Penulis : Rudy GaniI
Aktivis HMI Badko Jabotabeka Banten
TANGERANGNEWS-Demokrasi selalu menarik perhatian. Sejak kita menghadirkan demokrasi sebagai sistem politik bernegara, sistem politik menyempit menjadi terbatas pada kelompok tertentu. Wujud demokrasi tersebut tidak di set tatkala demokrasi hadir di teras bangsa-- namun kondisi itu lahir dari demokrasi itu sendiri. Salah satu contoh betapa demokrasi paradoks itu muncul ialah bertarungnya ’klan’ keluarga di beberapa Pilkada di Indonesia.
Sebagai contoh di Tangsel. Pilkada pertama bagi daerah ini akan diselenggarakan. Setelah melewati berbagai perdebatan panjang, akhirnya pilkada terlaksana. Muncullah para kandidatnya. Secara kasat mata tidak ada yang sempurna. Namun, ketika ruang media dan citra berbicara, kandidat yang sebelumnya entah datang darimana, seolah hadir dan menjadi pahlawan bagi kota tersebut.
Di samping itu, fakta menarik bermunculan. Para kandidat yang kelak bertarung masing-masing memiliki trah keluarga yang kuat. Terdapat kandidat yang berasal dari lingkungan keluarga Gubernur, Menteri Kabinet Bersatu II, keluarga Walikota, artis dan mantan pejabat. Tentu saja mereka belum mencalonkan diri sebagai Walikota. Namun, Fakta ini begitu menarik dicermati. Sebab, partisipasi mereka menimbulkan pertanyaan, mampukah mereka mensejahterakan daerah yang dipimpinnya?
Demokrasi di Tangsel tentu berbeda dengan daerah lainnya. Demokrasi Tangsel adalah cermin daripada demokrasi urban. Maka, ketika pertarungan keluarga di Tangsel terjadi, masyarakat awam hanya mampu melihatnya. inilah konskwensi demokrasi. Disinilah kemudian muncul perdebatan dan sekaligus keraguan dapatkah pertarungan keluarga di Tangsel menghadirkan kesejahteraan tatkala salah satu klan keluarga ini memenangkan pilkada nantinya?
Fakta Menarik
Akhir-akhir ini masyarakat disuguhkan bagaimana wujud hegemonik keluarga menghasilkan kartel politik dan ekonomi yang menyimpang dari cita-cita pemekaran daerah. Dalam konteks Tangsel misalnya. Daerah pamekaran bertujuan menyuburkan pemerataan kesejahteraan bagi 1 juta lebih penduduk Tangsel-- bukan malah sebaliknya, menambah buncit perut pejabat dan menyuburkan usaha kolusi pengusaha dan keluarga penguasa.
Namun Faktanya, kondisi yang kedua justru muncul dan berkembang. Ketika klan dari salah satu keluarga tersebut menang, tipis harapan jika kesejahteraan menghampiri masyarakat Tangsel nantinya. Kita khawatir dengan pernyataan Presiden SBY beberapa waktu lalu. Menurut SBY, sejak pemekaran dilaksanakan 10 tahun yang lalu, 80% pemekaran di daerah gagal (ANTARA,13/10). Pernyataan tersebut diungkapkan Presiden ketika melaksanakan rapat kerja dengan DPR di Istana Negara. Bisa saja, 80% itu termasuk daerah Tangsel yang masih hangat untuk dicermati oleh pemerintah pusat.
Keluarga dan Kepemimpinan Tangsel
Tangsel, sebagai daerah yang baru dimekarkan terancam dilikuidasi sebagai daerah baru apabila berbagai pencapaiaan yang diharapkan tidak terlaksana. Salah satu proses politik yang berbasis pada kesejatiaan demokrasi ialah menghadirkan kepastian bagi masyarakatnya. Dalam konteks politik, kepastian itu ialah, diberinya kesempatan bagi seluruh masyarakat untuk berpartisipasi mengikuti pilkada dengan adil dan setara.
