TANGERANGNEWS.com-DPRD Kota Tangerang mendorong para kader kesehatan untuk menyukseskan program keluarga sejahtera untuk menuntaskan permasalahan stunting atau kurang gizi kronis pada anak.
Ketua DPRD Kota Tangerang Gatot Wibowo mendorong para kader untuk menyukseskan program tentang keluarga sejahtera. "Khususnya mampu mengurangi kaitan angka stunting," jelasnya, Jumat 10 Desember 2021.
Gatot menyebut, angka stunting di Kota Tangerang mencapai 16 persen dan merupakan terendah kedua di Banten setelah Tangsel. "Kita sih mendorong kegiatan ini digalakkan, dan sosialisasinya jangan hanya ke sini. Tapi turunan langsungnya ke wilayah RT/RW. Dan memberikan pemahaman khususnya kepada ibu-ibu agar persoalan gizi buruk ini menjadi concern," ujarnya.
Anggota Komisi I DPRD Kota Tangerang, Andri Septian Permana mengatakan, Pemerintah Kota Tangerang bertekad untuk mengurangi angka stunting dengan membentuk tim dari berbagai OPD untuk menangani stunting.
Menurutnya, peran Pemkot Tangerang sudah sangat besar untuk mengatasi stunting ini, yakni sudah membuat tim yang diinisiasi oleh Badan Perencanaan Daerah dan perencanaannya sudah matang di enam OPD teknis. “Jadi, tidak hanya Dinas Kesehatan dan DP3AP2KB saja melainkan juga ada Dinas Perkim, Dinas Sosial, dan Satpol PP dilibatkan,” ujarnya.
Ketika disinggung apa hubungan pencegahan stunting dengan Dinas Perkim, Ketua Fraksi PDI Perjuangan Kota Tangerang ini menyebut, stunting tidak hanya masalah gizi melainkan terkait sanitasi, lingkungan di mana garda terdepannya ada di Dinas Perkim.
"Akhirnya lingkungan yang baik dan bersih dengan sanitasi terjaga akan menunjang kesuksesan penanganan stunting di Kota Tangerang," jelasnya.
Andri berharap, masyarakat turut serta mendukung apa yang menjadi kebijakan wali kota Tangerang, karena stunting bukan hanya masalah statistik saja melainkan masa depan Kota Tangerang juga.
Sementara itu, Plt Direktur Bina Penggerakan Lini Lapangan BKKBN, I Made Yudhistira Dwipayama mengatakan, tidak semua orang yang pendek itu berarti stunting. Stunting memilki kriteria-kriteria khusus dan tidak hanya diukur dari tinggi badan.
“Indikator untuk melihat apakah anak stunting atau tidak itu dimulai sejak lahir. Diukur panjang badannya, berat badannya, karena dalam Kartu Menuju Sehat ada standarnya. Jadi, kalau anak ini di bawah dua deviasi berarti berisiko stunting. Tapi, bisa jadi karena orang tuanya memang dalam kategori pendek,” ungkapnya.
Selain itu, ia menyebut bahwa pola asuh mendominasi penyebab stunting dibanding faktor ekonomi. "Ekonomi memang mempengaruhi, tapi ketika pola asuh kita tidak memahami tentang gizi di situ masalah," ucapnya.
Made melanjutkan, hal yang perlu diingat adalah gizi tidak selalu sama dengan mahal. "Makanya banyak yang tanya apakah gizi itu mahal? Jawabnya tidak selalu, apakah anak-anak orang kaya itu pasti tidak akan kena stunting? Belum tentu,” tuturnya.
Menurutnya, ada anak yang dari keluarga mapan, tapi tetap stunting karena pola asuh yang ketika ibu hamil tidak mengonsumsi makanan yang bergizi yang direkomendasikan.
BKKBN, lanjut dia, terus berusaha mengurangi angka stunting dengan sosialisasi pencegahan-pencegahan stunting kepada orang tua. Salah satunya, dengan mengedukasi pasangan-pasangan yang akan menikah.
Ia menyebutkan bahwa fokus BKKBN ada empat. Pertama, calon pengantin diberikan edukasi bagaimana mencegahnya. Apakah ibunya ada sakit tertentu, kalau ada maka disarankan untuk tidak hamil dulu hingga sembuh.
Kedua, ibu hamil akan diberikan informasi bagaimana pola makan yang sehat untuk bayi. Ketiga, ibu pasca-melahirkan, dan keempat anak usia 0-2 tahun.