Senin, 25 November 2024

Organisme Solutif Penyerap Emisi Karbon dan Peningkatan Mutu Akuakultur Indonesia

Khusnul Qonita Maghfiroh, Mahasiswi Doktoral Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM).(@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Khusnul Qonita Maghfiroh, Mahasiswi Doktoral Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM)

 

TANGERANGNEWS.com-Indonesia berkomitmen untuk terus melakukan penurunan emisi dalam kontribusi pencapaian Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. strategi menuju NZE ini diharapkan dapat menekan emisi sektor energi menjadi tidak lebih dari 400 juta ton emisi pada tahun 2060. Salah satu strateginya adalah dengan penerapan Carbon Tax (Pajak Karbon) yang sesuai dengan isi Undang Undang Nomor 7 tahun 2021 terkait Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Menteri ESDM Arifin Tasrif, menyampaikan bahwa Pajak karbon mulai diterapkan pada PLTU berbahan bakar batubara mulai 1 April 2022, dengan skema cap and tax, dan tarif pajak karbon yang ditetapkan paling rendah Rp30,- per kg CO2. Pembuatan peta jalan dari pelaksanaan karbon tax ini telah disusun sejak 2021, sehingga di tahun 2022-2024 peraturan ini sudah dapat diimplementasikan disektor terbatas misalkan di PLTU kemudian ditahun berikutnya yakni 2025 sudah dapat diterapkan secara penuh disemua industri penghasil karbon dengan memperhatikan kesiapan, dampak, dan kondisi internal eksternal.

Merujuk pada total emisi sektor energi tahun 2020 mencapai 580 juta ton CO2. Pembangkit fosil mendominasi sebesar 279,3 juta ton CO2, kemudian transportasi sebesar 132,9 juta ton CO2, industri manufaktur sebesar 105,1 juta ton CO2, dari pengolahan batubara dan emisi fugitive 31,4 juta ton CO2, sektor kilang minyak sebesar 8,6 juta ton CO2, dan sektor komersial dan lainnya sebesar 29,4 juta ton CO2. Maka diperlukan upaya signifikan dari masing-masing sektor untuk mengurangi emisi CO2 di Indonesia. 

Pelaksanaan reboisasi dilingkungan dapat membantu dalam absorbsi CO2 yang dihasilkan oleh indsutri terkait, karena tanaman tingkat tinggi memiliki peran sebagai pengikat karbon saat fotosintesis. Namun keterbatasan jumlah lahan, waktu pertumbuhan yang cukup lama dan kapasitas absorbsi yang keci dari tanaman tingkat tinggi membuat hal ini kurang efektif dalam penerapannya.

Disamping itu terdapat organisme lokal Indonesia lainnya yang mampu menyerap CO2 sebagai bahan dasar pembentukan energi dalam proses fotosintesis, dengan mengabaikan faktor pembatas pada layaknya tanaman tingkat tinggi. Organisme berikut adalah jenis mikroalga yang mampu menyerap CO2 dengan kadar efisiensi hingga 70% pada jenis chlorella, dan hingga 98% pada jenis Euglena sp. yang telah dibuktikan dalam penelitian Handayani et al 2014. Sebuah potensi yang luar biasa untuk dapat mengaplikasikan penggunaan organisme factory mikroalga sebagai upaya penurunan jumlah produksi karbon di industri dan meringankan kebijakan carbon tax yang telah berjalan. 

Peran Euglena sp selain menyerap CO2 dalam siklus hidupnya ternyata juga mampu menghasilkan berbagai senyawa yang berpotensi menjadi sumber nutrisi industri akuakultur terutama produksi paramylon yang merupakan salah satu senyawa immunomodulator.

Paramilon mampu berinteraksi dengan sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan mekanisme spesifik dari respon inang (ikan atau udang). Berbicara tentang kekebalan tubuh hasil akuakultur, Indonesia juga mendapati tantangan besar untuk mendukung keberhasilan produksi ikan dan udang hasil budidaya diproyeksikan mencapai 8,69 juta ton pada tahun 2022. Sistem pengelolaan kesehatan ikan, udang dan lingkungan harus mampu mengatasi berbagai permasalahan budidaya perikanan, khususnya permasalahan serangan penyakit ikan dan udang yang cukup beragam baik disebabkan oleh patogen maupun tingkat stress dari objek budidaya.

