Jumat, 22 November 2024

Mengakhiri Hegemoni Negara Penjajah untuk Solusi Palestina dan Dunia Islam

Nurzaman vG , Pemerhati Masalah Palestina.(@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Nurzaman vG , Pemerhati Masalah Palestina

 

TANGERANGNEWS.com-Tidak dimungkiri apa yang terjadi di Palestina hari ini menyita perhatian masyarakat dunia khususnya kaum muslimin. Apa yang dilakukan entitas Yahudi Zionis terhadap penduduk Palestina, menuai banyak kecaman dan kutukan tak terkecuali dari penguasanya.

Sebaliknya, gelombang simpati pada penduduk Palestina hingga menyemangati faksi perjuangan menjadi  suatu keharusan sebagai bentuk pembelaan dan rasa persaudaraan sesama muslim. 

Namun, di saat yang bersamaan virus nasionalisme tanpa disadari semakin merasuk ke tubuh kaum muslimin. Nasionalisme yang tercermin dalam pemerintahan negara bangsa, termasuk membelah Palestina menjadi negara bangsa adalah akibat dari serangan virus ini. 

Padahal Palestina, bahkan tanah yang saat ini berdiri negara entitas Yahudi adalah tanah milik kaum muslimin, yang haram penjajah Yahudi menguasainya; apalagi membantai penduduknya seperti yang terjadi saat ini.

Akibat menganggap Palestina adalah sebuah negara bangsa, kaum muslimin akan terbelenggu dengan sikap seperti ini.

Pertama, memandang urusan Palestina sebagai urusan negara dan bangsanya, pengaplikasian sudut pandang ini, terlihat dari ungkapan, bahwa entitas Yahudi banyak mencaplok wilayah yang seharusnya wilayah tersebut wilayah Palestina yang batas-batas teritorialnya sudah disepakati internasional.

Parameter inilah yang menjadikan dan menyepakati entitas Yahudi Zionis merupakan penjajah yang telah mengambil wilayah Palestina. Hal yang paling jitu, untuk menyelesaikan persoalan entitas Yahudi dan Palestina menurut persepsi ini adalah solusi dua negara.

Kedua, bagi muslim yang memiliki kepekaan yang tinggi, melihat persoalan kebiadaban entitas Yahudi sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan. Adapun upaya pembelaannya hanya didasari kemanusiaan.

Modal peka dan rasa kemanusiaan rasanya tidaklah cukup terkhusus untuk persoalan Palestina. Tanpa pernah mau mendalami dan mau meletakkan akar permasalahan serta berpikir bagaimana cara menghentikan kebiadaban berulang dari entitas Zionis Yahudi. Jika hanya itu, hal ini bisa saja dilakukan oleh orang-orang non muslim bahkan negara kafir sekalipun.

Ketiga, menyerahkan urusan ini kepada sebuah lembaga internasional semisal PBB, yang dianggap sebagai lembaga yang memiliki kewenangan perdamaian internasional. Tapi apa faktanya? Berapa ratus resolusi PBB keluar untuk entitas Yahudi Zionis, tak ada satupun yang digubris sejak keluarnya.

Contoh lain, invasi Amerika Serikat ke Irak dan Afghanistan tahun 2000 an lalu, tak ada satupun negara bangsa yang tergabung dalam PBB yang mampu menghentikan langkah Amerika Serikat untuk membumihanguskan Irak dan Afghanistan, dengan dalih menghentikan senjata pemusnah massal dan memerangi terorisme, yang sampai hari ini tidak bisa dibuktikan Pentagon.

PBB hadir dalam rangka mengkanal sikap politik negara-negara bangsa, selain negara adidaya, agar selalu tetap dibawah kontrol mereka. Pasca perang dunia II, AS lah yang paling mampu untuk menjadikan politik internasional berada dipihak dan kendalinya. 

