Jumat, 22 November 2024

Menengok “Harta Karun” di Museum Peranakan Tionghoa Serpong

Museum Peranakan Tionghoa Serpong yang terletak di ruko Golden Road, C28/25, Lengkong Gudang, ITC BSD, Serpong, Tangerang Selatan.(TangerangNews / Rachman Deniansyah)

 

TANGERANGNEWS.com-Tragedi kerusuhan tahun 1998 menjadi catatan kelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Tak sedikit kaum etnis Tionghoa yang menjadi korban pada tragedi berdarah itu.

Tragedi itu membuat Azmi Abubakar, 47, yang kala itu sebagai aktivis mahasiswa berfikir keras untuk menguak akar masalah. Azmi, lelaki asal Aceh itu pun kemudian berkesimpulan, minimnya informasi sejarah etnis Tionghoa di nusantara, menjadi salah satu pemicu mereka mendapatkan perlakukan diskriminatif selama orde baru.

Kemudian, Azmi tergerak untuk mengumpulkan berbagai benda bersejarah seputar etnis Tionghoa. Ia berharap, koleksinya menjadi suluh yang akan menerangi lorong gelap pengetahuan anak bangsa terkait kiprah etnis Tionghoa di Nusantara. Puluhan ribu koleksi pun ia kumpulkan yang kini bisa dinikmati di Museum Peranakan Tionghoa.

Museum yang terletak di ruko Golden Road, C28/25, Lengkong Gudang, ITC BSD, Serpong, Tangerang Selatan itu seolah berdiri diantara kesunyian. Letaknya yang diantara deretan kantor dan gedung mewah tak banyak diketahui warga.

#GOOGLE_ADS#

Namun, kala memasuki museum yang dikatakan Azmi menyimpan koleksi benda bersejarah etnis Tionghoa terbesar di Asia Tenggara, pengunjung seolah akan terhipnotis sejak langkah pertama.

Azmi bercerita, ada sekitar 40 ribu benda bersejarah terkait jejak keturunan Tionghoa di Indonesia di museum tersebut. Ia mengumpulkannya sejak tahun 1998. Azmi menyebut koleksi tersebut adalah harta karun yang sulit didapatkan.

Beragam koleksi antik tersedia. Koleksi itu dikatakan Azmi asli dengan usia ada yang mencapai lebih dari empat abad, sehingga sulit ditemukan di tempat lain.

Saat memasuki museum, pengunjung disuguhkan dengan papan besar dengan warna khas etnis Tionghoa, yaitu merah. Di dalamnya, terdapat ribuan buku, artikel, patung, dan benda bersejarah lainnya, yang menjadi bukti peradaban etnis Tionghoa. 

"Didirikan sejak tahun 1998, sebenarnya. Kita tahu saat itu ada tragedi kemanusiaan. Di mana saat itu ada  huru-hara yang sifatnya sangat rasis sekali, di mana saudara kita dari etnis Tionghoa menjadi korban tindakan kriminal yang di luar akal sehat sebagai bangsa," tutur Azmi di museumnya, Jumat (24/1/2020).

Kejadian yang disaksikan saat Azmi membuat dirinya merenung waktu cukup lama. Jiwanya tak dappat meneruma perlakuan terhadap etnis Tionghoa saat itu.

"Saya meyakini betul kenapa terjadi hal itu,  itu akibat minimnya informasi. Sedikit sekali cerita kisah sejarah yang diketahui masyarakat tentang kontribusi etnis Tionghoa terhadap berdirinya bangsa Indonesia," ujar Azmi. 

Padahal, kata dia, etnis Tionghoa adalah salah satu pilar penting bagi berdirinya bangsa dan negara Indonesia. Atas dasar itulah, Azmi bersikukuh, mengumpulkan sedikit demi sedikit barang bukti guna menguak sejarah peran penting etnis Tionghoa di Indonesia. 

"Hingga akhirnya, dari tahun 1998 saya kumpulkan, pada tahun 2011 saya buka untuk umum," tambahnya. 

Menurutnya, mengumpulkan lebih dari 40.000 benda sejarah, bukan hal yang mudah. Untuk mendapatkannya, beberapa kali ia harus berperan layaknya detektif. Sebab, tak banyak benda yang dijual bebas. 

"Tidak mudah sebetulnya mengoleksi ini, karena yang ada di museum ini pada masanya (orde baru) adalah sesuatu yang terlarang. Segala hal yang berbau Tionghoa tidak boleh ditampilkan dan dimiliki oleh masyarakat," jelas Azmi. 

Dikatakannya, pelarangan itulah yang akhirnya membuat sejara etnis Tionghoa terputus, semenjak regulasi yang dikeluarkan Presiden Soeharto pada tahun 1967.

"Misalnya seperti papan dengan aksara mandarin itu harus diganti dengan aksara latin. Nama orang Tionghoa, misalnya Liem Sien Ming, harus diganti menjadi Sujiono. Kemudian rumah sakit yang aslinya bernama Sin Ming Hui, kini menjadi Rumah Sakit Sumber Waras," paparnya. 

Ia menjelaskan, syukurnya, keadaan kini telah berubah, semenjak Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur mencabut regulasi tersebut.

Kini, museumnya itu pun telah menjadi salah satu bukti sejarah peninggalan etnis Tionghoa yang tak ternilai harganya. 

Seperti misalnya, terbitan koran pertama yang menulsi negara ini dengan sebutan "Indonesia", bukan Hindia Belanda. 

"Itu kita ada Koran Sin Po, yang di dunia cuma ada di sini, terbitan tahun pertama," imbuhnya. Selanjutnya, ada pula kisah pahlawan Indonesia dari etnis Tionghoa,  yaitu Laksamana John Lie. 

"Kita punya ribuan cerita tentang John Lie. Seperti dia surat menyurat dengan AH Nasution, dan tokoh lainnya. Kisahnya paling banyak di museum ini,"  tuturnya. 

Selain itu, yang sangat berharga, ia juga mempunyai koleksi surat asli yang dibuat pada tahun 1962. Surat itu merupakan surat yang dikirim oleh ulama serta sastrawan Indonesia, Dr. Hadji Abdul Malik Karim Amrullah atau dikenal Hamka, kepada seorang jurnalis ternama, P K Ojong. 

"Ini surat asli, di dalamnya berisi ucapan terima kasih dan kegembiraan Hamka atas pemberian buku berjudul 'Al-Adabul Arabi Al-Muashir' dari P K Ojong," terang Azmi. 

Azmi mengatakan, museum sejarah etnis Tionghoa ini dibuka setiap hari, kecuali Minggu, pada pukul 09.00 WIB sampai 17.00 WIB. Sedangkan untuk hari Jumat, dibuka pada pukul 13.00 WIB sampai 17.00 WIB.(RMI/HRU)

Tags Berita Tangsel Kecamatan Serpong Museum Peranakan Tionghoa Peristiwa Tangsel Tangerang Selatan WISATA TANGERANG