Oleh: Prastiyo Umardani, Pengajar Pancasila Sekolah Menengah & Sekjen Lingkar Studi Masyarakat dan Hukum (RUSH)
TANGERANGNEWS.com-Emile Durkheim dalam bukunya, Moral education a study in the Theory and application of the sociology of education mengatakan bahwa pendidikan adalah tindakan yang dilakukan oleh generasi dewasa kepada yang belum siap untuk kehidupan social.
Tujuannya adalah membangkitkan dan mengembangkan sejumlah keadaan fisik, intelektual dan moral yang ditaati oleh masyarakat politik secara keseluruhan dan oleh lingkungan khusus dimana keadilan ditujukan.
Dalam perspektif bangsa Indonesia, perintah untuk memperhatikan pendidikan tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya alinea ke 4 ditegaskan bahwa tujuan negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, singkatnya menurut penulis pendidikan adalah sebuah proses perubahan dan pembiasaan menuju kematangan diri.
Menjalankan amanat Undang-Undang tentunya menjadi core value bagi pelaksana penyelenggara kebijakan negara, dalam hal program profesi guru (PPG) amanat tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen tepatnya pada pasal 8 yang menjelaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pelaksanaan PPG dibagi menjadi dua bagian yaitu, PPG Dalam Jabatan (Daljab) serta PPG Prajabatan (Prajab). Program PPG yang dicanangkan tersebut merupakan kebijakan kementrian pendidikan dan kebudayaan untuk menyelesaikan dan menuntaskan program sertifikasi guru baik program daljab maupun prajab sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen.
Dasar program PPG daljab diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang guru yang bertujuan untuk memfasilitasi dan memberikan kesempatan bagi guru yang belum memiliki sertifikat pendidik untuk mengikuti pendidikan profesi guru untuk mendapatkan sertifikat pendidik.
Secara normatif, perbedaan PPG daljab dan prajab terletak pada status individu, PPG daljab dikhususkan untuk guru yang sudah terdaftar melalui data pokok pendidikan (dapodik) dan memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) dengan miniman durasi mengajar selama 5 tahun, sedangkan untuk PPG prajab dikhususkan bagi para fresh graduate atau lulusan sarjana pendidikan baru dari berbagai universitas yang belum pernah memiliki pengalaman mengajar yang sertifikatnya dikeluarkan oleh Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai tanda bahwa guru tersebut merupakan guru professional.
Polemik PPG dalam kurikulum pendidikan
Mari kita telaah kedua program ini beserta kurikulum pendidikannya. Noura Diva Kintani adalah seorang siswa sekolah menengah atas yang lulus pada tahun 2014 dan menduduki bangku perkuliahan di tahun yang sama pula dengan fakultas keguruan sebagai pilihannya.
Singkat cerita, Noura menyelesaikan studinya selama empat tahun dan lulus di tahun 2018 dengan mendapatkan predikat cumlaude pada gelar sarjananya yang tentunya telah melalui berbagai macam mata kuliah yang dilewati seperti mata kuliah psikologi pendidikan dan peserta didik, logika, kurikulum dan pembelajaran, pengelolaan pendidikan, perencanaan pembelajaran, strategi pembelajaran, etika profesi pendidik dan kependidikan, evaluasi proses dan hasil pembelajaran, pembinaan kompetensi mengajar dan praktek pengalaman lapangan kependidikan yang semua itu ditempuh semasa kuliah selama empat tahun berdasarkan kurikulumnya.
Selepas lulus, Noura kemudian mengajar di sekolah sebagai guru. Pertanyaan pertama, apakah Noura sudah dikategorikan sebagai guru yang professional? Jawabannya tentu saja belum jika didasarkan pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen karena salah satu poinnya adalah adanya sertifikat pendidik.
Ibarat gelas ya di isi air, maka gelas tersebut hanya mengisi 80% dari total keseluruhan, selebihnya jika ingin dipenuhkan dengan sempurna gelasnya harus melalui program yang dinamakan program profesi guru. Dan itulah sejatinya gambaran kurikulum pendidikan kita. Artinya secara sadar kurikulum pendidikan kita dibuat secara tidak sempurna dan disempurnakan oleh program ini dengan berbagai term of condition-nya.
Selepas lulus dan mengajar di sekolah muncul pertanyaan kedua, apakah Noura bisa mengikuti program PPG tersebut? Jawabannya belum bisa juga, karena pemerintah dalam hal ini melalui kemendikbud baru gencar memulai banyak program PPG prajab di tahun 2020, sedangkan secara regulasi pada tahun yang sama Noura sudah terdaftar di dapodik dan mendapatkan NUPTK, dengan adanya hal tersebut tentunya ia tidak memenuhi syarat untuk mengikuti PPG prajab tersebut.
Disisi lain Noura pun tidak bisa mengikuti program PPG daljab karena salah satu aturannya adalah harus sudah mengajar selama 5 tahun berdasarkan terhitung mulai tanggal (TMT) dapodik tersebut. Ironis bukan, Noura adalah korban dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Pendidikan Vs Hukum
Mari kita bandingkan kurikulum pendidikan dengan hukum, seseorang yang lulus menjadi sarjana hukum mampu memilih kemana ia akan berlabuh dalam berkarir, apakah ia ingin menjadi seorang pengacara, notaris dan lain sebagainya. Jika ingin menjadi pengacara, ia harus mengikuti serangkaian tes pengacara yaitu pendidikan khusus profesi advokat (PKPA) begitu pula jika ia ingin menjadi notaris, ia harus melalui seragkaian tes untuk bisa menjadi notaris.
Artinya, itu semua bersifat pilihan, terlepas ia tidak memilih untuk tidak serumpun juga merupakan pilihan. Dalam kurikulum pendidikan semestinya tidak demikian karena untuk menjadi profesi bukan suatu pilihan, hanya karena ingin mendapatkan label professional dengan tambahan insentif sebagai seorang guru, maka ia harus melalui serangkaian tes yang isi kegiatan di dalamnya pernah dilalui semasa kuliah.
Atas dasar argumentasi tersebut maka program ini bisa dikatakan sebagai bentuk dari komersialisasi di bidang pendidikan dan atau sebagai program “salah jajan” dalam perspektif penganggaran.
Penutup
Ki Hajar Dewantara terkenal dengan filosofi pendidikannya yang disebut sebagai Tjeritera atau yang kita kenal dengan istilah “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.” Sejatinya filosofi ini memang diperuntukkan untuk para pendidik, namun ini juga bisa diterapkan oleh para pemangku kebijakan kita agar membuat peraturan yang taat terhadap azas dalam memberi teladan, memotivasi serta mendorong para pendidik untuk maju agar persoalan kesejahteraan sudah tidak lagi menjadi isu gorengan dan fokus terhadap perkembangan siswa.
Guru yang belum mendapat sertifikasi memang belum dianggap sejahtera, itu sebabnya mereka selalu melabeli profesi mereka dengan label kerja ikhlas agar senantiasa mendapat keberkahan. Itulah dasar manusia yang bersifat devensif, karena ia sudah kalah di bumi maka satu-satunya cara adalah dengan mengharapkan langit.