Oleh: Eresia Nindia Winata, Ibu Rumah Tangga
TANGERANGNEWS.com-Mantan Presiden Amerika yang juga pengusaha, Donald Trump, menyatakan, orang kaya yang bisa menggelapkan harta agar bebas dari pajak adalah smart people. Baginya, lebih baik memberikan donasi pada yayasan kemanusiaan yang berefek langsung pada masyarakat, daripada harus menyetor sejumlah besar pajak pada negara. Setoran pajak ini dampaknya tidak pasti, kemungkinan dikorupsi sangat tinggi. Pemimpin negara punggawa kapitalisme pun punya pemikiran seperti ini tentang pajak.
Dengan menjadikan pajak sebagai tulang punggung pendapatan, kemunculan Pandora Papers seolah mencoreng muka mayoritas negara kapitalis. Pajak menjadi sumber pemasukan negara, tapi orang super kaya berusaha mengemplangnya dengan melindungi kekayaan mereka di tanah bebas pajak.
Kredibilitas Charles Lewis, penggagas International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), tak perlu diragukan. Melalui tangan dinginnya, skandal mark up Kellog, Brown, and Root (KBR), anak perusahaan Halliburton yang memiliki nilai kontrak USD 2.4 miliar di Irak dan Afghanistan, akhirnya terbongkar pada tahun 2003. Di tahun yang sama, kerja keras Lewis mengungkap kejahatan transaksi, dianugerahi George Polk Award.
Charles dibantu ratusan jurnalis mandiri di seluruh dunia, bertanggungjawab atas terbitnya Panama Papers, Paradise Papers dan terakhir Pandora Papers. Pandora Papers memuat jauh lebih banyak data dibanding bocoran data sebelumnya. Terdapat 100 nama miliuner dunia dari 29 ribu akun offshore, 300 pejabat publik, dan 30 pemimpin dunia yang terangkum dalam 2.94 terabita data. Pandora Papers menjadi gempabumi yang menggegerkan dunia setelah kemunculan Panama Papers dan Paradise Papers di tahun 2016 dan 2017 lalu.
#GOOGLE_ADS#
Mengguncang Dunia, Anteng di Indonesia
Pajak menjadi tolok ukur kebaktian terhadap negara. Warga negara yang baik adalah yang taat bayar pajak. Maka kemunculan nama politisi, pengusaha, dan oligarki dalam sejumlah Papers, membuat geger. Bagaimana tidak, mereka yang merancang peraturan, tapi mereka pula yang menerabasnya.
Tsunami politik terjadi setelah terbitnya Panama Papers. Sigmundur Davíð Gunnlaugsson, Perdana Menteri Islandia akhirnya mundur setelah terjadi demostrasi masif di jalan-jalan utama Islandia. Menteri Perindustrian, Energi, dan Pariwisata Spanyol, José Manuel Soria, juga melakukan hal serupa. Meskipun dia tercatat sebagai presiden perusahaan offshore sebelum diangkat menjadi menteri, namun Soria meredam protes publik dengan mundur dari jabatannya.
Hal serupa juga terjadi pada Perdana Menteri Pakistan, Nawaz Sharif. Meski butuh waktu setahun proses investigasi, akhirnya dia mundur setelah terbukti merekayasa laporan kekayaannya. Presiden Chille, Sebastian Panera, terancam dimakzulkan dari tampuk kekuasaannya usai Pandora Papers bergulir.
Dari sekian banyak nama orang Indonesia di sana, ada empat yang cukup menarik perhatian: Luhut Binsar Panjaitan, Airlangga Hartarto, Sandiaga Uno, dan Garibaldi Thohir. Nama terakhir adalah saudara dari Menteri BUMN Erick Thohir, sedangkan tiga lainnya adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, dan Menteri Pariwisata.
Bahkan, Luhut Binsar dan Airlangga disebut dua kali, yakni dalam Panama Papers dan Pandora Papers. Tak seperti negara lain yang segera menindaklanjuti laporan Pandora Papers, otoritas Indonesia tampak adem ayem saja.
Presiden Jokowi mengaku sudah tahu nama-nama pejabat yang menyimpan uang di luar negeri. Tapi tak sekali pun otoritas pemerintah mengeluarkan statement untuk menindaklanjuti laporan tim independen ICIJ itu. Airlangga tetap menjadi menteri. Sandiaga Uno bahkan menjadi kawan setelah bertarung sebagai oposisi. Apalagi Luhut Binsar, posisinya berada makin dalam di lingkar kekuasaan.
Panama dan Pandora Papers tidak mempan menyeret oligarki Indonesia ke ranah investigasi apalagi hukum.
