Jumat, 22 November 2024

BBM Naik Tanpa Permisi, Sudah Pasti Dorong Inflasi

Pemerhati sosial kemasyarakatan, Euis Bella Bediana. (Istimewa / @TangerangNews.com)

Oleh: Euis Bella Bediana, Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

TANGERANGNEWS.com-Pemerintah resmi menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi mulai hari sabtu (3/9/22). Harga BBM jenis Pertalite dari sebelumnya Rp7.650 per liter naik menjadi Rp10.000 per liter. Lalu, harga solar naik dari Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter. Kemudian harga Pertamax naik dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter.

Presiden Jokowi mengaku, keputusan penyesuaian harga BBM bersubsidi adalah hal yang berat. Namun menurutnya apa daya, saat ini kondisi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dirasa sudah tidak lagi mampu menanggung hal tersebut.

"Pemerintah telah berupaya sekuat tenaga untuk melindungi rakyat dari gejolak harga minyak dunia. Saya sebetulnya ingin harga BBM di dalam negeri tetap terjangkau dari subsidi APBN," ungkap Jokowi dalam konferensi persnya di Istana Negara, Jakarta, Sabtu (3/9).

Sementara itu, Ekonom Indef, Nailul Huda menilai, kenaikan harga BBM akan mendorong kenaikan inflasi hingga 7 persen dari yang saat ini mencapai 4,69 persen pada Agustus 2022.

"Jika ada kenaikan BBM akan membuat inflasi akan semakin tinggi. Bisa mencapai lebih dari 7 persen, kenaikan harga BBM bisa mengerek banyak kenaikan harga. Semua harga barang akan naik karena biaya transportasi mengalami kenaikan." kata Huda (merdeka.com)

Kenaikkan BBM tentu saja memiliki dampak secara langsung terhadap harga pangan, harga kebutuhan pokok lainnya, hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Dampak tersebut sebenarnya sangat logis dan dapat diprediksi, karena BBM adalah sumber energi. Misalnya di sektor pangan, BBM digunakan untuk transportasi ketika mendistribusikan pangan dari satu daerah ke daerah yang lain. Jika BBM naik, biaya transportasi otomatis naik dan pastinya akan berdampak pada harga bahan pangan. Kemudian di sektor industri, kenaikan BBM bisa memicu terjadinya PHK besar-besaran, kenaikan BBM akan membuat biaya produksi membengkak sehingga beban biaya pabrik akan bertambah. Khususnya industri manufaktur, pertanian dan petrokimia.

Dilansir dari ekonomi.bisnis.com, Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan bahwa pengurangan jumlah tenaga kerja merupakan langkah yang sangat mungkin dilakukan di industri manufaktur demi efisiensi proses produksi. Sebab, pelaku industri di sektor tersebut tidak punya banyak pilihan.

Faisal menjelaskan terdapat dua faktor yang menekan kinerja manufaktur jika harga BBM naik. Pertama, permintaan domestik yang berpotensi turun seiring dengan melemahnya daya beli masyarakat. Terutama, permintaan terhadap kebutuhan dasar seperti produk-produk kesehatan, makanan dan minuman (mamin) dan termasuk produk tekstil.

Kedua, kenaikan harga BBM dinilai akan menambah beban industri manufaktur yang dipastikan berhadapan dengan persoalan naiknya ongkos produksi, baik karena penggunaan BBM untuk operasi mesin maupun transportasi dan logistik.

Karenanya pelaku industri di sektor tersebut tidak punya banyak pilihan, PHK adalah langkah yang sangat mungkin dilakukan oleh pabrik demi efisiensi proses produksi.

Efek domino lainnya, kenaikan BBM akan memicu terjadinya inflasi. Dilansir dari ekonomi.bisnis.com (2/9/22) BPS mencatat kenaikan BBM non-subsidi mulai April 2022 memberikan andil sekitar 19-20 persen terhadap inflasi secara umum.

