Penulis Rudy Gani
Aktivis HMI Badko Jabotebeka Banten
Pilkada kota Tangerang Selatan yang sedianya akan digelar pada bulan November tahun ini, terasa ’ada’ namun seperti ’tiada’. Apa maksudnya? Sosialisasi yang seharusnya diberikan pemerintah, dalam hal ini KPU Kota Tangerang Selatan, serasa miskin bahkan tidak ada. Upaya gencar seharusnya dilakukan KPU dengan semangat yang tanpa putus. Sebab, berbagai kebutuhan untuk menunjang sosialisasi tersebut telah dimiliki KPU Tangsel, baik dari sisi anggaran, fasilitas dan media. Namun, karena minimnya pengalaman, ditambah kecendrungan KPU Tangsel yang berpihak kepada salah satu kandidat, menjadikan KPU kurang ’greget’ mensosialisasikan Pilkada kepada masyarakat Tangsel. Hanya masyarakat tertentu saja yang diguyur dengan sosialisasi. Selainnya tidak. Benarkah?
Jawabannya, iya. Masyarakat yang seharusnya mengetahui pilkada, baik dari segi teknis hingga informasi calon, karena kurangnya sosialisasi dari KPU menyebabkan masyarakat urung mengetahui pelaksanaan pilkada dan seluk beluk kandidatnya. Kondisi ini amat rentan menimbulkan gejolak dan kecurangan dalam pilkada mendatang. Terkesan, ada upaya yang sengaja dilakukan KPU Tangsel untuk meniadakan propaganda dan sosialisasi langsung kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pilkada. Kecurangan politik seperti ini rawan dilakukan. Di tengah pragmatisme politik yang kian tinggi, segala cara bisa saja dilakukan oleh kandidat untuk dapat memenangkan pilkada. Salah satunya dengan membeli suara yang tidak digunakan.
Belum lagi praktik politik uang yang sudah beredar luas di masyarakat Tangsel. Untuk memenangkan pilkada, masing-masing kandidat, dari informasi yang di dengar tengah mengumpulkan pundi-pundi rupiah guna melakukan ’serangan fajar’ pada pilkada nanti. Cara ’busuk’ seperti ini akan menjadi kenyataan manakala kondisi masyarakat Tangsel yang juga mendukung. Artinya, dengan politik uang, masyarakat akan tergiur untuk memilih kandidat yang memberi mereka uang. Demi suara, rakyat tentu saja berani menjualnya hanya untuk puluhan ribu rupiah. Kondisi ini disebut ’pragmatisme akut’ dalam setiap pilkada di Indonesia. Parahnya, kondisi ini terus menerus dipelihara oleh elit politik karena dianggap sebagai cara yang termudah memenangkan pilkada. Rakyat yang dianggap lemah dan bodoh, dicekoki dengan politik uang yang sesungguhnya menjadi pintu dari malapetaka kepemimpinan kandidat yang melakukan strategi tersebut. Akhirnya, politik dengan cara kotor seperti
ini kian membudaya dalam proses politik yang dipraktikkan para elit politik kita.
Cara termudah untuk memberangus hal tersebut ialah dengan melakukan gerakan ’nalar berpolitik’. Gerakan nalar berpolitik adalah sikap waras dan sadar yang dimiliki manusia politik untuk menggunakan akal dan nuraninya dalam menentukan pilihan politik, terutama pilkada. Bagi orang yang memiliki nalar politik, cara kotor seperti politik uang serta intimidasi dianggap sebagai sikap ’bar-bar’ politikus (dan tim sukses) yang tidak pantas dipilih. Bagi mereka yang bernalar, cara politik dengan menggunakan uang untuk membeli suara adalah bagian dari kejahatan politik. Kejahatan politik akan membawa serangkaian gerbong penderitaan bagi masyarakat ketika pemimpin tersebut menang. Korupsi akan menjadi sahabatnya, pembangunan tanpa keadilan akan menjadi wataknya, dan pembiaran kepada masyarakat akan menjadi panglimanya. Inilah beberapa kondisi yang akan dihadapi ketika penjahat politik kemudian menjadi pemimpin sebuah daerah.
Sedangkan tantangan bagi orang yang bernalar ialah tingginya resistensi ketika gerakan ini harus vis a vis dengan sekelompok politikus dan tim sukses yang memiliki mental rakus dan menjilat (kotor). Bentuk perlawanan yang diberikan oleh gerakan ini ibarat Daud vs Goliath dimana antara satu sama lain tidak seimbang. Kelompok pro politik kotor akan menggunakan seluruh kekuataannya untuk meredam kelompok bernalar dengan segala cara. Mulai dari intimidasi, fitnah, propaganda negatif, kekerasan hingga kematian. Ibaratnya, perlawanan antara yang ’baik dan jahat’ ketika gerakan nalar politik dipublish ke masyarakat. Penjahat tentu takut pada situasi yang akan menghambat aksinya, begitupun dengan politikus bejat tersebut, akan takut ketika kebaikan, kejujuran dan keadilan menjadi panglima dalam praktik berpolitik.
Karena itu, agar pilkada Tangsel berjalan dalam kondisi demokratis dan bermoral, KPU sebagai pelaksana harus jujur dalam menjalankan setiap proses penyelenggaraan pilkada. Masyarakat Tangsel masih banyak yang belum mengetahui kapan pilkada terlaksana. Baik itu masyarakat kelas menengah, atas maupun bawah. KPU masih butuh ruang sosialisasi agar seluruh masyarakat yang terdaftar benar-benar mendapatkan haknya. Sebab jika tidak, berbagai indikasi yang dituliskan di atas dimana salah satunya kejahatan politik, bisa saja KPU juga termasuk di dalamnya. Jika tidak mau seperti itu, maka sosialisasikan pilkada kepada semua elemen masyarakat(*)
Tags