Oleh : Ni'matul Afiah Ummu Fatiya, Pemerhati Kebijakan Publik
TANGERANGNEWS.com-Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terpilih masa bakti 2024-2029 sudah resmi dilantik pada Selasa, 01 Oktober 2024 lalu di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta.
Namun, banyak kalangan yang merasa pesimis dengan kinerja anggota DPR yang baru. Akankah membawa Indonesia lebih baik atau sama saja dengan yang sebelumnya? Atau lebih buruk dari yang sebelumnya?
Pasalnya banyak dari anggota dewan yang terpilih memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan, baik dengan sesama anggota dewan atau dengan para pejabat dan petinggi negara. Ada pasangan suami-istri, ibu dan anak, atau ponakan. Misalnya pasangan artis Ahmad Dhani - Mulan Jameela.
Bahkan, mayoritas anggota terpilih merupakan petahana yang terlibat dalam penyusunan sejumlah UU kontroversial. Jadi, mungkinkah mereka akan berpihak kepada kepentingan rakyat yang telah memilih mereka atau kepada korporat yang membiayai mereka?
Bahkan data dari Managing Editor CNBC Indonesia menyebutkan bahwa profil komposisi anggota DPR terpilih, 50% lebih adalah anggota dewan lama. Ini artinya kebijakannya pun sama, hanya meneruskan proyek yang sudah ada.
Selain itu berdasarkan hasil temuan riset Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) tercatat, sedikitnya 79 dari total 580 anggota DPR terpilih periode 2024-2029 terindikasi dinasti politik atau punya hubungan kekerabatan dengan pejabat negara, baik yang masih aktif ataupun non aktif.
Seperti yang diungkapkan oleh Ahli hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menurutnya akan sulit mengharapkan perbaikan kinerja legislatif bila melihat komposisi anggota DPR periode 2024-2029 ditambah konfigurasi relasi parpol di Senayan dengan pemerintah.
“Kecenderungannya, DPR akan kembali jadi stempel karet bagi berbagai proposal eksekutif tanpa ada kontrol dan kritik yang memadai sebagai kekuatan penyeimbang,” kata Titi (tirto.id, Selasa, 01/10/2024)
Ia menilai dengan melihat peta kekerabatan anggota DPR saat ini, kemungkinan akan sulit melakukan terobosan dan perbaikan kinerja parlemen bahkan praktik dinasti politik cenderung dilakukan untuk mengamankan kepentingan kolektif.
Memang beginilah realitasnya, Dewan Perwakilan Rakyat dalam sistem kapitalis hanya menjadi alat untuk meraih kekuasaan dan meraup keuntungan. Tak heran mereka rela mengeluarkan ratusan juta bahkan milyaran demi bisa menduduki kursi jabatan sebagai anggota dewan. Politik transaksional pun terjadi. Maka ketika sudah terpilih, alih-alih mengurusi kepentingan rakyat malah sibuk mengamankan kepentingan pribadi dan kelompok. Padahal mereka dipilih sebagai kepanjangan tangan untuk menyampaikan aspirasi rakyat namun justru malah membuat aturan yang membungkam hak-hak rakyat.
Namun ironisnya masih banyak yang percaya bahkan mengagungkan sistem ini dan rela diatur dengan sistem yang sudah terbukti hanya menyengsarakan kehidupan rakyat saja. Karena masih ada orang-orang yang mengambil manfaat di balik topeng, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Mereka sekuat tenaga akan mempertahankan sistem ini agar tetap ada.
Padahal ada satu sistem yang menjunjung tinggi hak seluruh rakyat dan mengakomodasi seluruh kepentingan rakyat tanpa pandang kedudukan.
Sistem itu adalah Islam, aturan yang berasal dari Allah Pencipta alam semesta dan seluruh isinya. Dalam Islam kedaulatan ada di tangan Syarak, artinya yang berhak membuat aturan hanya Allah bukan manusia. Oleh karena itu kedudukan rakyat di hadapan hukum semua sama, baik pejabat atau rakyat. Sementara itu kekuasaan ada di tangan rakyat. Ini artinya kekuasaan atau jabatan apapun yang diperoleh itu berdasarkan pilihan rakyat dengan keridhoan dan bebas tanpa paksaan apalagi dari warisan.
Sementara itu mengenai hak rakyat untuk memberikan masukan menyalurkan aspirasinya kepada penguasa, ada semacam dewan perwakilan yang disebut sebagai Majelis Umat. Anggota Majelis Umat adalah warga negara baik dari Kaum Muslim ataupun non- Muslim. Untuk non-Muslim meskipun boleh menjadi anggota Majelis Umat, hanya saja mereka tidak memiliki hak menyampaikan pendapat dalam masalah hukum syarak.
Oleh karena itu anggota Majelis Umat dipilih melalui Pemilu sebab mereka harus mewakili masyarakat secara representatif. Bukan berdasarkan kekerabatan apalagi karena kekayaan. Seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, pada masa Beliau, orang-orang yang diminta pendapat adalah mereka para pemimpin kelompok mereka tanpa memandang kapasitas dan kemampuan mereka. Yang kedua mereka adalah representasi dari Kaum Muhajirin dan Anshar.
Tugas Majelis Umat adalah mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Bukan pula merumuskan dan membuat Undang-Undang. Karena yang berhak menetapkan hukum hanyalah Allah Swt. Sebagaimana firman Allah dalam Qur'an surat al-An'am ayat 57 : " Sesungguhnya hak menerapkan hukum itu hanya milik Allah. "
Mereka juga berhak menampakkan ketidakrelaan dan mengajukan pengaduan atas para penguasa. Hal itu sebagaimana yang pernah terjadi pada seorang Sahabat yang bacaan shalatnya terlalu panjang. Kemudian Sahabat tersebut diadukan kepada Rasulullah SAW.
Penutup
Jadi dalam sistem Islam, Dewan Perwakilan Rakyat hanya berugas mengontrol dan mengoreksi penguasa serta memberikan masukan segala hal yang menyangkut kepentingan rakyat. Dengan demikian tidak ada hasrat menjadi anggota dewan untuk memuluskan bisnis dan memperoleh kekayaan.
Semua didasari oleh ketakwaan kepada Allah Azza Wajalla.
Wallahu A'lam.