Senin, 25 November 2024

ODGJ ikut Pemilu, Sah oleh KPU

Euis Bella Bediana, Pemerhati Sosial Kemasyarakatan. (@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Euis Bella Bediana, Pemerhati Sosial Kemasyarakatan.

 

TANGERANGNEWS.com-Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tinggal menghitung hari, masa kampanye pemilu pun telah terselenggara sejak 28 November 2023. Kampanye pemilu adalah kegiatan kontestan pemilu atau pihak lain yang dirujuk oleh kontestan pemilu untuk meyakinkan pemilih.

Biasanya kegiatan ini dilaksanakan dengan beragam cara, yakni menawarkan visi, misi, program, atau citra diri kontestan pemilu. Hal ini berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 (detik.com).

Seperti yang sudah-sudah, biasanya masa kampanye pemilu adalah waktunya para peserta pemilu mengumbar aneka janji, seperti penurunan harga bahan pokok, subsidi, lapangan pekerjaan, infrastruktur, kesejahteraan rakyat, bantuan sosial dan lain-lain. Tidak lupa juga mempromosikan visi, misi dan program kerjanya jika terpilih. 

Pada masa kampanye rentan terjadi konflik dan perselisihan antara pendukung satu peserta dengan pendukung peserta pemilu yang lain, karena kerap kali kampanye pemilu berisi hantaman bahkan bisa terjadi kampanye hitam, yaitu fitnah terhadap peserta pemilu yang lain.

Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa ini semua adalah untuk mendapatkan dukungan dan suara dari masyarakat.

Begitu berharganya suara masyarakat saat pemilu hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari beberapa daerah menyatakan memberikan kesempatan kepada Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) sebagai pemilih atau memiliki hak suara pada Pemilu 2024. 

Menurut Anggota Divisi Data dan Informasi KPU DKI Jakarta, Fahmi Zikrillah menuturkan ODGJ tetap diberikan kesempatan sebagai pemilih agar hak suaranya dapat diperhitungkan dalam Pemilu 2024.

KPU memastikan ODGJ juga memiliki hak yang sama sebagaimana pemilih lainnya dalam hari pemungutan suara Pemilu 2024 yang digelar pada tanggal 14 Februari 2024. (Antaranews.com)

Berdasarkan data dari KPU DKI Jakarta, tercatat pemilih untuk Pemilu 2024 berjumlah 8.252.897 pemilih. Dari total keseluruhan pemilih, 61.747 di antaranya merupakan penyandang disabilitas termasuk 22.871 disabilitas mental atau ODGJ.

Sama halnya dengan DKI Jakarta, sekitar 44 ribu orang yang mengalami disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Jawa Tengah juga terdaftar dalam pemilih pada Pemilu 2024. (Detik.com)

Dalam sistem demokrasi, pemilih menjadi raja dan ratu sebab suara mereka menentukan nasib para peserta pemilu. Karena pemenang pemilu adalah peserta yang mendapatkan suara terbanyak saat pemilihan umum.

Padahal, awalnya pemilu di negeri ini tidak memasukkan ODGJ sebagai pemilih berdasarkan UU pemilu. Dalam UU tersebut ada 6 syarat yang menjadi kriteria pemilih, salah satunya adalah tidak sedang terganggu jiwanya dan ingatannya.

Kemudian menjelang pemilu 2014 lalu, syarat tidak sedang terganggu jiwa dan ingatannya menimbulkan banyak polemik dan menjadi perbincangan politik.

Hingga pada pemilu 2019, Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan syarat tidak sedang terganggu jiwa dan ingatannya bertentangan dengan konstitusi sepanjang frasa terganggu jiwanya atau ingatannya tidak dimaknai sebagai gangguan jiwa atau ingatan permanen menurut profesional kesehatan.

Seperti yang disampaikan oleh Ketua KPU Hasyim Asya'ri, merujuk dengan adanya perubahan perundang-undangan terkait Pemilu 2024. Dalam perubahan ini, tidak ada lagi kategorisasi yang diperbolehkan atau tidak untuk menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara.

"Kalau dulu kan ada ketentuan bahwa ada orang yang sedang terganggu jiwanya kan tidak diberikan hak pilih, tapi di undang-undang sudah direvisi bahwa tidak ada kategorisasi seperti itu lagi," Tutur Ketua KPU Hasyim Asya'ri (sindonews.com)

Perubahan peraturan terkait hak pilih pada sistem demokrasi, aslinya menunjukkan bahwa perubahan peraturan dalam sistem demokrasi adalah sesuatu yang dianggap wajar, bahkan peraturan terkait pemilih kalangan ODGJ ini diduga kuat akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk meraup suara.

