Jumat, 22 November 2024

Banyak Menteri Banyak Celah Korupsi

Ni'matul Afiah Ummu Fatiya, Pemerhati Kebijakan Publik(@TangerangNews / Istimewa)

Oleh: Ni'matul Afiah Ummu Fatiya, Pemerhati Kebijakan Publik

 

TANGERANGNEWS.com-Tinggal hitungan minggu lagi, pasangan Presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo-Gibran akan segera dilantik dan diambil sumpah jabatan. Namun isu jumlah menteri  yang akan diangkat justru menjadi sorotan yang ramai dibahas.

Pasalnya, Prabowo berencana untuk menambah jumlah kementrian yang ada, dari 34 menjadi 44 kabarnya. Kementrian yang disebut-sebut sebagai Kabinet Zaken ini akan mengambil menteri dari kalangan ahli dan profesional yang berkompeten.

 

Tantangan Berat

Pembentukan  Kabinet Zaken kalau dilihat secara teori tujuannya sangat bagus,  yakni untuk menghindari malfungsi Kabinet, menghindari korupsi di kementrian dan memaksimalkan kinerja para menteri. Kabinet Zaken sendiri dulu pernah diterapkan pada masa Orde Lama, diantaranya yang pernah menerapkan  Kabinet Zaken ini adalah pada masa Kabinet Natsir (06/09/1950-21/03/1951), Kabinet Wilopo (03/04/1952-03/06/1953) dan Kabinet Djuanda (09/04/1959-05/06/1959).

Namun melihat realitas politik saat ini yang multipartai, rasanya mustahil Kabinet Zaken ini bisa diterapkan secara murni dan maksimal. Alasannya kalau kita menengok ke belakang, di balik kemenangan Prabowo-Gibran di pilpres kemarin ada Koalisi yang bermain, baik dari partai pendukung maupun pengusung.

 

Politik Bagi-bagi Jatah Kursi

Menurut Direktur Eksekutif Skala Data Indonesia, Arif Nurul Iman ketika diwawancarai oleh Tribun timur, 24/09/3024 menyatakan bahwa pembentukan Kabinet yang gemuk ini akan berdampak pada efisiensi, anggaran dan kinerja Kabinet.

Arif  menjelaskan bahwa ada 3 mekanisme yang digunakan dalam rekruitmen menteri :

1. Faktor Militokrasi, menteri-menteri diambil dari kalangan profesional dan ahli dan berkompetensi di bidangnya masing-masing.

2. Faktor Akomodasi Politik, mengambil orang-orang dari kader Parpol baik dari kalangan ahli maupun umum.

3. Kombinasi antara faktor Militokrasi dan Akomodasi Politik.

 

Arif berkesimpulan bahwa akan sangat sulit untuk menerapkan Zabinet Zaken pada kondisi perpolitikan Indonesia saat ini. Yang ada kemungkinan adalah kombinasi antara orang-orang profesional dan orang-orang partai.

Sementara itu, Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah 'Castro' menyatakan bahwa penambahan pos kementerian merupakan upaya politik hukum untuk mengakomodasi kepentingan pemerintahan Prabowo-Gibran.

"Politik hukum kenapa kemudian komposisi kementerian itu dihilangkan, karena memang rezim pemerintahan Prabowo membutuhkan legitimasi untuk mengakomodasi semua kabinet gemuk, itu sudah rahasia umum," ujar Castro (CNNIndonesia.com, Jumat 20/09).

Satu hal yang bisa mendukung kebenaran ucapannya itu adalah bahwa sebelumnya, DPR RI telah mengesahkan RUU tentang perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi Undang-Undang pada Rapat Paripurna DPR ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025 di kompleks Parlemen, Jakarta pada Kamis, 19/09/2024 (CNN Indonesia, 25/09/2024).

Ada 6 poin penting dalam RUU tersebut, salah satunya ada di pasal 15 tentang jumlah kementerian yang sebelumnya dibatasi 34, kini ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden.

Padahal, menurut Castro, jumlah kementerian sebagaimana aturan sebelumnya yakni 34 pun terlalu banyak.

Lain halnya dengan Direktur Riset & Komunikasi Lembaga Survei KedaiKOPI, Ibnu Dwi Cahyo yang menilai pemerintahan Prabowo - Gibran layak memiliki susunan kabinet gemuk. Dengan syarat harus diisi oleh orang-orang yang berkemampuan dan berlatar belakang pengalaman yang sama dengan kementerian yang akan dipimpin (ANTARA,18/09/2024).

"Tidak hanya dari kalangan profesional, namun bisa juga dari kader parpol. " Kata Ibnu. Seluruh parpol harus memanfaatkan momentum tersebut untuk merekomendasikan kader yang paling berkualitas menjadi menteri. Dengan demikian masyarakat bisa menilai  keberhasilan parpol dalam melakukan kaderisasi terhadap para kadernya.

 

Penambahan Menteri Membuka Celah Korupsi

Penambahan jumlah menteri pasti akan berefek pada membengkaknya jumlah anggaran yang harus dikeluarkan untuk menggaji para menteri. Akibatnya bisa bertambahnya utang negara atau naiknya pajak yang dibebankan kepada rakyat. Hal itu karena pendapatan utama negara saat ini berasal dari utang dan pajak.

Alih-alih meningkatkan kinerja kementerian, banyaknya kementrian disinyalir bisa menimbulkan ketidakjelasan jobdesk yang akhirnya terjadi tumpang-tindih antara jobdesk kementrian yang satu dengan kementrian yang lainnya. Bahkan berujung pada terbukanya peluang korupsi.

Selain itu banyaknya kementrian juga tidak menjamin semakin diperhatikannya kesejahteraan rakyat karena dalam sistem kapitalis, kebijakan apapun yang dibuat hampir seluruhnya berpihak pada korporat, sang pemilik modal bukan rakyat sang penyumbang pajak.

 

Metode Pengangkatan Pejabat dalam Islam

Menteri adalah orang-orang yang diangkat dan ditunjuk langsung oleh Presiden untuk membantu pekerjaannya dalam tugas kenegaraan. Namun dalam sistem saat ini realitasnya sangat jauh dari filosofi sesungguhnya. Menteri diangkat tidak murni berdasarkan kebutuhan dan keahlian, namun berdasarkan Janji-janji koalisi dan transaksi politik sebelumnya. Tak heran ketika menjabat bukan kepentingan rakyat yang diutamakan tapi kepentingan korporat dan parpol yang dikedepankan.

Hal ini tentu tidak akan ditemukan ketika Islam diterapkan. Dalam Islam, jabatan adalah amanah. Kepala Negara bertanggungjawab untuk mengurusi kepentingan rakyat. Seorang kepala negara boleh mengangkat orang-orang yang akan membantunya dalam melaksanakan tugas.

Namun pengangkatan mereka berdasarkan kemampuan dan keahliannya serta jelas tugas dan tanggungjawabnya. Selain itu juga dipilih dari orang-orang yang adil dan bertakwa.

Sepertinya yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Sulaim bin Buraidah menuturkan riwayat dari bapaknya yang berkata : "Rasulullah SAW jika mengangkat seorang amir pasukan atau datasemen senantiasa berpesan, khususnya kepada mereka agar bertakwa kepada Allah dan kepada kaum Muslim yang ikut bersamanya agar berbuat baik."

Dengan bekal ketakwaan itu diharapkan para pejabat tidak menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Namun jabatan benar-benar diembannya sebagai amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah SWT.

Wallahu A'lam.

 

Tags Artikel Opini Opini