Perumahan Mustika Tigaraksa terletak di Kabupaten Tangerang. Sebagai sebuah perumahan, rumah-rumah tertata dengan rapi. Penduduknya sebagian besar berpenghasilan menengah. Namun dalam urusan sampah, belum tertata dengan baik sampai ada pengelolaan sampah terpadu. Bayangkan bagaimana sampah yang ada di perumahan yang dihuni oleh 1687 kepala keluarga (KK) itu.
Pada awalnya sampah dikumpulkan oleh petugas developer (RT/RW) dan kemudian dibawa ke tempat pembuangan sementara (TPS). Sayangnya frekuensi pengangkutannya tidak memadai sehingga muncul masalah estetika seperti bau dan lalat yang sangat mengganggu terutama di sekitar TPS yang tersebar di lingkungan komplek perumahan. Inilah yang kemudian menimbulkan konflik sosial dan komplain warga terhadap pengembang (developer).
Akhirnya, dibuatlah kerja sama pengelolaan sampah ini dengan sebuah LSM bernama BEST. Tujuan pengelolaan sampah tersebut adalah membantu mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA (7,2 m3/hari) serta memanfaatkan sampah organik menjadi kompos dan sampah anorganik menjadi material daur ulang.
Strategi pelaksanaan kegiatan ini adalah menerapkan pola penanganan sampah yang berwawasan lingkungan melalui koordinasi dengan pihak developer dan masyarakat untuk mengidentifikasi kebutuhan pelayanan yang mengarah pada pola cost recovery dengan pendekatan pemanfaatan sampah sebagai sumber daya.
Kerja Bareng
Proses pelaksanaan pengelolaan sampah terpadu skala kawasan di Perumahan Mustika Tigaraksa melalui beberapa tahapan proses, yaitu pertemuan dengan masyarakat untuk menentukan kebutuhan pelayanan persampahan dan hasilnya dikonsultasikan dengan pihak developer untuk mendapatkan lahan tempat pengolahan sampah.
Pertemuan lain yang dilakukan adalah pertemuan dengan warga calon pelanggan untuk menentukan iuran pengelolaan sampah. Sebelumnya setiap kepala keluarga membayar iuran sebesar Rp 1.000. Dari pertemuan itu disepakati bahwa iuran warga adalah Rp 4.000/kk. Sementara pihak pengembang menyediakan lahan untuk pengolahan sampah seluar 400 m2. Hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam kontrak antara BEST dengan developer dan masyarakat pelanggan. Kontrak yang ada digunakan untuk mendapatkan izin dari Pemerintah Kabupaten Tangerang.
Pengelolaan sampah di kawasan itu dilaksanakan oleh BEST dengan melibatkan tenaga masyarakat setempat (5 orang) dengan dukungan dana awal dari BORDA dan pihak developer.
Hasil
Pengelolaan sampah terpadu ini berhasil mengurangi sampah sampai 54 persen. Sampah itu diubah menjadi kompos dan bahan-bahan daur ulang sehingga residu sampah hanya tinggal 46 persen. Secara keseluruhan pengelolaan sampah yang dilakukan cukup memadai dan secara perlahan sudah mengarah pada prinsip pendanaan cost recovery (operasi dan pemeliharaan saja). Namun keberlanjutan pengelolaan masih terkendala oleh pemasaran kompos yang belum memadai.
Kerja sama warga dan LSM ini pun mampu meningkatkan kualitas cakupan pelayanan bagi 1.687 KK dengan frekuensi pelayanan 2 kali seminggu. Dampak lainnya adalah perbaikan kondisi lingkungan. Dan pengolahan terpadu ini bisa dicontoh oleh masyarakat secara individual karena menggunakan teknologi sederhana.
Pembelajaran yang didapatkan dari pengelolaan sampah skala kawasan ini adalah upaya pengelolaan persampahan berbasis masyarakat secara langsung dapat membantu pemerintah daerah mengatasi masalah keterbatasan angkutan dan masalah TPA. Selain itu pilihan teknologi komposting telah sesuai dengan komposisi dan karakteristik sampah di Indonesia yang memiliki kandungan organik tinggi (70 –80 persen), kadar air tinggi (60 persen) dan nilai kalor rendah (< 1300 k.cal/kg); serta bertambahnya komplek-komplek perumahan baru perlu diantisipasi dengan model pengelolaan sampah serupa.