Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S., Aktivis Dakwah, Penulis Buku dan Praktisi Pendidikan
TANGERANGNEWS.com-Potret buram wajah pendidikan di negeri ini masih saja menjadi sajian media massa. Sebagaimana baru-baru ini diberitakan (Kompas.tv/25-07-2024) bahwa Siswa di Madrasah Ibtidaiyah Al-Khairiyah, di Desa Bojongloa, Tangerang, Banten, selama bertahun-tahun belajar di gedung sekolah yang nyaris ambruk.
Tidak ada satu pun ruang kelas yang layak, dan seluruhnya sudah lapuk termakan usia. Salah satu guru Madrasah Ibtidaiyah Al-Khairiyah, mengatakan, kerusakan gedung sekolah ini sudah terjadi enam tahun lalu sejak 2018. Sungguh memprihatinkan!
Fakta Gedung sekolah yang tidak layak untuk proses belajar mengajar tak hanya terjadi di wilayah Tangerang. Di berbagai daerah lainnya di Indonesia, fakta serupa juga banyak terjadi. Adanya sekolah yang nyaris ambruk ini menunjukkan rendahnya kualitas fasilitas pendidikan di negeri ini dan lemahnya pembiayaan negara terhadap pendidikan.
Sebagaimana dilansir dalam laman cnbcindonesia.com (22-05-2024) bahwa alokasi anggaran untuk sektor pendidikan adalah 20 persen dari total APBN Indonesia yakni Rp3.325,12 triliun, berarti anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah adalah sebesar Rp665 triliun.
Namun, menurut Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek, Suharti dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI anggaran pendidikan tersebut pada dasarnya tidak hanya digunakan oleh Kemendikbud. Dia mengatakan ada 22 kementerian dan lembaga lainnya yang ikut mendapatkan anggaran fungsi pendidikan.
Namun yang terbaru, Menteri Keuangan Sri Mulyani hendak mengubah ketentuan alokasi anggaran pendidikan, menjadi mengacu kepada pendapatan negara. Jelas saja jika hal tersebut disetujui maka akan memperparah kesenjangan layanan pendidikan di negeri ini. Karena berdampak pada menciutnya porsi besaran dana pendidikan dalam APBN.
Pendidikan Kapitalistik
Pendidikan di bawah tata kelola sistem kapitalistik dipandang sebagai objek komersial alias ladang mencari keuntungan. Untuk urusan pendidikan yang notabenenya sebagai kebutuhan asasi rakyat, pemerintah berhitung untung rugi. Tak heran jika subsidi pendidikan terus dikurangi, sedangkan pihak swasta terus diberi karpet merah untuk menyelenggarakan pendidikan atas semangat bisnis.
Hal tersebut ditambah dengan buruknya birokrasi karena adanya otonomi daerah. Lepasnya tanggung jawab pemerintah pusat dalam urusan pendidikan membuat banyak sekali persoalan yang lambat dalam penyelesaiannya, bahkan tidak tertangani.
Misalnya ketika ada sekolah yang rusak di daerah dan menunggu respons pemerintah pusat, namun semua itu tidak kunjung diselesaikan. Mirisnya lagi, dalam kondisi seperti ini dana pendidikan masih kerap dikorupsi. Sebagaimana dilansir dalam cnnindoensia.com (22-11-2021) Hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan negara merugi Rp1,6 triliun dari korupsi di sektor pendidikan sepanjang 2016-September 2021.
Peneliti ICW, Dewi Anggraeni, mengatakan terdapat 240 korupsi pendidikan yang ditindak aparat penegak hukum dalam waktu enam tahun terakhir. Demikianlah karut marut pengelolaan infrastruktur sekolah dalam sistem kapitalis liberal.
Bagaimana mungkin akan tercetak generasi berkualitas jika sektor pendidikan yang menjadi wadahnya saja sedemikian semrawut?
Sistem Islam Pencetak Generasi Unggul
Kondisi ini tentu sangat kontras dengan pengelolaan pendidikan dalam sistem Khilafah Islam. Dalam sistem yang didasarkan pada hukum Syariah ini, negara bertanggung jawab penuh mencukupi kebutuhan sarana pendidikan yang bersifat pokok, seperti gedung sekolah (kelas), perpustakaan, laboratorium, dan lainnya. Yang demikian termasuk kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan negara.
Negara harus menyediakan dana mutlak bagi pendidikan dari Baitulmal. Negara akan menjamin pemerataan kualitas pendidikan di setiap daerah. Hal tersebut merupakan wujud tanggung jawab negara dalam mencetak generasi intelektual yang berkualitas dan unggul.
Dengan terjaminnya fasilitas pendidikan, termasuk gedung sekolah yang nyaman, para penuntut ilmu pun akan betah menimba ilmu di sekolah. Hingga dari sanalah terlahir ilmuwan-ilmuwan muslim yang begitu gigih belajar dan mengajarkan ilmu. Tak ada kata malas belajar hanya karena khawatir bangunan roboh, atau suasana sekolah yang tidak kondusif.
Inilah potret kegemilangan negara yang diatur oleh syariat Islam. Fungsi dan peran negara akan berjalan sebagaimana mestinya karena dilandasi oleh spirit ketakwaan kepada Allah Swt, bukan spirit bisnis seperti halnya negara kapitalis hari ini. Wallahu’alam bis shawab