Studi terkait dengan penanggulangan penyakit pada budidaya akuakultur berkonsentrasi pada pemberian antibiotik langsung terhadap objek budidaya. Pemberian antibiotik ini merupakan langkah instan untuk menyelamatkan hasil budidaya sehingga hasil panen yang diperoleh tetap bisa dipertahankan, namun adanya penggunaan senyawa antibiotik memiliki beberapa kelemahan diantaranya memicu efek resisten terhadap patogen dalam tubuh ikan/udang yang terpapar, mencemari lingkungan sekitar karena adanya bahan yang non degradable, serta meningkatnya jumlah organisme nontarget dilingkungan akibat resistensi yang ditimbulkan. Oleh karena itu dalam jangka panjang, penggunaan antibiotik ini justru akan menimbulkan permasalahan baru yang kompleks dan memerlukan penanggulangan yang lebih masif . 

Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi besar dalam budidaya perikanan, maka perlu meningkatkan kewaspadaan agar beragam penyakit yang dapat mengancam usaha perikanan budidaya tidak masuk dan menyebar di kawasan budidaya perikanan. Indonesia juga perlu melakukan evaluasi solusi untuk permasalahan penyakit perikanan di Indonesia tanpa menimbulkan permasalahan baru seperti halnya penggunaan antibiotik pada penjelasan diatas.

Penggunaan antibiotik pada dasarnya digunakan ketika sistem budidaya perairan sudah mengalami collapse akibat penyakit yang muncul pada perairan tersebut. Sehingga solusi yang lebih tepat dalam menjawab permasalahan diatas adalah upaya preventif dalam membasmi potensi penyebaran penyakit pada organisme akuakultur. Salah satu metodenya yakni dengan pemberian senyawa immunomodulator sebagai senyawa peningkat sistem kekebalan tubuh pada subjek akuaklutur. Berbagai penelitian pada organisme Euglena sp telah terbukti mampu menghasilkan senyawa paramylon hingga 90% dari berat tubuhnya pada penelitian Daglio et al. 2019 yang terbukti memiliki potensi immunomodulator serta peningkatan produktivitas dan survival rate dari organisme akuakultur.

Penelitian lainnya menyebutkan bahwa pakan aditif yang bermanfaat seperti paramilon telah dilaporkan mampu menjaga kesehatan usus ikan, memperbaiki pencernaan, dan meningkatkan imunitas ikan. Berbagai penelitian melaporkan bahwa adanya penambahan paramylon (b-glucan) meningkatkan jumlah sel pensekresi antibodi spesifik dan kadar Ig spesifik dalam serum, selain itu mampu meningkatkan kekebalan dan sebagai agen antitumor potensial bagi objek akuakultur.

Oleh karena itu optimasi dan eksplorasi terkait penggunaan Euglena sebagai organisme pengikat CO2 yang secara signifikan juga mampu menghasilkan senyawa immunomodulator (paramylon) telah berhasil menjawab dua permasalahan besar Indonesia yakni mampu membantu regulasi industri dalam pengurangan emisi karbon dan juga carbon tax serta mampu meningkatkan kekebalan tubuh pada sektor perikanan sehingga hasil produksi meningkat, yang kemudian akan meningkatkan GDP Indonesia dan angka kecukupan gizi Indonesia.

 

Uraian Singkat Penulis

Penulis merupakan mahasiswa doktoral di Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada yang merupakan mahasiswa penerima beasiswa Program Magister Doktoral untuk Sarjana Unggul (PMDSU), serta Ketua Umum Keluarga Pascasarjana fakultas Biologi UGM. Penulis aktif dalam Microalgae Research Group, dan Pusat Studi Energi UGM sejak 2021, serta aktif diberbagai penelitian scope mikroalga dengan berbagai skema hibah seperti Program Magister Doktoral untuk Sarjana Unggul (PMDSU), Penelitian Terapan Kompetitif Nasional (PTKN), serta Kedaireka oleh dikti.

 

Tags Opini