, ini menunjukan bahwa cara berpakaian yang diatur dalam Islam untuk muslimah juga tidak tunggal. Ada perbedaan tergantung kedudukannya dalam strata sosial. 

Hal ini tentu mengandung makna bukan hanya dilihat dari sisi apakah perbudakan itu masih ada atau tidak, tapi lebih jauh apakah akhlak dan budaya budak itu masih ada atau tidak. Artinya perbedaan dasar akhlak dan budaya seorang wanita muslimah ditentukan pula oleh akhlak dan budaya yang melingkupinya, misalnya keluarga dan lingkungan sekitarnya. Ilmu pengetahuan dan cakrawala pandangan hidup bisa berubah, tapi sebelum bisa berubah harus ada identitas eksplisit yang membedakannya.

Umar bin Khotob RA pernah melihat seorang amat yang menggunakan hijab lalu ia memukulnya sambil berkata, “Janganlah engkau menyerupai wanita merdeka!”. Hadist ini diriwayatkan oleh ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Musonnafnya (2/41, bab Al Sholaawaat).

Dari hadits ini Umar bin Khottob RA lebih memandang jilbab  sebagai pakaian penegas identitas antara hurrah dan amat, walaupun amat itu sendiri seorang muslimah, bukan hanya sebagai syariat un sich. Kalau hanya menurut syariat tentu walau aurat amat hanya sebatas pusar dan dengkul, bila ia menutup aurat seperti hurrah, akan lebih baik.

Hal ini pula yang ingin saya sampaikan kepada pembaca untuk berpariwisata dalam kebijaksananaan dari masalah diwajibankanya jilbab di sekolah umum. Alangkah lebih baik kita dorong anak-anak kita untuk terlebih dahulu memahami marwah, akhlak dan tuntunan Islam yang mulia sebelum kita taklif mereka dengan taklif yang sangat sukar dilakukan dengan sepenuh hati karena belum lahir dari kesadaran pribadi. Pada akhirnya, taklif itu kemudian berkonsekuensi tercederainya komponen lain dari bangunan peradaban dan akhlak Islam.

Materi pewajiban jilbab yang sedang kita bicarakan ini walau titik pandangnya kepada pewajiban jilbab di sekolah tetapi juga mencakup pewajiban jilbab yang juga marak di berbagai instansi dan perusahaan. Yang terpenting adalah bagaimana sekolah dan instansi manapun tidak membatasi apalagi melarang siapa saja wanita yang mau menggunakan jilbab yang lahir dari ke-inshafan pribadinya. Wallahu a’lam bi al shaowwab.(MRI/RGI)

Tags Opini