Jumat, 22 November 2024

Pelecehan di Balik Pintu Panti Asuhan, Apa Solusinya?

Tari Ummu Hamzah, Aktivis Muslimah.(@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh : Tari Ummu Hamzah (Aktivis Muslimah)

 

TANGERANGNEWS.com-Polres Metro Kota Tangerang telah menetapkan Sudirman (49), Yusuf Bachtiar (30), dan Yandi Supriyadi (28) sebagai tersangka dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak panti asuhan di Tangerang, Banten.

Sudirman adalah pimpinan panti itu, yang disebut polisi telah beroperasi sejak Mei 2006 tanpa izin. Sementara itu, Yusuf dan Yandi adalah pengurus panti. Keduanya diduga merupakan korban pelecehan oleh Sudirman yang kemudian berbalik menjadi pelaku.(10/10/2024, bbc.com/Indonesia)

Pelecehan yang terjadi di panti asuhan Tangerang membuka mata banyak pihak bahwa, sejatinya panti asuhan yang nyata-nyata bergerak di bidang sosial malah melakukan kejahatannya seksual. Badan yang dianggap melindungi anggota masyarakat yang terdampak atas kematian orang tuanya, malah melakukan kekerasan dan pembiaran.

Malah pimpinan panti asuhan sengaja membuat normalisasi pelecah terhadap anak-anak asuhnya dengan alasan itu adalah bukti atas hormat terhadap guru.

Sungguh perbuatan itu tak pantas dilakukan oleh seorang guru. Jika badan sosial seperti panti asuhan menjamur di. Indonesia, lalu seperti apa sejarah dari panti asuhan itu sendiri?

Panti asuhan yang sejatinya bagian dari aktivitas sosial, adalah hal yang dicontohkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada masa kolonial Belanda banyak serdadu Belanda yang menikah dengan wanita pribumi.

Namun masalah terjadi ketika anak-anak ini lahir. Banyak diantara mereka yang kehilangan ayahnya saat berperang, atau ayahnya yang sengaja meninggalkan mereka.

Ketika anak-anak ini tumbuh besar, ibunya yang pribumi kesulitan untuk mendidik mereka. Anak-anak ini dianggap berdarah campuran yang status sosialnya mengganntung. Mereka juga tidak diterima oleh kalangan masyarakat Eropa. Akibatnya mereka tidak bisa mengakses pendidikan yang setara dengan orang-orang Eropa.

Sedangkan ketika mereka bersosialisasi dengan warga pribumi mereka mendapatkan sentimen dari warga pribumi. Karena wajah mereka yang lebih mirip dengan orang-orang Eropa.

Imbas dari tidak diterimanya anak-anak berdarah campuran ini adalah kehidupan mereka yang terlantar dan tidak terdidik. Kondisi ini menggerakkan tokoh agama katolik dari pemerintah Belanda dan tokoh agama dari Inggris untuk membangun panti asuhan. Agar anak-anak ini terurus, mendapatkan perhatian layaknya anak-anak yang lain, serta mendapatkan akses pendidikan.

Salah satu panti asuhan yang tertua adalah Parapattan Orphan Asylum. Didirikan oleh Walter Henry Medhurst, pada 17 Oktober 1832. Menurut Ulbe Bosma dan Remco Raben dalam Being "Dutch" in the Indies: A History of Creolisation and Empire, 1500-1920 (2008), Parapattan adalah panti asuhan pertama di Hindia Belanda. Henry sendiri adalah seorang misionaris dari London Missionary Society.

Pendirian panti asuhan inilah yang menginspirasi pemerintah Indonesia, untuk tetap memberikan ijin panti asuhan kepada pihak-pihak swasta. Lalu pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kisah sejarah panti asuhan? Ini membuktikan bahwa sejatinya negara itu lepas tangan dalam mengurus rakyatnya

Membiarkan pihak-pihak swasta untuk mengambil alih tugas dan peran negara. Akibatnya pengawasan negara terhadap kondisi rakyanya sangat minim. Ini juga terjadi pada kondisi saat ini. Pemerintah berlepas tangan dari tanggung jawab untuk mengurus anak-anak yatim.

Mengapa demikian? Karena negara ini telah menganut sistem kapitalisme yang melahirkan budaya liberal. Akibatnya bebasnya perilaku masyarakat kapitalisme akan memunculkan tindak kejahatan. Termasuk kejahatan seksual yang tejadi di panti asuhan Tangerang.

Sungguh! Kapitalisme ini menyengsarakan masyarakat di seluruh dunia. Tak terkecuali di negara Amerika. Patron negara kapitalis ini malah mencetak kejahatan terbesar di dunia. Termasuk kasus P Didi yang melakukan kejahatan seksual terhadap anak-anak diabawah umur.

Lalu apa yang menyebabkan semua kasus-kasus kejahatan tersebut tetap ada. Kondisi ini terjadi karena tiga level kehidupan bernegara itu gagal terbentuk. Level apa saja kah itu? Level pertama ketaqwaan individu. Negara gagal melindungi aqidah ummat muslim sehingga lahir generasi bebas dan cenderung memisahkan agama dari kehidupan.

Level kedua, kontrol masyarakat. Masyarakatnya kapitalisme cenderung untuk bersikap individualisme. Akibatnya membiarkan kerusakan ditengah masyarakat. Malah cenderung membangun opini normalisasi perbuatan maksiat.

Level ketiga, adalah level negara. Indonesia telah melewati era pemerintahan yang bermacam-macam. Dari Era kolonialisme, Feodalisme, hingga saat ini era kapitalisme. Semua sistem pemerintahan itu telah gagal untuk menyejahterakan rakyatnya. Karena sistem-sistem itu terlahir hanya untuk melanggengkan kekuasaan dan memperkuat ketamakan. Rakyat bukanlah "Tokoh utama" dalam kehidupan negara.

Jika semua sistem itu gagal, Lalu pada sistem apa lagi yang harus kita percaya untuk melindungi masyarakat? Hanya pada Islamlah semua permasalahan manusia itu akan diselesaikan. Bahkan mampu membereskan masalah-masalah yang diwariskan oleh sistem sebelumnya. Karena Islam melindungi aqidah kaum muslimin. Tujuannya jelas agar terbentuk Kertaqwaan individu yang senantiasa patuh terhadap perintah dan larangan Allah.

Selain itu aqidah Islam menjadi dorongan ummat untuk melakukan 'Amar makruf nahi mungkar. Sehingga tidak akan lagi nampak masyarakat yang individualisme dan melakukan normalisasi kemaksiatan. Dari sisi negara Islam, jelas akan menerapkan syariat Islam. Dimana sistem sanksi pada Islam akan memberikan pencegahan dan efek jera terhadap masyarakat.

Tags Artikel Opini Opini Panti Asuhan Pelecehan Anak Pelecehan Seksual