Sabtu, 21 September 2024

Hati-hati Ancaman Kesehatan di Balik Lezatnya Makanan?

Ummu Ainyssa, Aktivis Muslimah.(@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Ummu Ainyssa, Aktivis Muslimah

 

TANGERANGNEWS.com-Publik kembali dihebohkan dengan berita adanya puluhan anak menjalani cuci darah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Pihak RSCM pun akhirnya buka suara terkait kasus tersebut. Dr. dr. Eka Laksmi Hidayati, selaku dokter spesialis anak RSCM membenarkan jika saat ini ada sekitar enam puluh anak yang sedang menjalani prosedur cuci darah di RSCM. 

Ia juga menambahkan bahwa dari jumlah pasien itu, sebagian di antaranya menjalani prosedur hemodialisis (cuci darah dengan mesin), sementara sebagian lagi menjalani Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) yang hanya datang kontrol setiap bulannya.

Mengenai penyebab maraknya kasus anak yang menjalani cuci darah tersebut, dr. Eka menjelaskan bahwa banyak dari pasien yang memang telah mengalami kelainan bawaan yang berupa bentuk maupun fungsi dari ginjalnya yang memang sudah tidak normal sejak lahir atau mengalami sindrom nefrotik. Ada juga pasien yang mengalami lupus nefritis yang harus menjalani cuci darah juga. Namun demikian, Eka menegaskan bahwa tidak ada lonjakan kasus gagal ginjal pada anak di tahun ini. (CNBC, 26-07-2024)

Sementara pada kesempatan lain, dr Eka juga menyampaikan bahwa selain kelainan bawaan, akibat gaya hidup yang tidak sehat juga mendominasi faktor penyebab menurunnya fungsi ginjal. Misalnya saja, kebiasaan konsumsi makanan dan minuman kemasan yang mengandung tinggi gula sangat berpengaruh pada obesitas yang berisiko sekali terhadap penurunan fungsi ginjal. Kata dr Eka dalam Instagram live RSCM official pada Kamis, (25/7). (CNNIndonesia, 26-07-2024)

 

Bukan Masalah Biasa

Kendatipun tidak ada lonjakan penderita gagal ginjal pada anak yang berujung cuci darah, namun keberadaan kasus ini tetap harus menjadi perhatian semua pihak. Terlebih kasus ini menyangkut generasi penerus bangsa, yang seharusnya menjadi generasi yang sehat, kuat, dan cerdas. Sementara pada sebagian kasus erat kaitannya dengan pola konsumsi yang salah atau tidak sehat, yang mendominasi faktor penyebab rusaknya fungsi ginjal.

Realitas hari ini banyak beredar produk serba instan maupun tinggi gula, baik dari industri makanan maupun minuman. Bukan hanya dari industri dalam negeri, berbagai produk impor tanpa label halal pun turut membanjiri stok jajanan. Sayangnya produk tersebut mengandung bahan-bahan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan dalam angka kecukupan Gizi. Sementara anak-anak menjadi sasaran utama dalam pemasarannya. Anak-anak pun belum paham akan ancaman di balik sensasi manis yang mereka rasakan. 

Seperti dilansir Kompas.id, 30-5-2024, data Survei Kesehatan Indonesia menunjukkan lebih dari 50 persen anak-anak usia 3-14 tahun mengonsumsi minuman manis lebih dari satu kali sehari. Dengan rincian 51,4 persen di usia anak 3-4 tahun, 53 persen pada nak usia 5-9 tahun, dan 57,7 persen pada anak usia 10-14 tahun. Dari data ini usia anak-anak menjadi tingkat yang paling tinggi dibanding kelompok usia lain. Terlebih harga jual minuman kemasan yang relatif murah dan dalam jangkauan anak-anak membuat anak-anak semakin ketergantungan untuk mengonsumsinya. 

Padahal makanan yang tidak sehat apabila dikonsumsi secara berlebihan akan menimbulkan berbagai dampak negatif. Hal itu bisa meningkatkan risiko timbulnya penyakit, mengurangi fungsi gerak anggota badan, menghambat perkembangan tubuh, mengurangi kecerdasan otak, bahkan dapat menimbulkan kematian.

 

Negara Gagal Menjamin Makanan Halal dan Tayib Bagi Rakyatnya

Seratus tahun sudah dunia terlepas dari sistem yang islami. Selama itu pula kehidupan negeri ini diatur oleh sistem kapitalisme, di mana uang menjadi tujuan utama termasuk dalam proses produksi. Sehingga peredaran makanan dan minuman yang tidak sehat pun tidak terkontrol. 

Negara abai terhadap aspek kesehatan dan keamanan pangan, sehingga tidak sesuai dengan konsep makanan halal dan tayib. Produksi makanan dan minuman tinggi gula, dengan pewarna dan pengawet berbahaya pun menjamur di masyarakat. 

