TANGERANGNEWS-Suasana Pasar Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Sabtu (19/09), siang tampak dijejali pengunjung. Suara yang muncul dari aktivitas niaga itu bahkan membuat suasana pasar menjadi lebih gemuruh dibanding biasanya. Kepadatan itu menyusul mulai meningkatnya aktivitas warga yang hendak menyiapkan makanan guna merayakan Hari Raya Idul Fitri 1430 Hijriah.
Di bagian sudut pasar yang sibuk, sebuah lapak tampak berisi penuh ketupat. Didepannya duduk seorang pria perempat baya yang juga sibuk merangkai daun kelapa menjadi ketupat. Pria itu adalah Sugong (25), pengrajin sekaligus pedagang ketupat.
Sejatinya, Sugong adalah warga Desa Sepatan Wetan, Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang yang sehari-hari berdagang ikan teri di Pasar Sepatan. Namun setiap menjelang lebaran, ayah satu anak ini selalu beralih berdagang ketupat di Pasar Kelapa Dua. Semua itu dilakukannya demi mereguk rupiah lebih dibanding hari biasanya.
“Ya lumayanlah. Hitung-hitung bisa buat tambahan beli pakaian anak. Maklum, pada saat lebaran semua kebutuhan juga meningkat dibanding biasanya,” kata Sugong yang mengaku sudah melakoni pekerjaan itu jauh sebelum ia menikah dan punya anak.
Lalu, dari manakah Sugong mendapatkan keterampilan merangkai daun kelapa muda hingga menjadi ketupat? Dan, berapa pula keuntungan yang bisa didapat dari hasil berdagang itu? Menurut Sugong, dia sudah memiliki keterampilan merangkai ketupat sejak masih kecil. Maklum, dulu ayah dan ibunya juga perangkai ketupat.
Diawali dari kegigihan Sugong membantu orang tuanya berdagang ketupat, hingga selepas lulus SMA Sugongpun bisa langsung berjualan ketupat sendiri. Kebiasan itu terus dilakoninya hingga sekarang. Bahkan, modal awal Sugong berdagang ikan teri di Pasar Sepatan juga dari hasil berdagang ketupat di Pasar Kelapa Dua.
“Ketupat ini adalah dagangan untung. Karena tidak membutuhkan modal. Asal mau dan semangat, pasti jadi uang. Satu-satunya bahan untuk membuatnya adalah daun kelapa yang masih muda. Dan, itu bisa diambil langsung dari kebun belakang rumah. Setelah dirangkai sendiri, ketupatpun siap untuk dijual,” katanya.
Untuk seikat ketupat ukuran besar berisi 10 buah, Sugong menjualnya dengan hargai Rp. 3.000. Dan, dalam sehari dia menargetkan harus mampu menjual hingga 1.000 buah ketupat dengan kisaran uang yang bisa didapat lebih dari Rp. 300 ribu. Sedangkan masa berjualan ketupat yang efektif hanya selama dua hari.
“Tahun lalu, dalam dua hari saya bisa menjual hingga 4.000 buah ketupat. Tapi untuk tahun ini, saya hanya menargetkan setengahnya. Maklum, sekarang ekonomi lagi sulit. Umumnya daya konsumsi orang terhadap ketupat menurun hingga 50 persen, mengingat biaya produksi ketupat hingga menjadi makanan siap saji cukup mahal,” ujar Sugong lagi.
Hal senada diakui Edy Romli (30), pedagang ketupat lainnya. Anjloknya daya beli terhadap ketupat bukan disebabkan oleh menurunnya kepopuleran makanan khas Idul Fitri tersebut dimata masyarakat. Tapi lebih dipengaruhi oleh faktor tingginya biaya pengolahan ketupat hingga menjadi makanan siap saji.
“Memasak ketupat membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Setidaknya dibutuhkan waktu selama empat jam hanya untuk merebusnya. Bila dihitung dari sisi bahan bakar, tentu proses tersebut butuh biaya yang tidak sedikit. Dan, kondisi itulah yang membuat antusiasme masyarakat terhadap ketupat menjadi merosot tajam,” kata Edy yang khusus menjual ketupat ukuran kecil itu lagi.
Kedepan, Edy berharap kondisi perekonomian Indonesia bisa segera pulih. Hingga antusiasme masyarakat terhadap ketupat juga ikut membaik. Karena bila tidak, lanjutnya, bisa jadi popularitas ketupat sebagai makanan khas Idul Fitri bisa benar-benar terhapus dari benak masyarakat.(Roedy PG)