Keempat, berharap pada penguasa Arab dan pemimpin negeri Islam agar mereka bersepakat dan bersatu untuk sama-sama menghentikan agresi militer entitas Zionis. Tapi kenyataannya tidaklah demikian, untuk sekedar membuka pintu Rafah Mesir, Presiden Al Sisi  enggan melakukannya. Untuk sekedar embargo minyak saja, Raja Salman dan Putra Mahkota menolak. 

Apa yang dilakukan penguasa muslim terhadap persoalan Palestina saat ini, sudah cukup mengajarkan kita tentang bahaya dan jahatnya negara bangsa. Negara bangsa adalah hasil rekayasa penjajah barat, dan negara bangsa lahir di saat Daulah Utsmaniyah mulai melemah hingga keruntuhannya.

Dengan kata lain, negara bangsa merupakan harta rampasan pemenang perang Dunia I dari sempoyongan dan kekalahan Daulah Utsmaniyah.

Selain itu, melekatnya persepsi tentang  perlawanan Hamas dan faksi-faksi perjuangan Palestina adalah bentuk perjuangan kemerdekaan tanahnya yang dirampas, istilah ini juga masih belum sepenuhnya tepat. Jika demikian, Hamas dan faksi-faksi perjuangan sedang berperang untuk memerdekakan bangsanya dari keterjajahan.

Padahal, apa yang dilakukan Brigade Al Qassam dan faksi-faksi perjuangan di Palestina melebihi dari itu, mereka ingin mengakhiri kebiadaban entitas Yahudi terhadap kaum muslimin yang ada di Palestina dan membebaskan Masjid Al Aqsa dari kekejian Yahudi.

Sedangkan Al Aqsa adalah kiblat pertama umat Islam, Masjid kedua setelah Masjid Al Haram, tempat suci ketiga yang diziarahi, yang wajib dijaga kesuciannya. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, entitas Zionis Yahudi, menumpahkan darah penduduk Palestina karena mereka Muslim.

Oleh karena itu, siapapun dan kelompok manapun yang hendak membebaskan dan menolong kaum muslimin, mereka sangat layak disebut sebagai kelompok Mujahidin. Artinya, berperangnya mereka demi terwujudnya izzul Islam wal muslimin dan mereka layak ditolong oleh Allah Swt..

Di tengah pertempuran Mujahidin di Palestina ada ungkapan dengan mengatakan, “ Selamanya milisi atau sebuah kelompok tidak akan pernah menang lawan sebuah negara. Oleh karenanya, butuh kekuatan negara untuk menghentikan kebiadaban entitas Zionis".

Pendapat itu tak sepenuhnya tepat, terlebih dalam kondisi seperti saat ini, disaat Brigade Al Qassam dan faksi-faksi perjuangan hanya dibantu  para milisi untuk bertempur dengan Zionis.

"Mengapa tidak tambahkan dengan kalimat, "Brigade Al Qassam dan faksi perjuangan Palestina serta milisi-milisi yang ada di Yaman dan Libanon tidak akan pernah menang lawan entitas Zionis Yahudi?"

Secara tidak sengaja, persepsi ini terjebak pada penciptaan opini, tentang kuatnya entitas Zionis Yahudi dan mengecilkan peran perjuangan Mujahidin yang terbentuk  hanya dari sebuah milisi.

Seharusnya, ungkapan yang sesuai realitas adalah "Dihadapi milisi saja, entitas Yahudi Zionis sudah nampak kekalahannya, apalagi kalau dihadapi sebuah negara.

Yang harus dipahami, Yahudi hanya sebuah entitas terusir, kemudian diberikan tanah di bumi Syam oleh Inggris, hingga mendapat dukungan dari AS untuk membentuk negara Israel seperti saat ini.

Persepsi tentang kekuatan entitas Yahudi semestinya didasarkan pada ajaran Islam, bahwa kekuatan mereka bak sarang laba-laba,  yang menghadapi serangan mereka di pertempuran Gaza tidak harus negara kuat seperti Khilafah yang sebentar lagi akan tegak atas izin Allah Swt..

Adalah benar butuh kekuatan negara kuat sekuat Khilafah untuk melawan kebiadaban dan kekejian yang bukan hanya sekedar menghentikan penyerangan, melainkan mengusir totalitas entitas Yahudi di bumi Syam.

