Sabtu, 30 November 2024

Jebakan Utang China dan Upaya Neo-kolonialisme

Putri Halimah, M.Si, Pengamat Ekonomi dan Perkotaan.(@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Putri Halimah, M.Si, Pengamat Ekonomi dan Perkotaan

 

TANGERANGNEWS.com-Pada tanggal 18 Oktober 2023 lalu, Presiden China Xi Jinping mengumumkan akan melakukan penyuntikkan dana senilai Rp 1.576,99 triliun ke proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang merupakan salah satu program One Belt One Road (OBOR).

Dana tersebut nantinya akan disalurkan melalui China Development Bank dan Bank Ekspor Impor untuk mendukung proyek pembangunan jembatan, pelabuhan, jalan raya dan tol, pembangkit listrik, dan proyek telekomunikasi di Asia, Amerika Latin, Afrika, dan bagian Eropa.

BRI adalah mimpi besar China untuk menjadi negara adidaya menandingi Amerika. Proyek tersebut dilakukan untuk semakin mempermudah konektivitas perdagangan antarnegara di Asia dan Eropa melalui jalur sutra maritim. Indonesia adalah salah satu negara yang paling mudah masuk dalam jerat utang demi memuaskan hasrat pembangunan infrastruktur. 

Pada semester pertama di tahun 2023, investasi China alias utang Indonesia kepada China sudah menembus US$ 3,8 miliar. Salah satu proyeknya adalah pembangunan smelter di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah.  Namun, benarkah itu semua demi kepentingan rakyat? Benarkah itu semua meningkatkan kesejahteraan rakyat?

 

Jebakan Utang dan Neo-kolonialisme

Debt trap (jebakan utang) yang sengaja ditawarkan China (Kapitalisme Timur) melalui proyek BRI merupakan alat penjajahan kapitalisme ke negara-negara berkembang. Selain itu, China sedang membangun branding sebagai negara adidaya timur melawan kekuatan Kapitalisme Barat (Eropa dan Amerika).

Siapa yang diuntungkan? Tidak lain hanya para kapitalis. Narasi yang mengatakan bahwa Indonesia diuntungkan dengan adanya BRI hanyalah omong kosong. Faktanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak lebih dari 5%. Proyek pembangunan pun harus menggunakan tenaga kerja asal China. Bahkan terjadi PHK besar-besaran di tengah proyek investasi tersebut. Indonesia pun semakin banjir produk impor dan tenaga kerja asing.

Secara perdagangan, Indonesia akan menjadi sasaran empuk bagi China. Proyek BRI ini turut menaruh perhatian kepada pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dan juga ekonomi digital dan telekomunikasi. Bukan tidak mungkin, hal ini justru semakin membuka peluang tentakel kolonialisme ala China menghisap sumber daya dan data warga Indonesia. Semakin jauh mimpi Indonesia menjadi negara mandiri.

Jebakan utang tentunya semakin merugikan negara berkembang. Melalui proyek global pembangunan berkelanjutan, pengembangan perkotaan, dan fasilitas kota yang canggih berhasil menghipnotis negara-negara berkembang hingga mengalami Chicago Syndrome. Sebuah paradoks dari kemajuan perkotaan yang hanya mementingkan visualisasi, namun nyatanya secara moralitas, dan entitas terkecil berupa individu dan keluarga mengalami “sakit” yang luar biasa.

Masalah lainnya dari jebakan utang China, yaitu tidak adanya transparansi dalam pelaporan utang. Meski bunga utangnya kecil, namun tempo pembayarannya lebih singkat. Singkat kata, China pun siap menerima pembayaran berupa sumber daya negara apabila terindikasi gagal bayar. Apakah Indonesia sudah siap menelan pil pahit jika sewaktu-waktu tak mampu membayar / melunasi utang tersebut? 

Sebagaimana Negara Sri Lanka yang akhirnya menyerahkan Pelabuhan Hambantota kepada China pada 2017 lalu, kemudian Venezuela dalam hal pengiriman minyak yang diambil alih oleh China. Begitu juga yang dialami Zimbabwe yang mengalami gagal bayar utang China sebesar US$ 40 juta sehingga negara tersebut diminta China untuk mengubah mata uangnya menjadi Yuan.

Tentunya, jika tidak ingin menelan pil pahit tersebut, Indonesia tidak perlu merasa sakit hingga harus berobat dengan invasi jebakan utang. Hanya karena ingin menuruti gengsi pembangunan perkotaan di mata global, penguasa tidak boleh menjadikan rakyat dan kekayaan alam sebagai tumbal atas pembayaran utang. Lantas, bagaimana menghindari penjajahan modern, neokolonialisme, yang menjadi jantung kapitalisme yaitu berupa utang beserta bunganya?

 

Pembangunan Infrastruktur dalam Islam

Pada dasarnya, kesempurnaan hukum berasal dari firman-firman Allah swt yang termaktub di dalam Al-Quran, dan sabda-sabda Rasulullah saw. dalam banyak hadist. Hanya saja, egoisme dan materialisme berhasil membuat akal pikiran para penguasa dan masyarakat menjadi buntu. Mereka lebih merasa realistis ketika mengambil solusi-solusi pragmatis yang pada dasarnya dituntun oleh nafsu belaka.

Kritik terhadap kebijakan pemerintah telah banyak ada, namun bagaimana jika menggunakan kepemimpinan berpikir Islam dalam mengatasi persoalan jebakan utang ini. Memang benar, sejatinya kita tinggal di abad sekulerisme kapitalistik. Agama adalah urusan individual, haram hukumnya melibatkan agama dalam urusan politik, ekonomi, dan bernegara. Padahal, solusi ideal telah ada di depan mata. Persoalannya, mau atau tidak, siap atau tidak untuk mengadopsinya.

Islam memandang pembangunan infrastruktur yang sifatnya mendesak dan menjadi hajat umat perlu segera terealisasi. Misalnya, jembatan yang menghubungkan antarwilayah, jalan, rumah sakit, sekolah, perairan, telekomunikasi, dan lainnya. Infrastruktur yang terkategori milik umum maka pembiayaannya berasal dari harta milik umum, dan negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaannya, sehingga tidak ada pendapatan dari fasilitas tersebut.

Namun, bisa juga pembangunan infrastruktur tersebut berasal dari harta milik negara (Baitul Mal) yang bersumber dari kharaj, fai, ghanimah, rikaz, jizyah, al usyur, dan lainnya. Dalam hal ini, boleh saja bagi negara untuk menentukan tarif yang kemudian akan dimasukan ke pos pendapatan kembali. Selain itu, tidak menutup kemungkinan akan ada individu yang turut berinfaq dan bersedekah bagi keberlangsungan pembangunan infrastruktur.

Maka, penguasa sudah semestinya memahami hakikat kepemimpinannya atas masyarakat yaitu ri’ayah syuunil ummah (melayani urusan umat). Penguasa adalah pelayan, bukan menjadikan kekuasaannya sebagai kesempatan untuk memperbanyak bekal duniawi. Kemudian, lalai terhadap hari pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Sudah waktunya pula bagi masyarakat untuk melek politik Islam. Mengetahui kebijakan-kebijakan yang akan menyengsarakan masyarakat, bahkan menjerumus kepada hilangnya mentalitas negarawan para penguasa sehingga mudah didikte oleh negara-negara kapitalis. Indonesia harus merdeka, bebas dari neokolonialisasi baik di bidang perdagangan, ekonomi, dan politik.

Tags