Sabtu, 30 November 2024

Sampah dan Matinya Kesadaran Kita

Reomy Revolvere(tangerangnews / opini)

Oleh: Romly Revolvere

Sebuah kegiatan(baca:kecelakaan) membuat penulis mengerutkan dahi. Kegiatan yang mendiskusikan bagaimana mengatasi problem sampah berakhir dengan tumpukan sampah kemudian dibiarkan begitu saja menanti petugas (baca:pihak lain) datang
membersihkannya.

Dilain kesempatan, rombongan warga mendatangi institusi pemerintah, warga tersebut membentangkan spanduk yang bertuliskan “Pemerintah Gagal Menangani Sampah” namun setelah rombongan warga tersebut meninggalkan lokasi, tumpukan sampahlah yang tersisa, dari botol kemasan air mineral hingga puntung rokok. Apa yang sebenarnya terjadi? 

Berurat Akarnya Antroposentrisme
Purwo Santosa (2006) menulis, persoalan sampah adalah persoalan tenggelamnya manusia ke dalam lautan egoisme sehingga membuatnya tidak sanggup memikirkan kebaikan bersama. Kesediaan memikirkan persoalan sampah adalah kesediaan untuk menangani muara persoalan, bukan akarnya. Kalaupun bersedia memikirkan persoalan persampahan, pikiran tersebut tidak akan mengusik pangkal persoalan, yakni menggugat cara kita menyikapi sampah.

Ketika seseorang membuang sampah, hanya ada dua kemungkinan yang terjadi: pertama, sampah tersebut habis didaur ulang oleh alam (sampah organik) sedangkan yang kedua adalah memindahkan persoalan (masalah). Dalam kasus yang kedua ini kita menginsafi bahwa membuang sampah pada dasarnya memindahkan persoalan dari ‘diri sendiri’ menjadi “persoalan pihak lain”. Esensi persoalan sampah sendiri muncul ketika manusia menemukan plastik, sialnya plastik digemari karena lebih efektif dan efisien namun menimbulkan bencana ekologi karena bersifat non organik.

Alam tidak memiliki kemampuan mengurainya dalam waktu relatif singkat namun skala kuantitasnya setiap hari terus bertambah dan terbuang ke alam. Begitupun dalam perkembangan selanjutnya, berbagai sampah yang mengandung zat-zat berbahaya hingga radioaktif tertelan bumi.

Rupanya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak membawa manusia semakin arif dan bijak, yang muncul kepermukaan justru sikap semakin egois dan tidak bersahabat dengan alam, manusia tenggelam dalam rutinitas dan merasa terpisah dari alam, sekali-kali hanya terusik ketika indera penciumannya atau indera penglihatan terganggu oleh tumpukan sampah yang menggunung, itupun spontan menjustifikasi pihak lain sebagai pelakunya tanpa menyadari mungkin saja sampah yang menumpuk dihadapannya itu berasal dari dapur rumahnya.

Inilah dilema manusia modern, manusia yang sejak ribuan tahun silam memproklamirkan dirinya sebagai penguasa alam (antroposentrisme). Sampah sendiri hanya sebuah tase case kecil dari persoalan ekologi lainnya. Sampah membongkar watak manusia modern yang tumbuh diatas fondasi antroposentrisme, sebuah pandangan yang dibangun oleh dua pemikir utama dari paradigma Cartesian-Newtonian yaitu Rene Descrates dan Isaac Newton, yang memiliki pandangan mekanistik terhadap alam.

Descrates menganggap alam sebagai mesin besar atau the big machine sedangkan Newton menciptakan ilmu Newtonian yang sejak kemunculannya memandang alam sebagai sebuah sistem mekanis yang bisa dimanipulasi dan dieksploitasi. Hal tersebut menimbulkan kesalahan fatal paradigma manusia dalam memandang dan memperlakukan alam, alam menjadi bagian terpisah dari manusia, alam menjadi hanya sebatas alat pemuas kepentingan serta kebutuhan manusia, tidak memiliki nilai lebih sehingga diperlakukan sesuka hati.  
 
Ekosentrisme dan Sampah

Perilaku manusia yang sewenang-wenang memperlakukan alam tentunya berdampak pada kualitas lingkungan serta kualitas hidup. Tak dapat dipungkiri, bahwa manusia sebenarnya tidak bisa hidup tanpa ketergantungann pada alam, sehingga sejatinya manusia merasa berhutang pada alam. Tentu kita bersepakat, manusia tidak dapat hidup tanpa oksigen, manusia pun takkan pernah dapat sehat tanpa air sehingga alam semesta ini menjadi pusat gerak laju kehidupan (ekosentrisme).

Secara sederhana bisa dikatakan, tanpa alam masih adakah makhluk yang bernama manusia?. Sehingga berkaca pada perspektif ini, wajarkah perbuatan kita tidak bersahabat dengan alam? Semisal masihkah kita membuang sampah(baca:memindahkan masalah)?. Tentunya sebagai makhluk yang diberikan akal serta kesadaran, kita akan mengubah perilaku kita dalam memperlakukan sampah. Tidak hanya sekedar membuang namun terlebih meminimalisirnya (baca:mengolah), kecuali kita sudah hilang kesadaran atau akal sehat.

Dengan demikian, menyaksikan sampah masih saja menumpuk di TPA atau yang berserakan dihampir seluruh pelosok kota, satu pertanyaan yang harus dijawab secara aklamasi, masih hidupkah kesadaran kita? 

*)Penggiat Lingkungan Hidup Tangerang,
   Staf Sekolah Demokrasi Tangerang Selatan
 

Tags