Jumat, 22 November 2024

Gurita Korupsi, Praktik Culas Pertambangan “Si Emas Putih”

Fajrina Laeli S.M, Aktivis Muslimah.(@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Fajrina Laeli, S.M., Aktivis Muslimah

 

TANGERANGNEWS.com-Jagat dunia maya tengah dihebohkan oleh kasus korupsi super besar yang terjadi baru-baru ini, yakni korupsi yang melibatkan suami dari aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis, serta Helena Lim sosok yang terkenal sebagai crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK).

Ya, jeratan gurita korupsi terjadi lagi. Tidak tanggung-tanggung, korupsi kali ini menelan kerugian yang fantastis. Kasus dugaan korupsi pengelolaan timah pada wilayah izin usaha pertambangan PT Timah 2015-2022 merugikan negara sebanyak Rp271 triliun. Korupsi ini layaknya puncak gunung es dari praktik pertambangan timah yang tidak memberikan manfaat untuk Bangka-Belitung.

Ahli hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yenti Garnasih, mengatakan bahwa penambangan liar adalah kegiatan ilegal yang kasat mata dan melibatkan banyak orang. Maka sulit diterima akal sehat, bagaimana kegiatan ini dapat berjalan dengan aman dan berlangsung lama. (wartakota.tribunnews.com, 30/3/2024).

Yenti kemudian mempertanyakan terkait pengawasan negara terhadap praktik-praktik ilegal seperti penambangan liar ini. Ia mencurigai adanya kongkalikong antara penambang liar dengan pihak yang mestinya bertindak sebagai pengawas.

Yenti mengeherankan bagaimana anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bisa “kebobolan” dan menyebabkan negara rugi hingga ratusan triliun. Menurutnya, berkaca dari kasus ini, haruslah dilakukan evaluasi terhadap sistem pengawasan yang selama ini dijalankan negara. Ia mendorong Kejaksaan Agung untuk mencermati perusahaan-perusahaan boneka atau cangkang yang telah dibuat dalam kejahatan ini. 

Lamanya kasus megakorupsi terkuak membuat banyak pihak merasa bahwa kegiatan penambangan ilegal ini memiliki oknum pendukung untuk membantu menyembunyikan busuknya. Pasalnya, pemerintah dalam kasus ini dinilai lalai memastikan tata kelola SDA yang  baik. Setidaknya dua kementerian yaitu Kementerian BUMN dan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) gagal menjalankan tugasnya.

Kementerian BUMN selaku induk perusahaan tidak dapat memastikan dan bertanggung jawab atas PT Timah, untuk mengambil langkah yang dapat mencegah terjadinya korupsi. Untuk memuluskan praktik kotor perusahaan-perusahaan boneka yang menambang bijih timah secara ilegal, PT Timah diketahui menerbitkan Surat Perintah Kerja Borongan Pengangkutan Sisa Hasil Pengolahan mineral timah.

Kementerian ESDM juga dinilai lalai melakukan peran pengawasan sebagaimana telah dimandatkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Padahal Menteri ESDM dibekali kewenangan yang luas untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mulai dari teknis pertambangan, pemasaran, pengelolaan lingkungan hidup, hingga kesesuaian pelaksanaan kegiatan sesuai dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP), tetapi tetap saja “kecolongan”.

Praktik culas ini hanya membuat pertambangan ”Si Emas Putih” memperkaya segelintir pihak dan meninggalkan kerusakan lingkungan bagi warga sekitar. Tidak hanya materi, tetapi kerusakaan lingkungan juga perlu diperhatikan.

Dalam hal ini, kelalaian pemerintah menimbulkan tanda tanya besar. Bagaimana kasus yang begitu lama dan melibatkan banyak orang terus berkembang tanpa tercium sedikitpun? Apa fungsi pengawasan yang dilakukan? Apalagi pemeran utama dalam kasus ini sangat dekat dengan usaha milik negara.

Sejatinya, serangkaian kasus seperti ini wajar terjadi di rengah naungan sistem tamak akan materi, yaitu kapitalisme. Semua orang berlomba mendapatkan uang baik dengan jalan kotor maupub haram. Kalap mata sehingga membunuh ekonomi negara hingga menyengsarakan banyak orang. Praktik suap menyuap untuk menutupi kebohongan bukan hal tabu yang dilakukan. Hukum pun dapat dibeli, barter antara materi dengan perlindungan diri agar kebal hukum kerap kali terjadi.

Segala praktik kecurangan ini tidak akan pernah terjadi jika suatu negara dinaungi oleh sistem yang sahih yaitu sistem Islam. Sistem yang mengutamakan halal dan haram sebagai landasan. Alhasil, tidak akan ada ketamakan dalam mengejar materi belaka.

Negara dalam sistem Islam akan fokus melakukan pengawasan. Aparatur negara telah terdidik bahwa ia adalah hamba yang segala perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban. Maka dari sini, imanlah yang menjadi dasar dan praktik kecurangan seperti kongkalikong tidak akan pernah terjadi.

Andai terjadi khilaf yang dilakukan seseorang maka pengawasan negara dapat menjadi tembok kuat untuk menggagalkan hal tersebut. Tidak perlu menunggu hingga bertahun-tahun dan membuat rugi negara hingga triliunan. Praktik kecurangan akan dapat diberantas dengan solusi yang fundamental dan dari paling dasar. Maka dapat dipastikan, gurita korupsi dapat diatasi hanya dengan sistem yang layak, yaitu sistem Islam. Sistem yang memperbaiki dari akar, tanpa menumbuhkan tunas masalah lain. wallahualam bisshawab

Tags Artikel Opini Korupsi Tangerang Opini