Sabtu, 30 November 2024

Cara Islam Mengatur Kepemilikan Lahan

Ayu Mela Yulianti SPt, pemerhati generasi dan kebijakan publik.(@TangerangNews / Ayu Mela Yulianti)

Oleh : Ayu Mela Yulianti, SPt., Pegiat Literasi dan Pemerhati Kebijakan Publik

 

TANGERANGNEWS.com-Islam memiliki seperangkat aturan dalam mengatur kepemilikan lahan. Sehingga tidak akan terjadi kasus penyerobotan lahan yang berdampak pada kesengsaraaan dan penderitaan hidup. 

Aturan Islam mengenai kepemilikan lahan tersebut antara lain adalah lahan atau tanah bisa menjadi milik seseorang apabila telah mengantongi ijin syar'i untuk memilikinya,  antara lain dengan cara : 

 

1. Memagari lahan /tanah yang bukan tanah milik orang lain 

Rasulullah saw bersabda : 

مَنْ أَحَاطَ حَائِطاً عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَه

Siapa saja yang memagari sebidang tanah dengan pagar, tanah tersebut adalah miliknya  (HR Abu Dawud).

 

2. Menghidupkan tanah mati.

Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya, dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Menghidupkan tanah mati adalah menjadikan tanah tersebut sebagai lahan bercocok tanam, menanami tanah itu dengan pepohonan, atau mendirikan bangunan di atasnya.

Dengan kata lain, menghidupkan tanah mati adalah menggunakan tanah pada penggunaan apapun yang bisa menghidupkan tanah tersebut.  Upaya seseorang menghidupkan tanah mati menjadikan tanah tersebut menjadi miliknya.

Rasulullah saw bersabda :

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهْيَ لَه

Artinya : "Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, tanah itu adalah miliknya. " (HR al-Bukhari).

Maka jika seseorang telah memagari sebuah lahan atau tanah yang bukan milik orang lain, kemudian mengelolanya dan menghidupkan tanah mati yang bukan tanah milik orang lain, maka orang tersebut berhak atas lahan/tanah tersebut,  orang tersebut sah menjadi pemilik lahan tersebut,  sebab telah memenuhi syarat yg telah ditetapkan syariat. 

Namun jika tanah atau lahan yang telah dipagari tidak dikelola selama lebih dari tiga tahun,  maka hilanglah hak kepemilikan atas tanah atau lahan tersebut,  dan orang lain boleh mengambilnya dengan cara mengolah atau menghidupkannya.

Abu Ubaid di dalam Kitab Al-Amwal menuturkan sebuah riwayat dari Thawus, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

فَمَنْ أَحْيَا أَرْضاً مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ، وَلَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌ بَعْدَ ثَلاَثِ سِنِيْنَ

Artinya : "Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, tanah itu menjadi miliknya.  Tidak ada hak bagi orang yang memagari (tanah) setelah tiga tahun (HR Abu Ubaid di dalam Al-Amwal).

Adapun kepemilikan lahan  atau tanah oleh seorang individu, tidak bisa dilakukan atas lahan yang mengandung hal-hal yang terkait dengan hajat hidup orang banyak, misalkan lahan yang mengandung mata air  yang melimpah, sumber api berupa barang tambang dan energi yang banyak dan tak terputus, dan padang rumput yang luas,  yang jika dikuasai oleh seseorang akan membuat sengsara orang lain, sebab terhalangnya orang lain untuk mengambil manfaat didalamnya dan menyebabkan kesulitan dan kesengsaraan hidup masyarakat secara umum.

Maka lahan tersebut masuk dalam kategori sebagai lahan kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai oleh satu individu, juga tidak boleh dikuasai oleh negara,  namun adalah milik umum atau milik masyarakat yang harus  dimanfaatkan bersama dengan hak pengelolaan diserahkan kepada negara untuk kemaslahatan umat. 

Rasulullah saw bersabda :

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ فِى الْكَلإ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ

Artinya : " Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api . " (HR Abu Dawud).

Lain hal nya,  jika lahan berupa pantai,  jalan-jalan,  hutan,  adalah lahan milik negara yang tidak boleh dikuasai oleh individu dan korporasi apalagi asing. 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Sha’bi bin Jutsamah yang  berkata:

لاَ حِمَى إَلاَّ لله وَلِرَسُوْلِهِ

Tidak ada hima (proteksi) kecuali (hal itu) merupakan hak Allah dan Rasul-Nya (HR al-Bukhari).

Nabi saw meng-hima wilayah tertentu untuk kepentingan dan kemashlahatan tertentu.   Dari Nafi’, dari Ibnu Umar ra. diriwayatkan bahwa ia berkata:

أَنَّ النَّبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ حَمَى النَّقِيْعَ لِلْخَيْلِ، خَيْلِ الْمُسْلِمِيْنَ

Artinya : "Rasulullah saw. pernah meng-hima daerah Naqi‘ (suatu tempat berair yang terletak 20 farsakh dari Kota Madinah),  untuk unta-unta kaum Muslim.". 

Demikianlah Islam mengatur kepemilikan lahan. Sehingga tidak akan terjadi sengketa didalamnya, tidak akan terjadi kasus penyerobotan tanah hingga masalah relokasi warga,  sebab beratnya hukuman bagi penyerobot tanah milik orang lain 

Rasulullah saw bersabda : 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ شِبْرًا مِنْ الْأَرْضِ بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا طَوَّقَهُ اللَّهُ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ 

Artinya, “Tidaklah salah seorang dari kamu mengambil sejengkal tanah tanpa hak, melainkan Allah akan menghimpitnya dengan tujuh lapis bumi pada hari kiamat kelak,” (HR Muslim).

Hal demikian akan mudah dilakukan dalam sistem Islam.  Sebab landasan pengurusannya adalah menjalankan hukum syara,  bukan manfaat atau untung-rugi kaum kapitalis,  sehingga tidak ada satupun manusia yang akan terdzolimi.

Sehingga, dengan seperangkat aturan yang sempurna tentang tata cara kepemilikan lahan atau tanah,  maka manusia akan semangat mengelola tanahnya dan akan sangat berhati-hati dari menyerobot tanah milik orang lain.

Wallahualam.

Tags