Antara kandidiat yang memiliki klan dan non-klan di bawah payung demokrasi harus sama dan setara. Tidak ada yang lebih diunggulkan apalagi menjatuhkan secara tidak bermartabat. Seandainya tukang becak atau Kyai, Guru, profesor—maju sebagai kandidiat Walikota Tangsel, masyarakat dan penguasa mengapresiasinya dengan penuh gembira.
Sebab, melalui rahim demokrasi sumber kepemimpinan suatu daerah atau bangsa tidak bersumber semata-mata dari klan keluarga. Kepemimpinan yang berbasis pada trah keluarga tidak menjamin hadirnya kesejahteraan bagi masyarakat. Sebab, kepemimpinan sesungguhnya adalah ilmu dan rahmat dari Tuhan.
Hanya manusia terpilihlah yang kelak direstui untuk menjadi pemimpin. Walaupun para kandidat tersebut berasal dari keluarga yang mapan, punya uang dan popularitas—namun, ketika Tuhan tidak menghendaki, maka kegagalan adalah kepastiannya.
Mengapa hal ini begitu penting? Karena, kita diancam dengan adanya ketidakadilan proses demokrasi pertama kali di Tangsel. Tingginya ambisi para kandidat seraya minimnya kesejatiaan berdemokrasi memunculkan prilaku buruk dalam berpolitik, utamanya bagi kandidat yang nama-namanya bermunculan di masyarakat. Praktik politik yang kurang bermartabat hanya memunculkan sikap skeptis pada masa depan politik Tangsel di masa selanjutnya.
Pemimpin yang bermodalkan nama keluarga, uang dan popularitas tanpa keahlian dan skill serta pengalaman memimpin hanya menumbuhsuburkan kemiskinan dan kesengsaraan bagi orang yang dipimpinnya. Bahkan Tuhan sendiri telah menyuruh untuk menyerahkan segala urusan kepada ahlinya. Dalam shalat berjama’ah misalnya. Bagi umat Islam, seorang Imam adalah mereka yang ahli dan memiliki integritas kelimuaan Islam. Bukan seorang Imam yang dipilih berdasarkan kekayaan, sumbangan dan anaknya mantan Imam—misalnya.
Artinya, di dalam agama Islam—agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Tangsel, konsep kepemimpinan tidak semata bertumpu pada kekayaan, nama keluarga dan popularitas. Konsep kepemimpinan dalam Islam bersumber pada Iman, Ilmu dan Amal yang dikerjakannya selama ini. Bukan amalan yang dikerjakan menjelang pemilu terlaksana.
Bukan pula keahlian yang didikte oleh tim sukses tanpa memperlihatkan originalitas pemikiran membangun Tangsel. Karena itu, nama besar keluarga dan uang bukan satu-satunya faktor penentu kemenangan. Uang dan popularitas adalah alat penunjang, bukan penentu. Integritas dan keahlian adalah hal utama bagi pemimpin yang mau di pilih.
Gerakan Memilih Cerdas
Walaupun pilkada masih beberapa bulan lagi, masyarakat harus cerdas memilih dan memilah mana pemimpin yang sekedar ambisius alias rakus kekuasaan dan mana yang sungguh-sungguh berjuang untuk kesejahteraan rakyat. Dalam setiap kontestasi politik, para kandidat akan selalu menebar janji manis kepada rakyatnya. Namun, bukan janji yang dibutuhkan untuk mengeluarkan ratusan rakyat miskin di Tangsel.
Bukan pula ”saya akan” sebagai kata pamungkas mengeluarkan ratusan pengangguran di Tangsel. Tapi, apa yang sudah dilakukan ketika para kandidat itu belum menjabat sebagai pemimpin. Banyak cara untuk mengetahui track record para kandidat tersebut. Misalnya melalui internet, diskusi dengan kandidat, sosialisasi profil kandidat melalui lembaga independen, majalah dan koran serta cara lain sesuai dengan kemampuan individu tersebut. Hal ini penting untuk menghindari adanya praktik ”beli pemimpin dalam karung”, maukah itu terjadi? Tentu saja tidak.(**** )
Tags