Jumat, 22 November 2024

Ada Apa dengan Kesehatan Mental Ibu Indonesia

Putri Halimah, M.Si, Alumni Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia. (@TangerangNews / Istimewa)

Oleh: Putri Halimah, M.Si, Alumni Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia

 

TANGERANGNEWS.com-Saat ini, isu kesehatan mental menjadi topik hangat yang sedang diperbincangkan khalayak. Baik melalui kanal youtube, podcast, instagram, dan media sosial lainnya rata-rata mengulas isu kesehatan mental.

Tidak hanya remaja yang rentan terkena mental illness, namun juga orang dewasa apalagi ibu hamil, ibu yang baru melahirkan, dan ibu yang mempunyai balita pun sangat rentan mengalaminya.

Di tengah kondisi hormon yang sedang berantakan, ditambah lagi sistem dukungan dari orang-orang sekitar yang dirasa kurang, semakin membuat seorang ibu merasakan sedih, menangis, putus asa, cemas, bahkan depresi dan ingin menyakiti dirinya atau bayinya.

Fenomena ini dikenal dengan istilah baby blues syndrome. Sebuah fenomena yang umum terjadi, bahkan menimpa hampir 70%-80% ibu di Indonesia (Annisa, dkk; 2022). Bahkan, Indonesia menempati urutan tiga tertinggi sebagai negara dengan angka baby blues tertinggi di Asia. (Republika Online, 28 Mei 2023)

Penyebab baby blues tidak hanya berasal dari  internal ibu, namun juga dari eksternal. Berdasarkan internal ibu, setidaknya yang paling mempengaruhi adalah mental untuk menjadi seorang ibu. Apakah setiap ibu mempunyai bekal mental yang baik dan siap untuk memiliki anak? Tentu tidak, bahkan ada yang terpaksa menjadi ibu akibat “kecelakaan”.

Pengetahuan dan cara pandang seseorang akan mempengaruhi cara berbuat atau bertingkah laku. Jika ia berpandangan bahwa hamil, melahirkan, menyusui, dan membesarkan anak adalah rutinitas alamiah selayaknya “mamalia”, maka dapat dipastikan ia akan mengalami stress ketika menemui kesulitan dalam menjalaninya. 

Kedua, pengaruh eksternal ini datang dari masyarakat dan sistem tempat ia hidup. Masyarakat yang ada saat ini adalah masyarakat yang individualis yang sangat rentan terkena penyakit egosentris, mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan keadaan orang lain. Tinggi hati dan minim empati.

Bagaimana perasaan ibu yang baru melahirkan misalnya dikomentari soal berat badan bayi yang kecil, kelahiran yang tidak pervaginam, atau berat badannya yang tak kunjung turun. Dukungan dari orang-orang terdekat, terutama suami juga turut andil mempengaruhi mental ibu.

Kemudian, sistem tempat ia hidup, perlu ditekankan makna hidup di sini adalah bukan hanya tinggal, namun juga tempat ia berjuang, melanjutkan keturunan, dan bahkan tempat ia dan anak cucunya bergantung dan meminta perlindungan. Sayangnya, di sistem ini ternyata juga tidak mendukung peran seorang ibu.

Bayangkan, ibu yang mengambil peran ganda, yang baru melahirkan dan mendapatkan cuti ala kadarnya, “dieksploitasi” untuk kembali bekerja dengan kondisi kesehatan yang belum pulih. Luka jahitan, ASI yang merembes, kesehatan yang belum pulih, ditambah lagi secara psikologis ada rasa kangen, tidak tega, merasa bersalah pada bayi yang haru ditinggalkannya.

Banyak sekali beban yang harus ditanggung seorang ibu, beban ekonomi, beban menyusui, beban mendidik, dan lainnya. Apalagi peran dan dukungan suami, sebagai seorang ayah nihil (fatherless).

Lalu, bagaimana agar kesehatan mental ibu terjaga? Faktor internal berperan penting menjaga ibu agar tetap “waras”. Pertama, sebelum menikah apalagi menjadi ibu harus mempersiapkan ilmu terlebih dahulu. Memperbanyak ilmu agama tentang pernikahan, dan pengasuhan. Juga ilmu praktis yang terkait. Sehingga, seorang ibu bertindak dalam kesadaran hubungannya dengan Allah (idrak silla billah).

