Oleh: H. Imaduddin utsman, MA
Pada muktamar NU ke-27 di Situbondo 1984, Nadhlatul Ulama (NU) menegaskan kembali ke khittah sebagai Jamiyyah Diniyyah Ijtimaiyyah (Organisasi agama dan kemasyarakatan), bukan organisasi politik. Diksi bukan sebagai organisasi politik ini ditegaskan oleh para pimpinan NU dengan maksud dalam politik praktis, NU tetap memperhatikan dan mempunyai tanggung jawab politik, yaitu politik kebangsaan.
Politik kebangsaan NU pengejewantahan tanggung jawab NU kepada bangsa dan negara untuk tetap mengawal perjalanan politik Indonesia agar tetap dalam rel kebangsaan yang telah disepakati bersama oleh para pendiri bangsa dengan ciri utama tetap mengutamakan keluhuran akhlak agar tercapainya kedamaian dan kesejahteraan rakyat.
Politik kebangsaaan merupakan cermin moderatisme NU dalam politik. Politik kebangsaan adalah politik yang menitikberatkan bangsa sebagai individu-individu yang memiliki negara dan sekaligus agama sebagai pondasinya. Bukan politik nation melulu, bukan pula agama melulu.
Sebab, kadang idealisme nasional terkesan mengabaikan agama, begitupula sebaliknya. Ditambah, tkeduanya kerap ditafsir jauh bukan untuk kemaslahatan bangsa.
Sejatinya, sebuah negara didirikan atas kesepakatan bersama untuk tercapainya cita-cita bersama yaitu kemaslahatan semua bangsa.
Imam Al Mawardi dalam Al-Ahkam al Sulthaniyyah mengatakan:
فكانت الامامة اصلا، اليه استقرت قواعد الملة، وانتظمت به مصالح الامة حتي استثبتت بها امور العامة
"Negara adalah ashal yang kokoh dengannya kaidah-kaidah agama, teratur dengannya kemaslahatan ummat, sehingga terpeliharalah urusan-urusan rakyat” (Imam Al-Mawardi: Al-Ahkam al Sulthaniyyah, h.3, Daar al kutub al ilmiyyah, Beirut, 1436 H.)
Dalam pembukaan UUD 1945 pun disebutkan ada empat tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia: melindungi segenap bangsa Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Maka politik kebangsaan yang dikembangkkan NU merupakan politik yang paling sesuai dengan UUD 1945.
#GOOGLE_ADS#
Partai Politik
Partai-partai politik di Indonesia, dari jenisnya, bisa dikatakan memiliki dua poros utama: Nasional dan agama.
Partai-partai nasionalis menitikberatkan perjuangan mereka terhadap nilai-nilai nasionalisme, sementara partai agama terhadap nilai-nilai agama.
Politik kebangsaan NU berada ditengah, antara nilai-nilai agama, dalam hal ini agama Islam aswaja annahdiyyah, dan nilai-nilai nasionalisme.
Titik berat politik moderatisme NU, sekali lagi, bukan kepada negara atau agama melulu, tapi bangsa. Bangsa adalah individu-individu yang mendiami suatu kawasan dimana seseorang memiliki agama sekaligus memiliki nation.
Maka berkebangsaan seperti inilah yang harus menjadi titik pangkal agar agama dan nation tetap melekat pada diri seorang warga negara. Karena politik yang hanya "nation melulu" adalah "politik bingkai kosong", ibarat kosong dari lukisan yang indah.
Sementara politik agama adalah "politik kura-kura dalam perahu" yaitu politik yang kerap mengabaikan kenyataan multi agama yang ada di Indonesia. Dampaknya, muncul sikap saling curiga dan pemaksaan keyakinan agamanya kepada pemeluk agama lain.
Berbeda dengan dua model politik tersebut, politik kebangsaan yang diemban NU adalah politik yang berusaha memahami seluruh realitas bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, budaya, agar tercipta harmonisasi dan kesadaran kolektif akan hak dan tanggung jawab, saling percaya, toleransi dan saling menghargai sebagai sesama warga negara Indonesia.
Namun, politik kebangsaan NU juga bukanlah politik yang menafikan ajaran agama, bukan pula menjadikan nasional tidak penting, politik kebangsaan ini dijiwai oleh nilai-nilai luhur keduanya.
Pemilu dan Moderatisme NU
Prinsip demokrasi diantaranya adalah diselenggarakannya pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Pemilu dalam politik kebangsaan NU harus dilaksanakan dengan jujur dan adil oleh penyelenggara pemilu.
Kontestan pemilu harus berkompetisi dengan bermartabat, tidak menggunakan cara-cara yang berlebihan dalam kampanye, misalnya dengan menyebarkan berita bohong untuk menarik simpati pemilih, politik uang, dan manipulasi suara, apalagi yang mengarah kepada terjadinya perpecahan bangsa.
Pemilu harus dimaknai hanya sebagai kontestasi rutin untuk mencari pemimpin, siapapun yang menang bisa berpotensi membawa kemajuan yang diimpikan atau sebaliknya selama lima tahun.
Sehingga, dalam memilih pemimpin, sikap rasional sangat penting, bukan memilih karena hasutan, terlebih hanya karena diksi iman dan kafir.
Dengan demikian, politik moderatisme NU atau politik kebangsaan NU harus menjadi potret besar yang ditopang oleh pilar-pilar pendukungnya seperti sumber daya manusia dan kemandirian ekonomi warga NU, sehingga NU dapat membawa ajian besar ini dengan tidak mudah dipengaruhi dan dibawa oleh kepentingan-kepentingan yang tujuan politiknya bertentangan dengan prinsip politik kebangsaan NU.
Demikianlah politik kebangsaan NU yang penulis pikir perlu mendapat perhatian untuk terus diperjuangkan, demi terciptanya negara Indonesia yang kuat dengan ditopang oleh bangsa yang kuat pula.
Penulis adalah Wakil Khatib Syuriah PWNU Banten, Pengasuh Ponpes NU Kresek Tangerang Banten.