Oleh Budiarto Shambazy
Kata yang pas untuk menggambarkan situasi belakangan ini adalah ”absurd”. Absurd artinya tak masuk akal, tak rasional, tak bermakna. Biasanya absurditas jadi bahan tertawaan.
Terakhir kali, absurditas dialami Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Anggito Abimanyu. Ia mundur lantaran kecewa tak diberi tahu Istana bahwa dirinya batal jadi Wakil Menkeu, yang kini diduduki Anny Ratnawati. Anda ingat apa yang dialami calon menteri kesehatan yang juga batal walau namanya diumumkan.
Kepada media, Anggito menyebut tak dikirimi pemberitahuan, dalam bentuk SMS, mengenai pembatalan itu. Dulu, Menkeu mengabarkan berita bail out Century kepada Wapres juga melalui SMS. Ganjil, urusan negara dikomunikasikan melalui SMS, moda yang tidak secured.
Absurditas sebelum itu terjadi dalam Rapat Kerja Kapolri dengan Komisi III DPR tentang penyelidikan Century. Entah siapa yang keliru, Kapolri berpegang pada keputusan Opsi A Sidang Paripurna DPR. Padahal, voting memutuskan Opsi C dengan vonis bail out Century jelas menyimpang.
Oh iya, sebelum itu absurditas Century terjadi pada bahan-bahan hasil audit investigasi BPK. Ternyata DPR belum mengirimkannya kepada Presiden. Belakangan ketahuan, entah siapa yang keliru, bahan-bahan yang ditumpuk di troli itu ”dibajak” atau ”disabotase” sehingga tak terkirim.
Absurditas Susno Duadji lain lagi. Ia peniup peluit yang berkorban mau membongkar korupsi. Alih-alih mendapat perlindungan, kompensasi, bagian hasil korupsi, dan kemungkinan pengurangan hukuman saat diadili, Susno malah diisolasi tak boleh terima kiriman makanan dari keluarga.
Program peniup peluit diakui UN Convention Against Corruption (UNCAC) karena cara efektif membasmi korupsi. Justru karena ada peluang emas itu, profil Susno dimuat di separuh halaman harian The New York Times. Ini bacaan wajib Presiden Barack Obama, yang pasti geleng kepala membaca profil Susno.
Absurditas Obama juga ada, yakni pengumuman lawatannya ke sini sekitar Juni-Juli. Pertama, mbok ya ada harga dirilah, ngapain undang Obama yang dua kali batalkan kunjungan. Kedua, kasihan Obama bakal kurang dapat perhatian karena Juni-Juli kita mabuk Piala Dunia 2010.
Tentu saja, ”ibu dari semua absurditas” adalah pembentukan Setgab (Sekretariat Gabungan) Koalisi. Pertama, pembentukannya terkesan mendadak. Oleh sebab itu, sempat muncul nama ”sekber” (sekretariat bersama) yang belakangan ditukar jadi ”setgab”. Sebab, sekber berdampak negatif mengingat kiprahnya tahun 1964.
Waktu itu Sekber Golkar, yang terdiri dari 90-an organisasi, dibentuk untuk mendukung Presiden Soekarno melawan pengaruh PKI. Mereka mengusulkan Soekarno dikukuhkan sebagai ”Presiden Seumur Hidup”. Namun, mereka pula yang menikam Soekarno dari belakang lewat Supersemar.
Kedua, Setgab dibentuk seperti perayaan pesta setelah tersingkirnya Menkeu Sri Mulyani. Dan, berhubung penyelesaian skandal Century telah masuk ranah konstitusional/politik/hukum, tak mustahil Setgab bergulir jadi ”bola liar” yang bisa jadi dimanfaatkan untuk menyingkirkan mereka yang, menurut Opsi C, melakukan penyimpangan.
Setgab boleh membantah peranannya menghambat jalannya hak menyatakan pendapat menuju pemakzulan. Namun, politik, seperti kata Harold Lasswell, adalah ”siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana”. Belum semua tokoh enam partai koalisi yang kebagian dan menunggu peluang emas.
Ketiga, dalam kondisi politik saat ini, kehadiran Setgab kurang dibutuhkan. Toh, koalisi sudah kuat di kabinet dan DPR, dipimpin duet Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang didukung 61 persen rakyat dan enam partai mayoritas DPR. Apalagi, tak tanggung-tanggung, Setgab diketuai langsung Presiden dan dijalankan Ketua Harian/Ketua Umum Golkar.
Kondisi politik kurang normal selama setahun terakhir justru karena elite yang memerintah sudah superkuat sehingga malah terkesan banyak lembaga yang saling tumpang tindih. Ibaratnya, kini ada gejala ”l’etat, c’est moi” (saya adalah negara), seperti kata Raja Perancis Louis XIV yang, dalam konteks kita, ”Kami adalah negara”.
Seolah penyelenggaraan negara dijalani orang-orang dekat saja. Struktur/kekuatan resmi, seperti menteri nonpartai, partai oposisi, masyarakat madani, media, dan kelas menengah, embel-embel yang tak perlu ruang gerak. Di atas segalanya, the ruling elite tak sensitif terhadap rakyat.
Elite yang berkuasa seperti pemain-pemain drama tanpa penonton. Rakyat tak bisa lagi bereaksi terhadap kekuasaan karena lelah menyaksikan absurditas. Jika kondisi ini dibiarkan, cepat atau lambat terjadi pembusukan karena elite makin hilang kuasa, wibawa, dan karisma.
Protes rakyat kayak batur yang hanya bisa menyindir majikan. Atau barangkali paling banter mèpè ramai-ramai duduk bareng bertelanjang dada di alun-alun. Anda yang berpendidikan cuma bisa tertawa saja tanda memelasi nasib bangsa. Ah, mudah-mudahan tak ada amok lagi di negeri ini.
Hari Jumat (21/5) kemarin pas 12 tahun Presiden Soeharto lèngsèr ing keprabon. Reformasi sudah gagal, rakyat tetap kayak buntut yang sengaja diputus cicak yang ambil langkah seribu. Kapan, ya, kita jadi cicak, kok jadi buntut melulu? (kompas)
Tags