Oleh: Hana Annisa Afriliani, S. S., Penulis Buku dan Aktivis Dakwah
TANGERANGNEWS.com-Aksi tikus berdasi tak pernah henti membanjiri laman-laman pemberitaan. Belakangan kasus korupsi kembali terungkap di tubuh pemerintahan. Sebagaimana dilansir oleh Tangerangnews.com (17-05-2022) bahwa Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Tangerang telah berhasil membongkar perkara dugaan korupsi pembangunan pasar lingkungan di Kelurahan Gebang Raya, Kecamatan Periuk, Kota Tangerang.
Karena itulah, Ahmad Priatna selaku Peneliti Tangerang Public Transparency Watch (TRUTH) menyimpulkan bahwa Tangerang belum sepenuhnya bersih dari korupsi. Bahkan berdasarkan pantauan TRUTH melalui opentender.net milik Indonesia Corupption Watch (ICW), setidaknya ada beberapa pembangunan yang memiliki potensi kecurangan di dalamnya, di antaranya pembangunan Stadion Benteng, pengadaan bahan pakaian DPRD, pengadaan buldozer dari Dinas LH Kota Tangerang, dan pengadaan Asphalt Pave Dinas PUPR Kota Tangerang, dan lain-lain.
#GOOGLE_ADS#
Demokrasi Rawan Lahirkan Korupsi
Praktik korupsi di sistem hari ini tidak terlalu mengherankan, sebab sejatinya sistem demokrasi yang diterapkan saat ini justru menjadi penopang mengguritanya aksi-aksi korupsi. Bagaimana tidak, biaya politik ala demokrasi yang mahal berkonsekuensi logis pada ambisi para pejabat dalam mengembalikan modalnya. Apalagi di sistem demokrasi, sebagaimana kita tahu, tak lepas dari adanya pertalian erat dengan pengusaha atau para pemilik modal dalam rangka memuluskan langkah menuju kursi kekuasaan. Bukan rahasia lagi, jika para kapitalis itu menjadi penyokong dana kampanye para calon yang pada akhirnya berkorelasi dengan tunduknya mereka saat menjabat kepada para kapital tersebut. Bagi-bagi kursi pun kerap terjadi. Pun dalam bentuk lahirnya kebijakan yang mengakomodasi kepentingan para kapitalis itu.
Demikianlah hakikatnya sistem demokrasi yang sangat rawan lahirkan aksi korupsi. Lantas, patutkah rakyat mendiamkan hal ini tetap lestari? Tentu saja tidak, sebab korupsi adalah tindak kriminal yang telah menggurita dan tentu saja perlu dihilangkan. Karena selain menciderai hak rakyat, juga menodai negeri berpenduduk mayoritas muslim ini.
Betapa tidak, praktik korupsi dalam pandangan Islam adalah sebuah tindakan maksiat. Karena pelaku korupsi mengambil harta yang bukan merupakan haknya. Lebih-lebih jika pelakunya merupakan pejabat publik, tentu saja hal itu merupakan bentuk kezaliman yang nyata terhadap rakyat. Bukankah semestinya seorang pejabat publik menjadi pelayan atas rakyatnya? Bukan malah 'merampok' hartanya dan menelikung haknya.
Wajarlah jika para koruptor dalam pengaturan sistem Islam akan dikenai sanksi ta'zir, yakni jenis dan kadar hukumannya diserahkan pada keputusan qadhi (hakim) atau kepala negara (Khalifah). Hal tersebut bergantung dengan tingkat kejahatan yang dilakukannya. Adapun jenis hukumannya bisa dengan cara dimiskinkan (disita harta hasil korupsinya) untuk kemudian dimasukkan ke dalam Baitulmal kaum muslimin, dipenjara, bahkan hingga hukuman mati. Hal itu merupakan bentuk tindakan kuratif negara dalam rangka memberi efek jera (jawazir) bagi pelakunya dan masyarakat yang menyaksikannya, serta sebagai penebus dosa (jawabir) bagi pelakunya.
Adapun Islam juga memiliki sederet upaya preventif dalam rangka mencegah terciptanya budaya korup di tubuh pejabat negeri, di antaranya:
Pertama, menanamkan keimanan dan ketakwaan individu di dalam diri para pejabat. Dengan ketakwaan itulah mereka tidak akan tergiur untuk menilap harta yang bukan haknya atau memperoleh harta dengan jalan curang. Sebab ketakwaan itu akan menjadi rem dalam berbuat. Oleh karena itu, mereka akan amanah dan penuh kehati-hatian dalam melaksanakan tugasnya. Sebab ketakwaan yang telah tertanam di dalam diri, akan menjadikan seseorang takut melalukan kejahatan sekecil apa pun itu. Hal tersebut tercermin dalam diri seorang pemimpin di masa kehilafahan, yakni Umar bin Abdul Aziz. Saking khawatirnya menggunakan sesuatu yang bukan haknya, beliau mematikan lentera ketika menerima kedatangan anaknya ke rumahhya. Beliau juga menutup hidungnya saat membagikan minyak wangi kepada rakyat.
Adapun penanaman ketakwaan individu ini berkorelasi dengan penerapan sistem pendidikan Islam oleh negara. Dalam sistem pendidikan Islam, kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam dan tujuan pendidikan adalah mencetak generasi berkepribadian Islam yakni berpola pikir dan pola sikap Islam. Oleh karena itu, wajar jika output pendidikan yang lahir darinya adalah individu yang tak hanya unggul di bidang akademik, melainkan juga bertakwa. Inilah cikal bakal generasi terbaik yang akan mampu membangun negeri tanpa korupsi.
Kedua, melakukan penghitungan harta pejabat sebelum dan setelah menjabat secara rutin. Hal tersebut dalam rangka mencegah adanya pertambahan harta yang tidak wajar. Dekikianlah ketatnya Islam dalam menjaga para pejabatnya dari harta ghulul yakni harta yang didapat dengan cara curang. Maka, perolehan harta yang diambil di luar gajinya sebagai pejabat akan diusut tuntas, karena bisa jadi berasal dari suap atau hadiah yang diharamkan oleh Islam.
Dengan demikian, sangat jelas bahwa Islam memiliki aturan yang komprehensif dalam mengakhiri gurita korupsi di tubuh pejabat negeri. Wallahu'alam bis shawab.