TANGERANGNEWS.com-Resistensi antibiotik dan organisme resisten obat berganda (organisme yang resisten terhadap berbagai jenis obat) telah menjadi ancaman bagi efektivitas pencegahan dan pengobatan terhadap berbagai penyakit infeksi.
Penggunaan antibiotika yang tidak tepat terhadap organisme, akan mengembangkan kemampuan mekanisme kekebalan organisme terhadap antibiotik tersebut.
Akibatnya, muncul organisme resisten obat berganda yang kebal terhadap berbagai jenis antibiotik. Hal tersebut yang menjadi fokus paparan dari orasi ilmiah Dosen Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Pelita Harapan (UPH), Prof. Dr. dr. Cucunawangsih, Sp. MK (K), saat dikukuhkan menjadi Guru Besar Bidang Ilmu Mikrobiologi Klinik pada 22 Juni 2022, berdasarkan Surat Keputusan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) tertanggal 1 April 2022.
Dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Tantangan Implementasi Pengendalian Organisme Resisten Obat Berganda dan Penggunaan Antibiotika di Rumah Sakit Swasta: Di manakah Kita?” Cucunawangsih menjelaskan, pemakaian antibiotika tidak tepat guna sangat umum terjadi.
Di Indonesia sendiri terdapat kurang lebih 40-50% pembuatan resep yang tidak sesuai dengan pedoman pemakaian antibiotik serta tidak sesuai dengan hasil kultur mikrobiologis.
“Pemakaian antibiotika berlebihan dan tidak terkontrol ini memberikan konsekuensi-konsekuensi seperti, memanjangnya lama rawat di rumah sakit, munculnya toksisitas dan interaksi obat, meningkatnya infeksi clostridium difficile, angka kematian dan kesakitan; munculnya organisme “superbug” seperti klebsiella pneumoniae dan escherichia coli penghasil beta-laktamase, methicillin resistant staphylococcus aureus, carbapenemase-producing-enterobacteriaceae yang telah resisten terhadap hampir semua jenis antibiotika,” jelasnya.
Meresponi fenomena yang ada, Cucunawangsih mengungkap, implementasi pengendalian organisme resisten obat berganda dititikberatkan pada pendekatan program pengendalian berjenjang yang salah satu aspek utamanya melibatkan mikrobiologi klinik.
Untuk itulah, peran sebagai seorang dokter spesialis mikrobiologi klinik sangat diperlukan.
“Peran seorang dokter spesialis mikrobiologi klinik dalam penatalaksanaan penyakit infeksi di rumah sakit selain meningkatkan kemampuan laboratorium mikrobiologi klinik agar memenuhi standar, juga memberikan rekomendasi terkait penyakit infeksi melalui kerja sama yang baik dengan klinisi, membahas kasus bersama, mengadakan evaluasi rutin kepatuhan terhadap pedoman klinis serta memberikan umpan baliknya, meningkatkan keterlibatan ahli mikrobiologi klinis dalam perawatan pasien terkait diagnostik dan pengobatan pasien dengan penyakit menular, serta menyediakan data organisme resisten dan kepekaannya,” ungkap Cucunawangsih.
Cucunawangsih berharap, pemakaian antibiotik yang bijak dapat menjadi prioritas utama bagi rumah sakit, dokter, dan juga semua pihak yang terlibat dalam sektor kesehatan. Harapannya, pencegahan dan pengendalian organisme resisten terutama organisme resisten obat berganda dapat terwujud dan permasalahan yang dihadapi dapat dikurangi.
Merespons pengukuhan guru besar, Rektor UPH Jonathan L Parapak mengungkapkan, suatu kebanggaan bagi kita khususnya FK UPH yang telah dianugerahkan seorang profesor baru.
“Berdasarkan data dari Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah III, UPH mendapat satu kehormatan sebagai universitas swasta yang paling banyak menghasilkan profesor baru selama dua tahun terakhir ini. Saya harap, akan bertambah lagi guru-guru besar sehingga semakin membuktikan komitmen UPH dalam memajukan mutu pendidikan di Indonesia,” ungkapnya.