Dikutip dari m.nu.or.id, Ahmad Faiz alumni Universitas Airlangga, Nanyang Tech University Singapura, dan Warwick Business School, Inggris mengatakan "perlu diantisipasi dampaknya kalau sampai ODGJ dimanfaatkan, misalnya nggak sadar diarahkan untuk memilih calon tertentu. Kalau seperti itu kan orang biasa saja bisa diarahkan, apalagi ODGJ. Ini yang jangan sampai terjadi" ujarnya.

Ketetapan ODGJ boleh mengambil hak pilihnya membuktikan bahwa negeri ini memiliki standar ganda dalam kebijakan-kebijakannya, sebab negara memberi perlakuan berbeda terhadap ODGJ dalam perkara lain.

Misalnya pada kasus kriminalisasi ulama yang terjadi pada beberapa tahun terakhir, pelaku yang kebanyakan berasal dari ODGJ ini justru lolos dari sanksi dan bebas dari hukuman.

Hal ini menunjukkan negara ini sejatinya mengetahui bahwa ODGJ tidak mampu berpikir sempurna dan tidak memahami konsekuensi atas segala aktivitasnya.

Oleh karena itu, masalah ini tidak hanya berkaitan dengan penghormatan atas hak politik dan kewarganegaraan ODGJ. Lebih dari itu, berkaitan dengan kebijakan politisasi ODGJ oleh pihak-pihak tertentu demi meraih kekuasaan atau memenangkan pemilu. 

Sistem demokrasi membuka ruang bagi orang-orang yang memiliki kapasitas dan modal untuk melakukan politisasi terhadap ODGJ.

Inilah gelagat sistem demokrasi yang menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan, yang pada hakikatnya kekuasaan yang mereka dapatkan hanya untuk memperkaya diri bukan untuk menyejahterakan rakyat.

Selain dari itu sistem demokrasi adalah sistem batil yang berasal dari akal manusia yang lemah dan terbatas, sehingga tidak layak untuk diterapkan dalam kehidupan umat manusia.

Berbeda dengan sistem politik yang diajarkan Islam, sistem politik Islam didasarkan pada aqidah Islam yang lurus, yang memandang bahwa hanya Allah-lah yang berhak mengatur kehidupan umat manusia.

Sebab kedaulatan hanya ada di tangan Allah sebagai pembuat hukum. Sehingga praktik politik pun wajib dijalankan sesuai dengan syariat dan wajib ditegakkan oleh semua pihak, pemimpin maupun rakyatnya.

Islam telah menetapkan metode utama dalam pengangkatan pemimpin, yakni baiat. Calon pemimpin akan dibaiat jika mendapat dukungan dari rakyat.

Dan pemilihan langsung oleh rakyat hanyalah salah satu cara untuk memilih pemimpin. Dukungan rakyat bisa diperoleh melalui metode perwakilan, yaitu rakyat memilih wakilnya untuk menjadi calon pemimpin.

Pencalonan ini akan diseleksi oleh mahkamah mazhalim dan dinyatakan layak ketika memenuhi tujuh syarat in'iqod (muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu melaksanakan amanah kekhilafahan).

Untuk menjadi rakyat yang bisa memilih pemimpin tentu harus orang yang berakal, bukan ODGJ. Islam memfungsikan akal sebagaimana tujuan diciptakannya akal. Allah menciptakan akal kepada manusia tentu untuk memahami hakikat hidup sebagai hamba Allah dan memahami Alquran sebagai petunjuk hidup.

Islam mengakui bahwa ODGJ sebagai hamba Allah yang wajib dipenuhi kebutuhannya, namun tidak mendapatkan beban amanah termasuk dalam memilih pemimpin.

Rasulullah SAW bersabda "Diangkat pena (tidak dikenakan dosa) atas tiga golongan: orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ia baligh (mimpi basah), dan orang gila hingga berakal." (HR Ahmad, Ad Darimi dan Ibnu Khuzaimah).

Bahkan saat sistem Islam diterapkan sangat jarang ditemui ODGJ, karena kesejahteraan dan keadilan dirasakan oleh semua umat manusia.

Dengan demikian, sistem Islam mampu menghindarkan masyarakat dari kemiskinan dan kezaliman yang dalam sistem selain Islam (hari ini: sistem demokrasi) menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa.

Indahnya jika sistem Islam yang diterapkan hari ini, karena sistem Islam-lah sistem yang paling sempurna yang senantiasa menjadi rahmat bagi seluruh yang ada di muka bumi, termasuk ODGJ. Wallahualam 

 

Tags Artikel Opini Opini