Jumat, 22 November 2024

Pekerjaan Rumah Pasca Tragedi Kekerasan Seksual Di Kota Tangerang

Rudini Syahputra, S.Kom, Pegiat Perlindungan Anak dan Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Kota Tangerang(@TangerangNews / Redaksi )

Oleh: Rudini Syahputra, S.Kom, Pegiat Perlindungan Anak dan Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Kota Tangerang

 

TANGERANGNEWS.com- Saya percaya bahwa seluruh warga Kota Tangerang akhir-akhir ini merasakan berbagai kegeraman serta perasaan marah bercampur miris akibat kejadian di Kota Tangerang yang akhir-akhir ini sangat menyita perhatian bahkan sampai di tingkat nasional. Bagaimana tidak, 3 orang predator manusia yang bertopeng agama sukses menjajah hak asasi manusia puluhan anak dan dewasa, serta mengarah kepada membudayakan kegiatan abnormal di Indonesia; aktivitas seksual yang menyimpang.

Sudirman (49) tersangka utama dari kejadian yang mengibarkan amarah masyarakat khususnya warga Kota Tangerang, adalah seorang yang membungkus dirinya berwawasan keagamaan yang kuat. Mencitrakan persona tokoh agama yang mumpuni, pandai berbicara didepan umum, bergaul dengan berbagai kalangan terutama selebritis dan para donatur di Yayasannya, ternyata menyimpan jiwa predator terhadap anak. Puluhan tahun bergulat dalam bidang sosial keagamaan melalui Yayasan yang dibentuknya, ternyata salah satu kegiatannya adalah aktivitas bejat yang menghancurkan hak anak serta dapat merusak masa depan generasi Indonesia. Sudirman Bersama 2 orang pengurus Yayasan lainnya, yaitu Yusuf Bahtiar (30) serta Yandi Supriadi (28) yang sampai saat ini buron dan belum teridentifikasi keberadaannya, ketiganya menjadi pelaku dan aktor utama kejadian yang menghebohkan dunia anak di Indonesia.

Penulis memfokuskan tulisan ini pada 3 hal yang wajib dilakukan oleh Pemerintah juga bekerjasama dengan seluruh unsur masyarakat, yaitu Proses Rehabilitasi, Proses Hukum dan Evaluasi Regulasi. Ketiga fokus pekerjaan rumah pasca kejadian abnormal ini membutuhkan proses yang lumayan panjang, terlebih pada proses rehabilitasinya.

Proses Hukum

Dalam Undang-undang No 17 tahun 2016 perubahan kedua atas UU No 23 tahun 2002, hukuman pidana bagi para pelaku minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun. Para Tersangka juga harus mendapatkan tambahan hukuman sepertiga (1/3) dari aturan tersebut, serta wajib membayarkan Restitusi bagi para korban. Dalam aturannya memang begitu. Tetapi penulis memotret realitas harapan dari warga masyarakat dan Netizen, para Tersangka ini sangat diharapkan bahkan sampai dihukum kebiri dan hukuman mati. Harapan ini tidak berlebihan, mengingat perlakuan para tersangka terutama Tersangka utama yang jelas-jelas telah merusak dan menghancurkan HAM puluhan anak. Bahkan diantara Netizen ada yang berpendapat, bahwa serahkan saja para Tersangka kepada masyarakat untuk dihukum gantung didepan umum akibat perbuatannya, agar menjadi efek jera utama bagi para calon pelaku lainnya.

Apapun realitas dan harapan masyarakat untuk hukuman para pelaku, apa daya, Indonesia menganut sistem hukum yang diatur dalam aturan yang ada. Ancaman bagi para pelaku, tetap, minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun dengan pidana tambahan dan pembayaran Restitusi.

Dalam proses hukum ini, harapan terpateri pada Aparatur Penegak Hukum (APH) dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Masyarakat akan kawal dan cermati proses ini dengan seksama, sampai akhirnya nanti Ketuk Palu Hakim dengan segala kewenangannya untuk menghukum seseorang, mempunyai nurani, dan berharap besar bahkan akan memberikan hukuman maksimal serta denda/restitusi terbaik bagi para korban dan lingkungan. Serta semoga proses hukum ini pun tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama, hal ini seiring dengan kepentingan terbaik bagi para korban terkait kondisi fisik dan psikisnya yang akan menjadi saksi dan memberikan keterangan didepan pada setiap proses hukum baik di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Serta harapan lainnya atas waktu yang semoga bisa secepatnya dilakukan proses hukum ini, karena masih menjadi perhatian utama Masyarakat.