#GOOGLE_ADS#
UU HPP Bak Meneteskan Cuka di Atas Luka
UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) sudah diketuk palu 7/10 lalu. Pendapatan kena pajak dinaikkan ke 60 juta. Pajak pendidikan dalam RUU juga dihapuskan. Tapi PPN naik dari 10 ke 11 persen. Pajak atas sembako dan layanan kesehatan khusus pun diberlakukan. Lapis Pendapatan Kena Pajak (PKP) pun ditambah satu. Yakni pendapatan di atas 5 miliar, terkena pajak 35 persen.
Pemerintah benar-benar mengejar pajak ke lubang jarum. Tak ada sejengkal pun komoditas jasa dan barang di tengah rakyat yang luput sebagai objek pajak.
Ditambah, pemerintah menggelar Tax Amnesty jilid II. Nama pengampunan pajak ini pun diganti dengan istilah yang lebih empatik menjadi Program Pengungkapan Sukarela. Program ini menjadi stimulus 'pengakuan dan pengampunan dosa' bagi para konglomerat yang tidak transparan melaporkan pendapatannya.
Ironi sistemik. Rakyat menengah ke bawah dicekik dengan pajak baru, sementara kalangan atas makin ringan kewajiban pajaknya dengan Tax Amnesty jilid II ini.
Islam Adil Dalam Mengatur Kas Negara
Menjadikan pajak dan utang sebagai sumber primer dan rutin APBN adalah kesalahan mendasar bagi kapitalisme global. Pemerintah mengurus rakyat dengan kacamata dagang. Yang punya harta harus siap dicaplok dengan pajak progresif tinggi dan berlapis. Yang miskin papa juga tidak lepas dari pajak barang dan jasa. Semua akan menjadi objek pajak, tinggal tunggu waktu saja.
Yang butuh diingat, penarikan pajak non selektif ini bukan hanya merugikan rakyat kecil, tapi juga orang kaya. Bayangkan saja. Pengusaha yang lurus, mendirikan usahanya tanpa riba, menciptakan lapangan pekerjaan bagi banyak orang, bekerja keras mendapatkan laba dari penjualan, lalu tiba-tiba negara hadir menarik pajak dengan persentase besar. Seolah mau enaknya saja. Tidak hadir saat bisnis dibangun, tapi datang bak preman pungli saat tahun pajak berakhir.
Apalagi pemberlakuan pajak progresif yang tarifnya mencekik. 30 persen untuk pendapatan 500 juta-5 miliar rupiah, dan 35 persen bagi yang pendapatannya di atas 5 miliar rupiah. Seolah menjadi kaya adalah kesalahan. Karena hartanya akan menjadi objek pajak menggiurkan.
Dengan pemberlakuan pajak progresif ini, wajar tercipta celah sangat lebar bagi penggelapan pajak. Secara fitrah, orang kaya pun tidak akan rela jika hasil kerja kerasnya diambil semena-mena oleh pemerintah dengan pajak tinggi. Skandal pengemplangan pajak oleh orang super kaya dalam aneka dokumen seperti Panama dan Pandora Papers akan terus ada.
Sementara Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pengisi baitul maal (kas negara). Pendapatan baitul maal didapat dari beberapa pos, di antaranya (1) Fai [Anfal, Ganimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; dan (9) Harta orang murtad.
Memang tidak dipungkiri, dalam Islam pun dikenal adanya pajak dengan istilah dharibah. Akan tetapi, penerapan dan pengaturannya sangat berbeda secara diametral dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme.
#GOOGLE_ADS#
Syekh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka, dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitulmal kaum muslim untuk membiayainya.” (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129).
Penarikan pajak dilakukan secara selektif. Artinya tidak semua orang dibebani untuk membayar pajak. Hanya pihak-pihak yang dirasa mampu dan berkecukupan saja yang akan dikenain pajak. Orang-orang yang tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup, dibebaskan dari membayar pajak.
Pajak bukanlah sumber tetap pendapatan Baitulmal (kas negara Khilafah). Pendapatan ini bersifat insidental ketika kondisi kas negara kosong dan hanya dibebankan kepada orang-orang kaya saja. (Muqaddimah Ad-Dustur, Al-Nizham al-Iqtishadi fil Islam)
Islam juga menetapkan besaran zakat yang sama, yakni 2.5 persen jika terpenuhi nishab dan haulnya. Negara menciptakan iklim agar yang kaya semangat bersedekah. Negara juga membatasi akses kepemilikan swasta terhadap sumber daya alam. Karena semua sumber kekayaan alam dengan potensi besar, wajib dimiliki dan dikelola negara. Jadi, tidak ada keadaan seperti sekarang, di mana 1 persen orang kaya menguasai lebih dari 90 persen kekayaan alam dunia.
Fenomena dokumen pengemplangan pajak, pengesahan UU HPP yang mencekik rakyat, serta adanya pengampunan pajak bagi si kaya, menunjukkan borok yang tak kunjung kering di sistem kapitalis-sekuler ini. Hanya sistem Islam paripurna yang lahir dari Maha Sempurna saja yang bisa mengatur manusia dengan sebaik-baiknya. Wallahua'lam bish shawwab.