Tentunya keputusan kenaikan BBM beberapa hari lalu berpotensi meningkatkan inflasi kedepannya. Jika daya beli masyarakat rendah karena harga pangan melonjak, kemudian PHK terjadi secara massal, pun ekonomi nasional terjadi stagflasi. Kondisi ini akan berdampak pada keadaan sosial, kemiskinan dan pengangguran akan meningkat.

Kenaikan BBM adalah bukti salah kelola sektor migas. Migas adalah Sumber Daya Alam (SDA) yang notabenenya adalah kekayaan milik rakyat, yang harusnya bisa dinikmati rakyat. Sayang, sistem kapitalisme yang sekarang digunakan untuk mengelola migas saat ini menjadikan SDA legal dikuasai swasta. Mereka mengendalikan pengelolaan migas dari hulu ke hilir. Akibatnya kapitalisasi dan liberalisasi migas tidak terelakkan.

Sementara, penguasa dalam sistem kapitalisme bukan sebagai periayah (pengurus), mereka hanya regulator pemulus keinginan para korporat. Penguasa mengklaim kenaikan BBM ini adalah upaya efisiensi subsidi yang salah sasaran, padahal jika mereka ingin mengelola SDA migas secara benar, blok-blok migas lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan negeri ini.

Selain itu, penguasa kapitalisme juga miskin empati, Untuk meredam gejolak akibat kenaikan BBM, penguasa membius rakyat dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT), padahal BLT sangat tidak sebanding dengan beban hidup yang harus dirasakan rakyat akibat kenaikan BBM. Inilah kezaliman pengelolaan BBM yang lahir dari sistem kapitalisme, kondisi ini sangat kontras dengan pengelolaan BBM dalam sistem islam.

Sistem islam menempatkan negara sebagai periayah (pengurus) kebutuhan rakyat. Sistem islam tidak akan memberi celah sedikitpun kepada para korporat untuk menguasai SDA, sebab islam telah menetapkan SDA yang jumlahnya sangat melimpahbadalah harta kepemilikan rakyat dan negara yang wajib mengelola dan mengembalikan hasilnya kepada rakyat. Rasulullah bersabda, Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Hadits tersebut menyatakan bahwa kaum Muslim (manusia) berserikat dalam air, padang rumput, dan api.  Dan bahwa ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu.

Maka, pengelolaan sektor migas yang menjadi bahan baku BBM, juga harus mengikuti hukum syariat tersebut. Migas adalah jenis harta kepemilikan umum yang tidak bisa secara langsung dimanfaatkan oleh rakyat, sebab agar hasilnya dapat dinikmati tentu saja dibutuhkan teknologi canggih, tenaga ahli yang terampil maupun biaya yang besar. Dalam hal ini syariat menetapkan bahwa negara yang berhak mengeksplorasi atau mengelola harta tersebut sebagai wakil rakyat.

Dalam sistem islam, negara akan mengembalikan SDA ini dalam dua mekanisme. Pertama secara langsung, yaitu sistem islam memberikan subsidi energi seperti BBM, listrik dan sejenisnya. Sehingga rakyat bisa memenuhi kebutuhan energi mereka dengan harga terjangkau. Karena negara hanya membebankan biaya ongkos produksi. Kedua secara tidak langsung, dalam sistem islam, negara boleh menjual migas kepada industri dengan harga wajar atau menjualnya ke luar negeri dengan mendapat keuntungan maksimal.

Hasil keuntungan ini akan masuk ke pos kepemilikan umum (Baitul mal). Dari dana pos ini sistem islam bisa memenuhi kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan secara mutlak. Alhasil semua warga bisa menikmati layanan tersebut secara gratis.

Konsep pengelolaan migas dalam sistem islam akan menghilangkan efek domino kenaikan BBM akibat sistem kapitalisme. Wallahu A'lam bishawab.

Tags BBM Melonjak BBM Subsidi Harga BBM Naik Opini