Secara khusus saya juga ingin mengingatkan kepada Penyidik Kepolisian, jangan berpuas diri untuk melakukan proses penyidikan hanya pada kekerasan seksual terhadap anak. Saya mengamati dan melihat, bahwa potensi kasus TPPO atau Trafficking jelas terlihat pada aktivitas yang dilakukan oleh Sudirman beserta antek-anteknya. Adanya laporan dan informasi bahwa Sudirman sering sekali berkeliling untuk mencari bayi dan anak laki-laki dibawah 5 tahun yang bisa direkrut untuk dimasukan di asuh kedalam Yayasannya, adalah bentuk lain dari proses TPPO, terlebih jika sudah ada mens rea sedari awal, bahwa bayi dan anak-anak tersebut kelak akan dijadikan korban selanjutnya oleh Predator anak tersebut. Jadi, saya sangat berharap, Penyidik Kepolisian melakukan pengembangan dalam proses penyidikannya, baik kepada pelaku-pelaku lainnya atau juga bentuk-bentuk pidana lain yang berpotensi dialnggar oleh Sudirman.

Rehabilitasi

Kejadian ini jelas-jelas akan menimbulkan efek samping seumur hidup bagi warga masyarakat khususnya bagi para korban. Tak perlu melihat jauh, lihat saja kondisi dua Tersangka Yusuf dan Yandi yang jelas-jelas awalnya menjadi korban dari Sudirman ini. Bagaimana Sudirman memaparkan kelainan jiwa dan kelainan seksualnya kepada dua orang ini, adalah contoh kongkrit betapa sulitnya melakukan rehabilitasi. Alih-alih dilakukan rehabilitasi dan pengobatan, kedua Tersangka ini malah ikut bersama Sudirman untuk mencetak korban baru dan membiakan perilaku kaum Sodom. Tidak terbayangkan kondisi dan hal gila apa yang akan terjadi ke depan jika para korban tidak dilakukan rehabilitasi secepatnya.

Rehabilitasi Fisik, Psikis, Sosial dan Reintegratif wajib dilakukan khususnya oleh Pemerintah dan warga Masyarakat. Rehablitasi fisik menyangkut kesehatan fisik para korban, wajib dilakukan. Kekhawatiran kondisi para korban yang berpotensi tertular penyakit seksual sangat besar. Aktivitas kelainan seksual yang dilakukan para Tersangka tidak menutup kemungkinan juga dilakuakn oleh Tersangka diluaran sana, dan memaparkan penyakit menjijikan ini kepada para korban. Pemerintah dibantu warga masayrakat wajib melakukan hal ini.

Rehabilitasi psikis, ini yang juga menjadi pekerjaan rumah berat dan membutuhkan waktu cukup Panjang dan kontinuitas. Menyembuhkan luka psikis yang berada pada bathin seseorang tidak lebih mudah ketimbang menyembuhkan luka fisik seseorang yang berdarah-darah. Dibutuhkan treatment terbaik bagi para korban terlebih yang berusia anak untuk dapat memastikan dirinya terhindar dari kondisi traumatic pasca kejadian tersebut.

Rehabilitasi sosial, selain wajib dilakukan kepada para korban, juga harus dilakukan kepada warga masyarakat khususnya di lokasi kejadian. Setelah selama puluhan tahun kejaidan ini berlangsung dan akhirnya baru terungkap hari-hari ini, tentu menimbulkan efek kejut yang membuat masyarakat sekitar shock. Pada hal ini, Penulis sebenarnya sangat menyayangkan kepada warga disana yang seakan “membiarkan” hal ini terjadi selama puluhan tahun dan tak mempunyai alarm oleh warga sekitar. Padahal secara kasat mata jelas terlihat kondisi fisik dan psikis para Tersangka yang sangat mencurigakan dan terindikasi jelas mempunyai kelainan. Akan tetapi perasaan menyayangkan ini tidak lantas harus selalu diucapkan dan disesali. Kondisi saat ini membutuhkan langkah dan solusi cepat daripada sekadar perasaan “menyayangkan” saja. Warga khususnya disekitar lokasi terdampak harus mendapatkan rehabilitasi social. Segenap keluarga yang berada disana, khususnya anak-anak yang terdampak secara tidak langsung, harus juga mendapatkan penanganan serius. Berkaca dari pengamatan Penulis di lokasi, ada sekian puluh anak-anak yang sempat terdengar mengatakan kata-kata tidak pantas yang telah terjadi di Yayasan tersebut.