Dalam himpitan ekonomi yang tidak juga mencapai kesejahteraan, sebagian pelaku produksi menghalalkan segala cara demi cuan. Sikap individualis tidak lagi memikirkan dampak buruk yang akan dialami para peminatnya, termasuk anak-anak sekalipun. Yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana mereka mendapat keuntungan. Bahkan mereka semakin nyaman dengan tidak adanya kontrol dan sanksi yang tegas yang menjerat mereka. 

Di sisi lain, konsumsi makanan yang bergizi dan sehat masih terasa sangat sulit bagi masyarakat dengan ekonomi rendah. Masyarakat dengan hidup pas-pasan cenderung lebih memilih makanan murah meriah asal mengenyangkan. Mereka tidak lagi memperhatikan pentingnya kesehatan. Ditambah lagi, rendahnya pengetahuan dan literasi membuat masyarakat lebih memilih makanan serba instan meski ada bahaya yang mengancam kesehatan.

 

Konsep Makanan Halal dan Tayib dalam Islam

Islam telah menganjurkan setiap individu untuk mengonsumsi makanan yang halal dan tayib. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 88,

“Dan makanlah dari apa yang telah Allah berikan kepadamu, sebagai rejeki yang halal dan baik. Dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” 

Oleh sebab itu, mengonsumsi makanan yang halal dan tayib merupakan salah satu wujud keimanan seorang muslim. 

Sedangkan makna dari makanan halal menurut Mu'jam al-Wasith adalah makanan yang tidak diharamkan oleh agama (Allah Swt.) baik dari segi zatnya maupun dari segi cara pengolahannya, memperolehnya, atau membelinya. 

Sementara makna makanan tayib, dalam Tafsir Al-Qur'an al-'Adhim, Ibnu Katsir menyatakan sebagai sesuatu yang baik, tidak membahayakan tubuh dan pikiran. (Imam Ibnu Katsir, Beirut: Dar Ihya’ Al-Kutub al-Arabiyah, jilid I, hal. 253) 

Segala sesuatu yang telah Allah perintahkan sudah pasti menghasilkan manfaat serta menjauhkan dari berbagai kemudharatan. Akan tetapi, untuk menunjang perintah tersebut tidaklah cukup hanya dari individu saja, namun juga perlu peran dari keluarga, masyarakat, serta negara. Sehingga diperlukan edukasi buat semua pihak. Dalam keluarga, seorang ayah ataupun ibu diharapkan mampu memenuhi kebutuhan makanan yang bergizi buat anggota keluarganya, dengan cara yang halal juga dalam memperolehnya. 

Sedangkan masyarakat yang berprofesi sebagai penjual atau penyedia bahan ataupun makanan siap saji tentulah wajib memperhatikan aspek keimanan dan ketakwaan. Bukan hanya atas qimah (nilai) materi semata yang ia kejar, sehingga tidak mempedulikan aspek kesehatan dan keamanan bagi para pembeli. Jika bahan-bahan makanan yang halal dan tayib dirasa mahal atau susah didapat, maka di sinilah peran sebuah negara yang akan mempermudah warga untuk memperolehnya dengan harga terjangkau. 

Negara memiliki peran utama dalam pemenuhan sandang, papan, serta kebutuhan pangan yang halal serta tayib ini. Negara wajib memastikan setiap warga mampu mengonsumsi makanan yang bergizi dan menyehatkan. Sehingga negara wajib mengawasi serta mengontrol pendistribusian bahan pangan yang bermutu untuk mencegah pedagang yang berbuat curang dan nakal.

Negara juga wajib menindak tegas pelaku industri makanan dan minuman yang dengan sengaja mempergunakan kandungan bahan-bahan berbahaya, haram, serta memicu munculnya berbagai penyakit berbahaya misalnya gagal ginjal, diabetes, kanker, jantung, dan lain-lain. Di samping itu, negara juga wajib menyediakan layanan kesehatan secara gratis kepada seluruh warga negaranya, seperti deteksi dini penyakit, cek kesehatan secara berkala, maupun penanganan intensif bagi penderita penyakit kronis. 

Lantas, dari mana sumber dana untuk mewujudkan semua kemudahan tersebut? Jawabannya, semua diambil dan dipenuhi dari baitul mal (kas negara) yang sumbernya diperoleh dari harta kepemilikan umum seperti sumber daya alam yang melimpah, pajak yang dipungut dari para wajib pajak, zakat, ghanimah, kharaj, jizyah, dan lain-lain. Berbagai pemasukan inilah yang kemudian wajib dibelanjakan untuk berbagai keperluan rakyat yang telah ditetapkan oleh syarak. 

Semua kebijakan ini hanya bisa diterapkan secara komprehensif dalam pola hidup yang islami di bawah pengawasan langsung negara. Serta membuang jauh-jauh paradigma hidup kapitalisme, hedonis, serta konsumtif yang menabrak hukum syariat.

Tags Artikel Opini Opini