Jumat, 22 November 2024

Jatuh Bangun Industri Lokal, Dampak Buruk Kebijakan ala Kapitalisme

Fajrina Laeli S.M, Aktivis Muslimah.(@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Fajrina Laeli, S.M., Aktivis Muslimah.

 

TANGERANGNEWS.com-Derasnya impor pakaian Cina tampak jelas di Pusat Grosir Tanah Abang, termasuk baju bayi dan anak yang terpampang dan dipajang rapi di kios-kios para pedagang.

Sayangnya, baju-baju anak dan bayi ini tidak dilabeli SNI. Padahal, pakaian anak dan pakaian bayi termasuk produk yang harus memenuhi SNI alias berlaku SNI Wajib.

Impor pakaian yang deras ini karena harga yang super murah, walaupun dengan detail jahitan yang kurang rapi dan bahan yang digunakan sedikit kasar. Tetap saja, baju impor ini masih sangat laku di pasaran. Namun, jika dilihat dari model dan motif produk keluaran Cina lebih unggul dibanding dengan industri lokal.

Banjirnya produk impor Cina tentu saja mengancam industri lokal secara nyata. Terbukti, industri tekstil hari ini dalam situasi “gawat darurat” karena puluhan pabrik melakukan PHK sebanyak lebih dari 13.000 pekerja. Hal ini merupakan imbas dari ketidakmampuan bersaing di pasar global dan impor dari Cina yang membanjiri pasar dalam negeri.

Sebutlah, seperti PT Dupantex di Pekalongan, Jawa Tengah, yang dinyatakan tutup per 6 Juni 2024. Alih-alih pesangon, bahkan gaji karyawan pun masih tertunda belum dibayar selama 3 bulan. Tunjangan hari raya (THR) yang seharusnya diterima juga baru diberikan 50% dari nominal THR yang harusnya diberikan. (bbc.com, 1/7/2024).

Menurut Rizal, Pengamat Industri Pertekstilan, pemerintah Indonesia justru membuka keran impor tanpa mempertimbangan kondisi industri tekstil nasional yang sudah darurat dengan merevisi Permendag Nomor 36 Tahun 2023. Akibatnya, puluhan pabrik tutup dan belasan ribu buruh kena PHK. Lagi-lagi pengangguran merajalela.

Untuk mengatasi hal tersebut, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, mengatakan akan menetapkan tarif bea masuk sebesar 200% terhadap produk impor dari China. Sayangnya, praktik impor ilegal juga masih banyak terjadi. Jauh dari pengawasan pemerintah dan perlu dipikirkan solusinya juga. Masih banyak oknum-oknum yang meloloskan praktik impor ilegal, karena asas yang diutamakan hanyalah manfaat saja.

Kondisi kritis industri tekstil hari ini membuat negara seolah tak berdaya dan pasrah, padahal lesunya industri tekstil tidak lain adalah dampak dari revisi Permendag Nomor 36 Tahun 2023. Dalam revisi terbaru ini, pemerintah memutuskan untuk melonggarkan aturan impor yang sebelumnya diperketat. Akibatnya, pemerintah tidak punya solusi akibat ulahnya sendiri. Tentu saja, tetap rakyat yang menjadi korban dampak dari kebijakan ini.

Bahkan kebijakan permendag ini sudah tiga kali berubah dengan rentang waktu empat bulan saja. Jelas hal ini menimbulkan tanda tanya mengenai bagaimana kebijakan itu diambil hingga menuai begitu banyak protes dan kritik, bahkan dari beberapa industri besar.

Inilah wajah ekonomi kapitalisme yang sesungguhnya, tidak pernah memikirkan kesejahteraan rakyat hanya peduli dengan manfaat segelintir orang saja. Kebijakan merugikan pun tetap diterabas tanpa ragu, walaupun menuai banyak protes dari rakyat.

Keran impor secara ugal-ugalan ini membuat Indonesia kewalahan dalam menghadapi persaingan pasar global. Alih-alih berdampak baik, justru malah sebaliknya. Industri kritis, pabrik tutup, PHK di mana-mana. Alhasil angka pengangguran pun makin tinggi sehingga berimbas pada ekonomi Indonesia yang makin hari makin lesu.

Hal ini tentu akan berbeda andai berada dalam naungan ekonomi Islam. Sebab, Islam mewajibkan negara untuk menyiapkan sistem bisnis yang kuat dan sehat tanpa bergantung pada siapa pun, apalagi pada luar negeri. Bisnis yang sehat ini akan menimbulkan kompetisi yang sehat pula. Tidak seperti hari, yang mana pasar global secara bebas bersaing dengan licik dan tamak.

Negara dalam naungan Islam juga akan memberikan sokongan dalam berbagai bentuk. Tidak akan terjadi pengambilan kebijakan yang merugikan seperti hari ini, karena hukum hanya bersumber kepada Al-Qur’an saja.

Perizinan akan dimudahkan tanpa ada embel-embel uang sogokan. Modal juga akan disediakan. Bahan baku akan dipenuhi secara mudah. Yang paling utama, pemerintah akan melindungi industri dari gempuran impor. Sebab, paradigma dalam membangun negara didasar pada halal dan haram, bukan sekadar manfaat semata. Bukan pula untuk mencari materi untuk memperkaya diri sendiri, melainkan hanya mencari rida Allah Swt.

Perbedaan pandangan hidup dari pemangku kuasa inilah yang menjadikan sinkronisasi antara peraturan dan sikap para penguasa. Alhasil, akan tercipta kesejahteraan umat dan menjadikan negara sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyat. Wallahualam bisshawab.

 

Tags Artikel Opini Opini