Reintegratif bagi para korban khususnya dan warga terdampak pada umumnya, harus dilakukan. Monitoring dan evaluasi dengan memakai teknik tertentu yang diusulkan oleh konselor harus kontinuitas dilakukan untuk mengukur, apakah kejadian pahit ini telah benar-benar tidak membawa dampak buruk bagi semua korban dan warga sekitar.

Evaluasi Regulasi

Menteri Sosial, Saifullah Yusuf Ketika menerima laporan kejadian tersebut dari Penulis beserta tim relawan serta juga diantar oleh Ketua KPAI mengatakan, bahwa regulasi yang ada tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial wajib dilakukan evaluasi. Hal ini sejalan dengan kondisi sebuah badan Yayasan Sosial yang domain dan kebijakannya berada pada instansi sosial, serta mengatur permasalahan kelembagaan sosial, yang pada realitasnya sepertinya tidak selalu sesuai dengan aturan yang ada.

Keberadaan dan aktivitas Yayasan Darussalam An-Nur yang telah puluhan tahun ini mejadi cotoh konkrit, betapa Pemerintah kecolongan, Yayasan ini ternyata tidak sesuai dengan aturan yang ada, bahkan tidak terlegislasi secara hukum serta tidak terdaftar pada Dinas Sosial Kota Tangerang. Ditambah telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia disana. Suatu kondisi yang membuat kepala kita menjadi sakit tanpa tahu penyebabnya. Bagaimana tidak, suatu kemirisan yang terjadi, keberadaan dan aktivitas Yayasan yang sudah puluhan tahun, tersebar di segenap media sosial, telah sekian banyak warga masyarakat yang menjadi donator tetap dan relawan, ternyata tidak mempunyai landasan alias illegal. Ya ampuunn..!.

Hal ini dapat menjadi satu landasan khusus, bahwa regulasi yang ada harus di evaluasi secara menyeluruh penerapannya. Pemerintah wajib secepatnya melakukan konsolidasi untuk melaksanakan proses evaluasi tersebut. Dan Gus Menteri Ipul telah berjanji akan melakukan hal tersebut yang juga akan melibatkan berbagai unsur masyarakat. “Kami menunggu janji tersebut, Gusmen, secepatnya!..”.

Konklusi

Jangan biarkan realitas kondisi ini hilang dengan sendirinya, memudar ditelan waktu tanpa treatment terbaik bagi segenap warga dan lingkungan sosial yang terdampak. Masyarakat menagih janji dan tanggungjawab para pemimpin untuk melaksanakan apa yang telah diamanahkan kepada mereka. Lakukan langkah-langkah solusi terbaik atas terjadinya musibah sosial tersebut, misal dengan cara aktif melaksanakan sosialisasi perlindungan anak di tempat-tempat yang berpotensi negatif terhadap anak, lakukan evaluasi secara terus menerus, libatkan unsur masyarakat untuk menambah gambaran realitas yang terjadi. Terkhusus hal ini, LPAI Kota Tangerang siap bekerjasama dengan Pemerintah dan stakeholder untuk sama-sama melakukan kegiatan-kegiatan positif bagi anak. Dan terakhir, jaga anak-anak kita dari proses-proses regenerasi yang negatif, berusaha aware dan memberikan perhatian lebih pada kondisi dan realitas yang membahayakan. Ingat, para pelaku kekerasan terhadap anak itu tidak hanya dilakukan oleh orang tidak dikenal, tetapi lebih banyak terjadi dan dilakukan oleh orang terdekat yang seharusnya membimbing anak untuk mendapatkan masa depan terbaiknya.

 

 

Tags Artikel Opini Opini Panti Asuhan Pelecehan Anak Pelecehan Seksual Pencabulan Tangerang