Ia menahan susahnya mengandung karena keimanan, ia menahan sakitnya melahirkan karena ibadah, ia menahan lelahnya mengasuh dan menyusui anak sebab ketaatan. Ia dengan ikhlas menjadi ibu sebab menyadari akan ada ganjaran pahala dan balasan cinta dari anak-anaknya yang shalih.

Kemudian, dari faktor eksternal berupa masyarakat yang empati dan sistem yang memuliakan ibu. Masyarakat Islami bukan hanya sekumpulan individu saja, melainkan juga sekumpulan perasaan, pemikiran, dan peraturan Islam.

Artinya, masyarakat yang ada dalam pandangan Islam adalah yang memiliki rasa empati, saling tolong menolong, dan mendukung seorang perempuan menjalankan perannya sebagai seorang ibu.

Begitupun dengan sistem kehidupan yang berjalan seharusnya menjadi garda terdepan dalam mencetak ibu para generasi terbaik dan masyarakat pemimpin peradaban yang agung. Sistem kehidupan ini menempatkan seorang ibu dalam posisi strategisnya sebagai ummu wa robbatul bait, seorang ibu dan pengurus rumah tangganya.

Dengan sistem pendidikannya yang gratis, negara akan memfasilitasi para pelajar perempuan dengan ilmu-ilmu praktis terkait kerumahtanggaan sehingga ketika menikah ia memiliki pemahaman dan pengetahuan yang baik tentang mendidik, dan mengurus keluarganya.

Dalam sistem ekonominya pun, tidak menjadikan perempuan berkewajiban bekerja dan menanggung nafkah keluarga. Sebab, hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah. Jika memang ia dituntut bekerja, maka dalam rangka untuk menyebarkan ilmunya dan berkontribusi bagi kebaikan umat.

Sehingga, tidak akan menyita jam-jam yang dianggap rawan bagi seorang ibu untuk keluar rumah sebagaimana yang terjadi di sistem ekonomi hari ini, perempuan dan para ibu rela bekerja dari pagi hingga petang, atau bahkan lembur sampai malam.

Selain itu, sistem kesehatan yang diberikan oleh Islam dengan kualitas terbaik dan dapat diakses dengan mudah, tentunya dapat memberikan pelayanan kesehatan secara gratis bagi semua rakyat, khususnya ibu hamil dan ibu yang baru melahirkan untuk dipantau kesehatan fisik dan mentalnya.

Bahkan pernah tercatat dalam sejarah, sebuah kebijakan pada masa Umar bin Khathab untuk memberikan santunan dari Baitul Mal kepada ibu dan bayi yang baru dilahirkan.

Peradaban Islam telah menorehkan sejarah bagaimana melahirkan sosok ibu generasi yang hebat, tangguh, dan mencetak generasi yang menjadi ulama, cendikia, bahkan para pemimpin. Sebagai contoh, Ummu Ashim yang sukses mendidik putranya, Umar bin Abdul Aziz, sehingga mendapat julukan Khulafaurasyidin yang kelima.

Lalu, seorang ibu yang mustajab doanya kepada putranya yang mengalami kebutaan. Ia tak henti-hentinya menangis dalam doa meminta kesembuhan putranya. Allah mengabulkan dan menjadikan putranya seorang ulama dan ahli hadist yang tak lekang oleh zaman, Imam Bukhari. 

Kesehatan mental adalah masalah kompleks yang butuh penanganan menyeluruh. Masalah ini akan terselesaikan jika individu, masyarakat, dan negara bekerja sama dan saling peduli.

Harapannya, kelak masalah ini segera terselesaikan, sehingga ibu yang sehat secara fisik, dan kuat secara mental kelak akan mendidik generasi bangsa yang juga sehat, kuat, tangguh, dan  dapat melanjutkan estafet kepemimpinan yang cemerlang.

Tags Kesehatan di Banten Kesehatan Mental Kesehatan Tangerang Opini Tips Kesehatan