TANGERANGNEWS.com- Dalam beberapa waktu terakhir, istilah FOMO (Fear of Missing Out) atau ketakutan terhadap ketinggalan sesuatu, semakin ramai diperbincangkan oleh para pakar kesehatan mental.
Istilah ini merujuk pada rasa takut seseorang untuk melewatkan pengalaman berharga atau tren yang sedang terjadi, terutama yang terlihat melalui promo atau postingan di media sosial.
Psikolog dari Bethsaida Hospital Kabupaten Tangerang Hertha Christabelle Hambalie, M.Psi menjelaskan terkait dampak negatif dari FOMO melalui kanal YouTube resmi Bethsaida Hospital seperti dilansir pada Jumat, 7 Juli 2023.
Dalam pembahasan tersebut, Hertha menjelaskan bahwa FOMO merupakan ketakutan seseorang untuk melewatkan pengalaman atau informasi berharga yang dimiliki oleh orang lain.
Melalui media sosial, seseorang seringkali terus-menerus memperbarui dan mengikuti berita terkini, cerita pengguna lain, atau tren yang sedang populer.
Hal ini disebabkan oleh keinginan untuk tetap up-to-date dan terhubung dengan orang lain.
Namun, terdapat ketakutan yang mendasari keinginan tersebut, yaitu ketakutan ketinggalan dari orang lain.
Seseorang merasa perlu untuk ikut serta dan mengikuti tren yang sedang berlangsung, agar bisa merasa sejalan dan terhubung dengan teman-teman yang lain.
Motivasi atau tujuan di balik pembelian suatu barang atau melakukan suatu kegiatan pun perlu dilihat, apakah didasari oleh keinginan pribadi atau hanya untuk menghindari rasa ketinggalan atau agar terlihat serupa dengan orang lain.
FOMO biasanya lebih sering dialami oleh remaja dan dewasa muda, karena mereka sedang mencari identitas dan mencoba menemukan kelompok sosial yang sesuai dengan mereka.
Selain itu, pengaruh media sosial yang semakin luas membuat seseorang bisa membandingkan dirinya dengan seluruh dunia.
Informasi yang dulu hanya terbatas pada lingkungan sekitar, kini bisa dibandingkan dengan kehidupan orang lain yang mungkin dilihat melalui media sosial.
Hal ini menyebabkan tuntutan untuk terus mengikuti dan tren terkini semakin tinggi.
Peran media sosial memang sangat signifikan dalam fenomena ini, karena melalui media sosial, seseorang dapat melihat apakah mereka mengalami FOMO atau tidak.
Kendati demikian, tidak semua informasi yang dilihat di media sosial merupakan cerminan yang sepenuhnya jujur.
Banyak pengguna media sosial yang hanya menampilkan sisi-sisi yang ingin dilihat oleh orang lain, sehingga tidak semua informasi yang dilihat di media sosial bisa dijadikan acuan yang benar-benar mencerminkan kehidupan seseorang.
Dampak dari FOMO sangatlah beragam. Selain memotivasi seseorang, namun secara negatif, FOMO juga dapat memberikan tekanan dan kecemasan yang berlebihan.
Menurut Hertha, seseorang yang terus-menerus membandingkan dirinya dengan kehidupan orang lain di media sosial dapat merasa tidak puas dengan diri sendiri.
Perbandingan yang terlalu sering ini bisa membuat seseorang merasa sedih, gelisah, atau tidak bahagia. Kehidupan yang sebenarnya bisa menjadi terganggu karena fokus yang terlalu besar pada pembaruan media sosial.
Untuk mengatasi FOMO, Hertha membagikan beberapa tips yang dapat dilakukan.
Pertama, sadarilah bahwa di dunia maya, tidak semua yang terlihat adalah kenyataan. Banyak hal yang disembunyikan dan hanya sisi terbaik yang ditampilkan.
Kedua, cari tahu apa tujuan dari menggunakan media sosial. Apakah yang dilakukan saat ini sesuai dengan tujuan, dan apakah dampaknya lebih positif atau negatif.
Ketiga, pilihlah pertemanan yang berkualitas daripada jumlahnya. Lebih baik memiliki teman yang benar-benar memahami dan menerima kita daripada sekedar mengejar popularitas.
Terakhir, batasilah waktu penggunaan media sosial. Lakukan kegiatan alternatif yang disukai, seperti membaca buku, menonton film, atau berolahraga.
Tak hanya itu, bagi mereka yang ingin terhindar dari FOMO, Hertha memberikan beberapa tips tambahan yang dapat dilakukan.
Pertama, sadarilah apa yang dimiliki saat ini, jangan terlalu fokus pada apa yang belum dimiliki.
Kedua, cobalah membuat gratitude journal atau mencatat hal-hal yang membuat Anda bersyukur setiap hari.
Ketiga, prioritaskan kualitas pertemanan daripada kuantitasnya.
Yang terakhir, batasilah waktu penggunaan media sosial agar dapat memiliki waktu yang berkualitas bersama diri sendiri atau bersama orang-orang terdekat.
Dalam menghadapi FOMO, penting untuk menghargai setiap momen dan hal yang penting dalam kehidupan sehari-hari.
Psikolog muda itu mengimbau, agar masyarakat menyadari bahwa sosial media hanya merupakan dunia maya yang tidak selalu mencerminkan realitas seutuhnya.
Dengan memahami nilai-nilai dan tujuan sendiri dari tiap individu, serta belajar untuk tidak membandingkan diri dengan orang lain, dapat menjadi salah satu cara mengatasi dampak negatif dari FOMO dan menjalani kehidupan yang lebih seimbang dan bahagia.