Eksisnya entitas Yahudi di Bumi Syam karena didukung kekuatan global negara adidaya Amerika Serikat  Inggris, dan Francis. Kebiadaban dan perlakuan keji terhadap kaum muslim, bukan hanya di Palestina oleh Zionis Yahudi, melainkan juga kebiadaban hegemoni global AS dan sekutunya selama ini.

Pembantaian dan ketidakadilan terhadap kaum muslimin, bukan hanya terjadi di Palestina, melainkan juga di China, Rusia, Rohingya, Irak, India. Dan inilah urgensi negara global yang siap menandingi dan melawan hegemoni global negara adidaya. 

Kekuatan negara global harus dilawan dengan kekuatan negara global pula. Untuk entitas Zionis Yahudi, yang saat ini menyerang Gaza Palestina, jika melihat kenyataan yang ada, sayap militer Hamas dan faksi perjuangan yang ada di Palestina, diprediksi akan memenangkan peperangan.

Menelisik sejarah, terbentuknya Daulah Madinah, berkat dukungan dari dua kelompok terkemuka penduduk Yastrib, yakni Aus dan Khajraj. Dua kelompok ini, sebelumnya dikenal pandai berperang, bahkan dua kelompok ini, sebelumnya sering berperang sesama mereka.

Pasca membaiat Rasulullah, dua kelompok ini kompak dan bersatu, siap membela dan melindungi Baginda Nabi. Bahkan berperang atas perintah Rasulullah yang dari wahyu.

Begitupun cikal bakal berdirinya Daulah Ustmaniyah, berawal dari kekuatan milisi 400 pasukan berkuda yang dipimpin oleh Ertugrul ayah dari Osman yang merupakan sosok pemimpin pertama Khilafah Utsmaniyah.

Osman bin Ertugrul sebelum meraih kepemimpinan umat, berawal dari memimpin milisi yang aktif menyebarkan Islam dan selalu menang dalam pertempuran melawan entitas-entitas pengacau dan pasukan Byzantium Romawi. Hal ini terjadi pada masa Khilafah Abbasiyah dalam ambang keruntuhannya.

Sebelumnya, hal yang sama juga bisa didapati saat pasukan Syaifudin Qutuz yang berhasil memukul mundur pasukan Tartar dan mengenyahkanya di negeri kaum muslimin dalam perang Ain Jalut. Pasukan Syaifudin Qutuz hanya entitas pasukan tersisa dari kekuatan kaum muslimin kala itu.

Dengan demikian, kaum muslimin yang menginginkan tuntas persoalan Palestina dan kebangkitan dunia Islam, harus mampu memecahkan belenggu-belenggu yang telah nyata membuat lemah kaum muslimin.

Dan semestinya kita berharap dua potensi kekuatan kaum muslimin yang selama ini terkotak Sunni-Syiah dapat bersatu dalam perang melawan kekuatan global negara-negara kafir, menjadi satu kekuatan membentuk institusi politik global dengan memberikan kekuasaan pada kelompok yang memahami seluk- beluk konsep Khilafah yang merupakan negara global, yang sumber hukumnya berdasarkan syariat Islam dan menyebarkannya ke penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.

Efouria kebersatuan kaum muslimin sudah mulai terbentuk dengan adanya peristiwa agresi Zionis ke Gaza Palestina, dan hal ini semestinya diiringi dengan kesadaran betapa kebersatuan kaum muslimin dalam sebuah institusi politik Khilafah menjadi kebutuhan yang sangat penting.

Seraya berharap bahwa dibelahan dunia dan negara lain ada penguasa muslim yang terbuka hatinya untuk memberikan kekuasaan kepada seseorang dan membaiatnya sebagai seorang Khalifah. Orang yang dibaiat  tersebut harus lah lahir dari kelompok yang sangat memahami detil konsep Khilafah. 

Tags Artikel Opini Bela Palestina Hamas Palestina Israel Konflik Palestina-Israel Opini